Bagaimana masa depan kajian sejarah dan budaya Sulsel? Pertanyaan ini penting, menyusul kepergian sejumlah pakar sejarah dan budaya Sulsel (dan Sulbar) dalam waktu yang hampir berdekatan. Beberapa hari lalu, Prof. Darmawan Mas’ud Rahman (1938-2011) telah pergi menyusul para senior dan koleganya: Abu Hamid (1934-2011), Muhammad Salim (1936-2011), A. Zainal Abidin Farid (1926-2010), Fachruddin Ambo Enre (2008), dan Mattulada (1928-2000).
Apakah kepergian mereka mendentangkan lonceng kematian bagi kajian sejarah-budaya Sulsel? Mungkin memang tidak. Sebab, walau pelan, proses regenerasi pakar lokal tentang sejarah-budaya Sulsel tetap berlanjut. Namun, seperti biasanya, jumlah pakar dan karya di bidang ini tak pernah demikian siginifikan. Masih harus ditunggu, apakah generasi berikutnya mampu mencapai kompetensi, integrasi, komitmen dan produktivitas akademik seperti pendahulu mereka. Sejauh ini, wacana akademik dan popular tentang sejarah dan budaya Sulsel pasca-Mattulada dkk tampaknya belum terlalu jauh beringsut dari sekedar merujuk, mengelaborasi, atau menjadi footnote bagi karya-karya rintisan generasi awal ini.
Sebenarnya, ada alasan lain lagi untuk optimis, yaitu proses regenerasi yang relatif lancar di kalangan sejarahwan dan antropolog asing tentang Sulsel. Minat studi para misionaris dan sejarahwan kolonial Belanda, seperti, N. Gervaise (1662-1729), B. F. Matthes (1818-1908), A.A.Cense (1901-1977), P.J. Kooreman, H.Th. Chabot, R.A Kern, H.J. Friedericy, dan J. Noorduyn (1926-1994) yang menghasilkan karya-karya seminal, kolosal, dan monumental tentang sejarah dan budaya Sulsel, berlanjut ke generasi berikutnya. Yang terakhir ini, selain berasal dari Belanda, juga dari kawasan lain di Eropah, Amerika Utara, dan Australia. Sarjana Prancis, G. Hamonic dan C. Pelras sudah demikian dikenal. Dari Australia, muncul sejarahwan, arkeolog dan antropolog seperti Anthony Reid, C.C. Macknight, dan Kathryn Robinson. Belakangan muncul Ian Caldwell dan David Bulbeck. Dari kawasan lain seperti Amerika, Inggris dan Belanda antara lain C. Skinner, S.B. Millar, L. dan B. Andaya, S. Errington, J. Lineton, W. Cummings, T. Gibson, K. Anderson, H. Leibner, R. Tol, S. Koolhof, dst juga telah memperkaya kuantitas dan kualitas literatur dan tema kajian tentang sejarah-budaya Sulsel.
Namun, prospek kajian di bidang ini, tetap saja menjadi pertaruhan penting. Bukan saja karena para begawan generasi awal tersebut di atas telah berpulang, tapi karena sejumlah faktor lain berikut ini.
Minat intelektual sarjana Indonesia kontemporer (termasuk di Sulsel) menggeluti secara akademik dan professional studi sejarah, antropologi, arkeologi, dan bidang humaniora lainnya cenderung makin menurun. Sebaliknya, jumlah peminat program studi sains, teknik, kedokteran dan ekonomi justru meningkat pesat secara linear. Sarjana di bidang-bidang tersebut terakhir diyakini lebih berpeluang mendapatkan karir professional yang lebih jelas. Trend ini terjadi di tingkat sarjana dan pascasarjana. Beberapa perguruan tinggi bahkan telah menutup prodi bidang sosial dan humaniora mereka karena krisis peminat. Beberapa perguruan tinggi di Sulsel agaknya juga mulai merasakan krisis seperti ini.
Selain itu, perpustakaan dan pusat-pusat kajian tentang sejarah dan budaya Sulsel di dalam dan luar lingkungan perguruan tinggi sudah sejak lama terabaikan, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta. Dulu, ada Yayasan Kebudayaan Sulselra yang sejak 1949 aktif meriset, menerbitkan, menerjemahkan dan mendokumentasikan karya-karya tentang sejarah dan budaya Sulsel. Selain memiliki perpustakaan dengan ribuan literatur dan manuskrip langka tentang Sulsel, yayasan ini juga menerbitkan serial terkenal, Bingkisan, yang menjadi referensi awal para sarjana asing tentang Sulsel. Yayasan ini dan asetnya konon sudah terbengkalai dan Bingkisan pun sudah sejak lama terbenam. Di negara-negara maju, perhatian pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap kajian sejarah dan budaya lokal sangat besar. Wujudnya antara lain, pendirian perpustakaan, museum, lembaga penelitian serta pemberian beasiswa, dana riset dan publikasi yang besar.
Selain itu, publikasi dan jaringan distribusi karya-karya tentang sejarah dan budaya Sulsel juga kurang mendapat perhatian serius. Dibanding buku, jurnal, dan majalah tentang isu-isu popular seperti politik, ekonomi, hukum dan agama, misalnya, publikasi tentang dinamika sejarah-budaya Sulsel relatif kurang diminati. Lembaga penerbitan yang mendedikasikan diri merevitalisasi minat pada kajian sejarah dan budaya Sulsel seperti Ininnawa juga kurang mendapat perhatian dan dukungan. Akibatnya, para pengelola lembaga penerbitan seperti ini harus berjuang secara swadaya dalam segala hal untuk bertahan hidup. Untungnya, sejumlah pakar asing tentang Sulsel sangat mengapresiasi lembaga ini sehingga mau merelakan karya-karya mereka diterjemahkan tanpa mendapatkan royalty. Seringkali, malah mereka mensubsidi penerbitan karya mereka dalam edisi Indonesia. Di Unhas, ada jurnal Lontara dan penerbit Lephas yang memfasilitasi penerbitan karya-karya tentang Sulsel. Namun, nasib kedua lembaga penerbitan ini pun tampaknya tidak jauh berbeda dengan Ininnawa, kurang mendapat apresiasi akademik dan suplemen finansial dari lembaga-lembaga terkait.
Terakhir, mungkin karena akumulasi faktor-faktor di atas, wacana tentang sejarah dan budaya Sulsel di ranah publik relatif kurang menarik dan bergema. Isu-isu politik, ekonomi, dan agama, misalnya, jauh lebih trendi dan membahana sebagai tema seminar, diskusi, workshop, training, opini, dan talkshow di fora akademik, pemerintah, LSM, dan media. Tragisnya, sejumlah akademisi Sulsel kontemporer cenderung lebih nyaman menjadi selebriti lokal lewat acara media talkshow dan diskusi warkop. Berupaya mengimbangi, mendorong dan menyumbang bagi dinamika keilmuan di tingkat nasional dan global sudah terlalu merepotkan bagi mereka. Atau mungkin juga, secara finansial, kurang promising.
Tidak heran, kepada masyarakat luas lebih banyak terpapar wacana-wacana populer, anekdotal dan sensasional yang gamang dan instan. Gamang karena, selain kurang mengacu pada teori dan tradisi ilmiah mutakhir yang dinamis, juga tak berpijak pada pengalaman kultural-historis audiens mereka. Dengan ilustrasi lain, wacana tersebut, selain kurang data intelektual, juga kurang darah kultural. Kemalasan membeli dan membaca buku-buku serius, keranjingan baca koran atau menonton TV, dan iliterasi terhadap warisan tradisi dan kearifan budaya sendiri yang berlimpah ruah sudah sejak lama menjadi penyakit kronis dalam komunitas akademik di tanah air, termasuk di Sulsel.
Walhasil, kita panjatkan doa tulus atas kepergian para pakar sejarah dan budaya lokal kita agar beroleh kedamaian di alam berikutnya setakat dengan sumbangsih intelektual mereka. Kemudian, kita bumbungkan harapan kepada generasi berikutnya untuk melanjutkan misi kultural merawat ingatan dan kebanggan kolektif masyarakat Sulsel demi masa depan yang lebih baik, lewat karya-karya kultural dan intelektual yang serius, tulus, dan mengilhami (wahyuddinh@hotmail.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H