Mohon tunggu...
Wening Yuni
Wening Yuni Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Universitas Negeri Jakarta email: weningyuni@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Politik Pendidikan di Indonesia

1 Desember 2014   00:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:25 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Secara historis, perjalan sistem pendidikan Indonesia sudah cukup panjang. Nusantara sudah mengenal sistem pendidikan keagamaan, yakni agama Hindu-Budha. Hindu dengan sistem kasta tampak lebih mengedepankan sistem pendidikan yang feodalistik. Hanya kaum Brahmana yang berpeluang mendapatkan pendidikan dengan sistem peguron. Ada juga sistem petapa, dimana peserta didik menjunjung para petapa yang dijadikan guru untuk belajar agama Hindu.

Lain halnya dengan agama Budha yang tidak mengenal sistem kasta. Institusi pendidikan agama Budha tampak lebih demokratis dan terbuka untuk umum. Di zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya, menurut catatan para pengunjung, Syakyakirti dikunjungi oleh pelajar dari sejumlah negara Asia, antara lain dari India dan Tiongkok.

Di zaman Kesultanan Islam, pendidikan disinkronisasikan dengan misi dakwah. Ketika itu dikenal dua sistem pendidikan, yakni sistem surau atau langgar yang dikelola oleh tokoh agama secara individu atas dukungan masyarakat dan sistem pondok pesantren yang pada awalnya berada dalam kewenangan kesultanan. Pondok pesantren ketika itu umumnya berlokasi di sekitar kraton dengan pembiayaan pengelolaan ditanggung oleh Sultan. Penempatan tenaga pengajarnya pun ditunjuk atas persetujuan penguasa politik. Baru setelah menyurutnya kekuasaan politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh tokoh agama yang disebut kyai atau ulama.

Setelah kehadiran kaum kolonial, pondok pesantren ikut dilibatkan dalam kancah politik. Pondok pesantren dianggap sebagai “sarang pemberontak”. Atas penilaian ini, sekitar tahun 1926 pondok pesantren sudah tidak termuat dalam statistik pemerintah Hindia Belanda. Upaya menutup peluang pengembangan institusi dan sistem pendidikan Islam di Nusantara, terkait dengan dengan kebijakan politik kolonial. Terbukti dari dikeluarkannya Undang-Undang Sekolah Liar (Wilden Scholen Ordonantie), masing-masing tahun 1925 dan tahun 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan akan mendapat subsidi dari pemerintah dan dianggap legal, sedangkan yang tidak memenuhi ketentuan dinilai sebagai sekolah liar dan harus dibubarkan.

Mengantisipasi kebijakan politik pendidikan ini, sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai “mengadopsi” sistem pendidikan Barat. Organisasi sosial keagamaan yang didirikan golongan pedagang keturunan Arab, Jamiatul Khairiyyah mempelopori berdirinya sistem pendidikan Islam modern, yakni madrasah. Langkah ini diikuti oleh organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, Nahdatul Ulama, dan lain-lain. Di luar pengawasn pemerintah, sistem pendidikan pondok pesantren terus berlanjut. Eksistensinya terus dipertahankan sebagai pendidikan masyarakat, terutama di pedesaan.

Setelah merdeka, pendidikan Indonesia dikelola oleh pemerintah. Pendidikan umum sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial Belanda diserahkan kewenangannya kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), sedangkan pendidikan agama (Islam) berada dalam naungan Kementerian Agama.

Sumber: Kata Pengantar oleh Prof. Dr. H. Jalaluddin untuk Buku Politik Pendidikan karya M. Sirozi, Ph.D.

Keterangan: semua sumber sekunder diakses pada tanggal 30 November 2014.

Feodal /fe·o·dal/ /féodal/ a 1 berhubungan dng susunan masyarakat yg dikuasai oleh kaum bangsawan; 2 mengenai kaum bangsawan (tt sikap, cara hidup, dsb); 3 mengenai cara pemilikan tanah pd abad pertengahan di Eropa (http://kbbi.web.id/feodal)

Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord). Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". (http://id.wikipedia.org/wiki/Feodalisme)

Dalam agama Hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan juga pembagi ilmu. Seorang guru adalah pemandu spiritual atau kejiwaan murid-muridnya. Dalam agama Buddha, guru adalah orang yang memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran. Murid seorang guru memandang gurunya sebagai jelmaan Buddha atau Bodhisattva. (http://id.wikipedia.org/wiki/Guru)

Kerajaan Sriwijaya bukan saja termasyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan Bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga Agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara. Sriwijaya memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.

(http://cerita-indonesian.blogspot.com/2012/07/sejarah-agama-budha-indonesia.html)

Sakyakirti adalah seorang mahaguru Buddha di Kerajaan Sriwijaya. Menurut kesaksian I-Tsing, Sriwijaya telah menjadi pusat agama Buddha. (http://balaiedukasi.blogspot.com/2013/10/tokoh-tokoh-sejarah-pada-masa-hindu.html)

Akibat kekhawatiran dan kewaspadaan tersebut, ada 7 prinsip politik pendidikan yang diterapakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Antara lain: 1)Politik dualisme: yaitu pemisahan pendidikan antara anak orang Belanda dan orangEropa lainnya dengan anak Pribumi. 2) Politik gradualisme yang ekstrim: tujuannya adalah menghendaki agar sekolah pribumi tidak sejajar dengan sekolah Belanda/Eropa. 3) Politik konkordasi: memaksa semua sekolah berorientasi pada model pendidikan kolonial Barat dan penghalangan penyesuaian keadaan dengan sosial-budaya dan agama Pribumi. Usaha ini dimaksud agar pribumi yang memperoleh pendidikan tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap negerinya. Ternyata akhirnya politik ini gagal dikemudian hari dengan lahirnya perkumpulan para pelajar di Negeri Belanda yaitu Indonesische Veereniging. 4) Bagi anak pribumi diterapkan pemikiran bahwa untuk masuk sekolah hanya untuk menjadi pegawai rendahan sebagai tujuan utama. 5) Pemerintah Hindia Belanda berusaha mendirikan sekolah-sekolah sekuler dengan propaganda meningkatkan status ekonomi dan gengsi-sosial guna membendung lajunya perkembangan sekolah-sekolah agama. 6) Tidak adanya perencanaan yang sistematis tentang pendidikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. 7) Politik ordonansi kontrol-sentral yang ketat terhadap sekolah-sekolah pribumi. Baik terhadap perkembangan dan pelaksanaan serta tenaga pengajarnya.

Akibat diskrimasi tersebut hanya 7% atau 8% saja penduduk pribumi di nusantara yang bisa membaca dan menulis. Kalangan Ulama menentang hal ini karena dipandang menimbulkan sikap ekslusifime umat terhadap ajaran agamanya dan memunculkan sikap saling mencurigai dan mengambil jarak baik dikalangan Islam maupun Pemerintah Hindia-Belanda terhadap sistem pendidikan yang ada. (https://id.scribd.com/doc/241213452/Wilde-School-Ordonantie)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun