Mohon tunggu...
Herwanto Weya
Herwanto Weya Mohon Tunggu... Penulis - Philosophy Student

tech enthusiast !

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pentingnya Sebuah Konteks dalam Memahami Realitas!

18 Desember 2023   11:46 Diperbarui: 18 Desember 2023   11:53 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jawaban adalah tanggapan atau balasan yang biasanya muncul maupun dikatakan, bahkan dilakukan sebagai bentuk reaksi terhadap pernyataan atau pertanyaan. Jawaban biasanya bersifat kompleks, bentuknya bisa sederhana, lengkap, cukup lengkap, dan juga sangat lengkap tergantung pada kemampuan si penjawab atau pemberi jawaban dalam merespon sebuah pernyataan atau pertanyaan maupun tindakan. Bagus tidaknya dan baik buruknya sebuah jawaban selalu bersifat subjektif dan terbatas pada latarbelakang pengetahuan yang dimiliki oleh si penjawab dan tergantung pada apakah si penjawab memahami atau memiliki pengetahuan yang mumpuni atau tidak mengenai pertanyaan tersebut.

Jawaban selalu bersifat absolut pada dirinya sendiri, artinya bahwa ia selalu berada pada wilayah yang tidak terdistorsi oleh hal apapun diluar dirinya sehingga ia tidak bersifat salah maupun benar, maka sebuah jawaban tidak dapat dianggap benar atau salah tanpa mempertimbangkan konteks. Sehingga untuk menguji sebuah jawaban itu benar atau salah, maka dibutuhkan sebuah konteks. Konteks merupakan sebuah medium yang memungkinkan sebuah jawaban untuk mendapatkan keabsahannya, artinya bahwa benar atau salahnya sebuah jawaban tergantung pada presisi antara pertanyaan dan jawaban yang diberikan sebagai reaksi terhadap suatu pernyataan, pertanyaan maupun bisa dalam bentuk tindakan dan relasinya selalu berada pada upaya intersubjektif.

Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir penggunaan kata "anjing & gila" sangat intens digunakan oleh para kaum mudah dalam keseharian mereka. Kata anjing dan gila yang pada awalnya hanya disematkan kepada hewan mamalia yang telah mengalami domestikasi dari serigala abu-abu serta kata gila yang biasanya diasosiasikan dengan individu dalam kondisi gangguan pada pikiran sehingga pengendalian diri menjadi terganggu. Kini mengalami pergeseran dalam penggunaan maupun pemaknaannya. Dalam konteks yang lebih konvensional penggunaan kata anjing kepada seseorang pada awalnya diasosikan sebagai ekspresi dari rasa marah, kesal, maupun ungkapan kekecewaan. Namun, seiring berjalannya waktu penggunaan kata anjing kemudian melahirkan makna baru seperti ungkapan kekaguman atau rasa takjub terhadap sesuatu maupun digunakan sebagai hiasan dan penekanan dalam sebuah ucapan. Hal serupa juga berlaku hampir sama persis dengan penggunaan kata "gila".

Sekarang coba bayangkan jika kata serupa digunakan dalam percakapan dengan orang tua. Jelas bahwa maknanya akan sama sekali berbeda dan terkesan atau dianggap tidak sopan, bahkan cenderung kasar. Mengucapkan kata anjing dan gila ketika seseorang melihat sesuatu yang membuatnya terpukau dan mengucapkan kata serupa terhadap orang tua menghadirkan reaksi pemahaman dan makna yang sama sekali berbeda, meskipun kata yang digunakan persis sama. Dalam kondisi seperti inilah konteks menjadi sangat penting, ia bukan hanya penting untuk menguji dan menentukan keabsahan dari sebuah jawaban atau pernyataan. Melaingkan, konteks juga memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk makna dalam kesadaran manusia ketika sebuah kata digunakan dalam sebuah kalimat atau pernyataan. Sebab, tanpa konteks manusia bukan hanya akan mengalami kesulitan dalam merespon, memahami, dan memaknai segala sesuatu. Sehingga konsekuensinya adalah manusia akan keliruh dan salah dalam menafsirkan dan menjawab suatu persoalan.

Konteks memungkinka keteraturan dan kesesuaian (presisi) dalam membentuk pemahaman manusia dan cara manusia menanggapi sebuah pernyataan, pertanyaan, dan tindakan maupun fenomena tentang realitas. Pengetahuan manusia dibangun atas pondasi konteks dan konteks memungkin segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketetapannya dan juga berperan dalam meminimalisir kesalahan manusia dalam memahami segala sesuatu.

Konteks menentukan suatu hal apakah tetap relevan atau tidak, misalnya dalam tradisi penghukuman pada zaman dahulu, kita mengetahui bahwa ketika seseorang membuat sebuah kesalahan atau melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya, salah satu hukuman paling berat yang biasa diberikan adalah pancung (memenggal kepala). Namun, seiring berjalannya waktu praktik tersebut tidak lagi menjadi relevan seiring dengan perkembangan pengetahuan dan meningkatnya kesadaran manusia.

Paham akan suatu hal tidaklah cukup dalam bentuk kesadaran dan sadar akan sesuatu tidaklah cukup untuk memahami hakikat dari suatu hal, tetapi dengan memberikan konteks sesuatu menjadi mungkin untuk dipahami secara tepat. Konteks memberikan pondasi yang kuat untuk sampai pada pemahaman yang lebih utuh terhadap realitas. Konteks memungkin manusia untuk terhindar dari bias pemahaman, bias konfirmasi, dan bias-bias lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun