Mohon tunggu...
Herwanto Weya
Herwanto Weya Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Satu hal yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Mekare-Kare "Perang Pandang" Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan!

24 Januari 2023   23:52 Diperbarui: 24 Januari 2023   23:55 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Desa adat Tenganan merupakan salah satu desa tertua yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Desa Tenganan sendiri juga sering disebut sebagai desa Bali Aga, "Maksud dari desa Bali Aga adalah sebuah lingkungan desa di Bali yang masih tetap mempertahankan sistem kehidupan masyarakat yang masih tradisional yang diturunkan secara turun temurun oleh para leluhurnya" (Kristiono, 2017). Sehingga dapat dikatakan bahwa  desa ini merupakan tempat yang belum tersentuh dengan pengaruh globalisasi dan kehidupan modern serta masih memegang teguh nilai-nilai tradisional.

Selain itu, sebagai desa yang masih melestarikan dan memegang erat tradisi parah leluhurnya, maka tidak mengherankan jika masyarakat setempat memiliki aturan sendiri yang mengatur kehidupan para warganya, aturan ini sendiri dalam bahasa suku setempat sering disebut sebagai awig-awig yang harus dipatuhi oleh semua warga desa adat Tenganan tanpa terkecuali. Sedangkan, tokoh adatnya sendiri merupakan pemimpin yang secara turun-temurun diwariskan kepada keturunan atau generasi berikutnya dan sekaligus dipercaya sebagai sosok untuk mengatur, menetapkan maupun membuat keputusan, serta menyelesaikan berbagai macam persoalan di dalam dinamika kehidupan warga desa Tenganan Pegringsingan.

Awig-awig atau norma-norma yang berlaku dan mengatur kehidupan masyarakat desa Tenganan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, adanya larangan penebangan hutan atau tanpa seizin desa. Kedua, adanya larangan penebangan pohon yang masih hidup. Ketiga, Setiap tanaman pohon yang diperbolehkan untuk ditebang hanya untuk keperluan bahan bangunan dan kayu bakar, itu pun hanya untuk pohon yang sudah mongering "mati". Keempat, jenis pohon seperti Cempaka, Durian, dan Nangka sangat dilindugi dan dilarang untuk ditebang selama kondisinya masih hidup. Kelima, bagi warga yang hendak menebang pohon yang sudah mengerikan "mati" harus dilaporkan dan disetujui terlebih dahulu oleh tokoh adat terlebih dahulu untuk diteliti agar dapat dikatakan layak atau tidak untuk ditebang. Keenam, Khusus untuk orang atau keluarga yang baru menikah, penebangan pohon boleh dilakukan untuk keperluan bahan bangunan. Ketuju, Sangat dilarang keras untuk menjual tanah ke luar atau kepada orang dari luar desa. Kedelapan atau yang terakhir adalah warga dilarang untuk mengambil buah-buahan langsung dari pohonnya, tetapi hanya diperbolehkan untuk mengambil buah yang sudah jatuh saja (Kristiono, 2017). Kondisi tersebut merupakan sebuah peraturan yang harus dipatuhi oleh segenap warga desa Tenganan Pegringsingan dan jika ada yang melanggarnya, maka hukuman maupun sanksi yang akan diberikan juga sangat beragam tergantung motifnya tanpa pandang bulu.

Sanksi atau hukaman yang dapat dijatuhkan kepada si pelanggar juga sangat beragam, mulai dari sanksi ringan maupun berat. Sanksi tersebut bisa berupa peringatan maupun denda (Dosen), larangan masuk kerumah tetangga maupun kuil suci (Sikang), larangan untuk berkunjung atau berjalan di depan Bale Agung "semacam rumah adat atau balai pertemuan" (Penging), si pelanggar diwajibkan untuk tidak disapa maupun diajak berbicara, jika si pelanggar bertanya hanya diperbolehkan dijawab sekali, tetapi jika dijawab lebih dari sekali, maka orang yang menjawab juga akan dikenakan sanksi dosen (Sapasumada), dan yang terakhir, si pelanggar dapat dijatuhi sanksi yang lebih berat, yakni dikeluarkan atau diusir dari wilayah desa (Kesah) (Kristiono, 2017). Maka, dari apa yang sudah dipaparkan mengenai dinamika kehidupan warga setempat dan awig-awig "norma" adat yang diberlakukan dapat disimpulkan bahwa corak hidup masyarakat Tenganan memang sangatlah ketat dan masih berpegang teguh pada kepercayaan yang sangat tinggi kepada tradisi para leluhurnya. Hal ini dipraktikkan dengan tujuan menertibkan sekaligus memberikan efek jerah kepada si pelanggar dan juga sebagai contoh kepada warga lainnya agar tidak melanggar awig-awig "norma" yang berlaku.

Apa yang sudah dipaparkan diatas merupakan sedikit gambaran mengenai dinamika kehidupan warga desa Tenganan yang masih dipraktikan hingga sampai sekarang. Salah satu hal yang juga masih dipertahankan dan masih dilestarikan adalah tradisi mekare-kare "perang pandang" yang masih dipraktikan oleh warga desa setempat. Secara historis menurut kepercayaan warga desa Tenganan Pegringsingan "Tradisi Mekare-Kare ini awalnya dilakukan sebagai persembahan kepada Dewa Indra, Dewa yang bertempur melawan Maya Denawa seorang raja keturunan raksasa yang sakti dan sewenang-wenang melarang rakyatnya menyembah Dewa" (Saiputra, 2022). Diyakini bahwa raja Maya Denawa yang berkuasa pada masa itu bertindak semena-mena sehingga kemudian membuat masyarakat takut akan kediktatorannya, maka mereka memohon bantuan dan pertolongan dari dewa Indra untuk membebaskan mereka dari bayang-bayang Maya Denawa, lalu kemudian ia menolong mereka dengan memusnahkan raja kejam tersebut. Itulah yang menjadi alasan mengapa "Tradisi ini merupakan tradisi terbesar dan terpenting masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan karena merupakan ritual utama dan terbesar untuk memuja Dewa Indra" (Yanuarta et al., 2018). Dalam keyakinan masyarakat desa Tenganan dewa Indra merupakan dewa utama sekaligus dipercaya sebagai dewa perang dan mereka tidak menganut sistem tritunggal seperti layaknya yang terdapat dalam kepercayaan agama Hindu pada umumnya. Selain itu, warga di desa ini juga tidak mengenal yang namanya sistem kasta seperti yang biasanya terdapat pada kepercayaan agama hindu pada umumnya. "Menurut cerita masyarakat setempat, tanah Tenganan merupakan titipan dari Dewa Indra yang diberikan kepada leluhur masyarakat Desa Tenganan karena telah menemukan kuda kesayangan Dewa Indra yang melarikan diri sesaat sebelum dikorbankan dalam upacara penyucian bumi. Tenganan berasal dari kata ngatengahang (bergerak ke tengah)" (Yanuarta et al., 2018). Hal ini tidak terlepas dari cerita dan kisah perpindahan warga Tenganan dari daerah pesisir Pantai Ujung ke wilayah yang lebih tengah dan menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun desa Tenganan merupakan hadiah sekaligus titipan yang diberikan oleh dewa Indra kepada leluhur mereka sehingga harus dijaga dan dirawat. Sedangkan, "Kata Pegringsingan diambil dari kata gringsing yang terdiri atas kata gring dan sing. Gring berarti sakit dan sing berarti tidak. Jadi, gringsing berarti tidak sakit, selain itu gringsing merupakan kain tenun ikat ganda khas Tenganan sehingga diyakini orang yang memakai kain Gringsing dipercaya dapat terhindar dari penyakit" (Yanuarta et al., 2018). Itulah sekilas mengenai corak kehidupan warga desa adat Tenganan Pegringsingan dan makna serta arti dibalik nama desa tersebut.

Terlepas dari apa yang sudah dipaparkan diatas, tradisi ritual mekare-kare pada dasarnya mengandung dua unsur penting yang diyakini warga setempat, yakni kepercayaan secara kultural dan kepercayaan secara spiritual. Kepercayaan secara kultural dalam keyakinan warga Tenganan dapat diartikan sebagai sebuah bentuk tradisi yang dijalankan atas dasar kepercayaan bahwa dengan menjalankannya, maka kehidupan yang dijalani oleh warga setempat dapat terhindar dari malapetaka dan akan mendapatkan atau dilimpahkan kemakmuran. Sedangkan, kepercayaan secara spiritual merujuk atau berkaitan dengan kepercayaan pada dewa Indra sebagai satu-satunya dewa tertinggi dalam kepercayaan warga setempat. Dan tradisi "ritual" ini merupakan bagian dari dua unsur tersebut dan biasanya dimulai dari berbagai macam rangkaian acara hingga sampai pada acara puncak, yakni mekare-kare (perang pandang) di desa Tenganan Pegringsingan.

Ritual ini biasanya akan dimulai dari Nyikat. "Ritual Nyikat dilaksanakan pada bulan Mei, 30 hari sebelum puncak tradisi Mekare-kare dilaksanakan" (Yanuarta et al., 2018). Kegiatan ini merupakan upacara awal yang bertujuan untuk mempersiapkan "Benang putih yang diolesi rendaman air dan nasi putih yang selanjutnya digunakan untuk alat mengikat don pandan madui"(Yanti, 2021).  Dan sebagai bahan kain tenun yang akan digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk menutupi maupun membungkus barang-barang/peralatan dan patung-patung yang disucikan. "Ritual Nyikat ini sangat sakral karena selain peserta, tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh benang tersebut. Jika tersentuh, kesucian benang ini akan hilang dan proses ritual akan dimulai dari awal lagi"(Yanuarta et al., 2018). Uniknya, ritual pembuka ini hanya boleh diikuti oleh wanita yang hanya berasal dari desa adat Tenganan Pegringsingan dengan syarat sudah melewati/mengikuti beberapa ritual sebelumnya dan proses ini kurang lebih biasanya melibatkan wanita mudah (daha : Artinya "wanita mudah/remaja" dalam bahasa Tenganan) dan wanita yang lebih tua dalam pelaksanaannya di balai Petemu Tengah. Dimana balai ini merupakan sebuah tempat yang dikhususkan untuk pelaksanaan beberapa ritual adat di desa Tenganan Pegringsingan, salah satunya adalah Nyikat.

Tahap selanjutnya adalah Ngastiti "yaitu menaiki ayunan yang dipasang di depan setiap balai suci yang berjumlah tiga balai, pada saat tradisi Mekare-kare. Ayunan ini hanya bisa dinaiki oleh delapan orang, dengan diputar dua orang laki-laki" (Yanuarta et al., 2018). Pada dasarnya Ngastiti merupakan ritual lanjutan setelah Nyikat yang biasanya dilaksanakan atau dilakukan oleh wanita mudah atau daha dan ini merupakan sebuah ritual yang tidak boleh dilewatkan. Uniknya ayunan ini dibuat terlalu tinggi dari batang pohon nira dan bentuknya seperi komedi putar atau bianglala. Selain itu, ayunan ini bukan hanya sekedar buat hiburan semata, melaingkan memiliki nilai filosofisnya tersendiri. Dengan menaiki ayunan yang terus berputar diharapkan para pemudi dilatih tentang bagaimana caranya menjalani kehidupan karena dalam keyakinan warga desa Tenganan mereka percaya bahwa dinamika kehidupan itu seperti ayunan yang kadang-kadang dibawah, tetapi terkadang juga diatas. Ayunan ini juga merupakan salah satu peninggalan para leluhur yang masih dipertahankan dan ia tidak diperkenangkan untuk digunakan sembarangan, maka oleh karena itu biasanya setelah digunakan dalam prosesi ritual lalu kemudian akan dibongkar atau dilepaskan kembali untuk kemudian disimpan kembali di bawah salah satu tempat suci dan akan digunakan kembali pada upacara berikutnya. Selain itu, karena dianggap sakral biasanya setelah digunakan ayunan ini akan diupacarakan terlebih dahulu sebelum dilepaskan kembali.

Kemudian tradisi dalam ritual ini akan diikuti dengan acara puncak, yakni mekare-kare (perang pandang). Meskipun demikian, sebelum ritual puncak ini dimulai biasanya seluruh warga desa Tenganan akan menyempatkan waktu terlebih dahulu untuk memutar kampung sebanyak dua kali dengan tujuan meminta perlindungan kepada dewa Indra dan biasanya dimulai tepat jam dua sore. Selain itu, tradisi perang pandang ini hanya diperbolehkan untuk diikuti oleh para pria saja, sedangkan para wanita hanya akan menonton dari serambi balai Patemu. Biasanya para peserta laki-laki sebelum melakukan pertunjukkan perang pandang akan melakukan upacara minum tuak bersama menggunakan daun pisang, kemudian sisahnya akan dibuang ke arah persis dibelakang tempat perang pandang akan dilaksanakan. Lalu, bagi para peserta yang akan melakukan ritual perang pandang diwajibkan mengenakan pakaian tradisional desa adat Tenganan yang biasa disebut dengan nama Kamen yang biasa digunakan dalam prosesi mekare-kare. Selain itu ada juga sejenis kain bercorak yang biasa dikenakan tepat dibagian lapisan atas kamen disebut dengan Saput adalah sebuah pakaian khusus bagi pria desa Tenganan. Adapun sebuah ikat kepala yang terbuat dari kain, yakni Udeng dibuat khusus bagi laki-laki, kemudian ada juga properti yang biasa disebut dengan Tamiang merupakan sebuah perisai yang terbuat atau dihanyam dari rotan sebagai pelindung yang akan dipakai ketika perang pandang akan dimulai. Lalu, terakhir ada Don Pandan Madui (Bahasa Tenganan) atau daun pandang berduri. "Salah satu jenis daun pandan yang memiliki duri tajam, secara kultural dalam tradisi mekare- kare berfungsi sebagai senjata utama"(Yanti, 2021). Yang akan gunakan untuk saling menyerang dan menggoreskan antara satu sama lain, daun ini sendiri biasanya diambil ditengah hutan.

Dalam prosesnya, puncak dari ritual ini biasanya akan dimulai dengan  pembukaan dari kepala suku atau tokoh adat desa Tanganan dengan memberikan aba-aba kepada dua orang yang masing-masing memegan beberapa tumpukan daung pandang yang sudah diikat dengan benang putih dipegang ditangan kanan dan perisai atau pelindung yang terbuat dari rotan ditangan kiri. Kemudian, akan dilanjutkan dengan kedua peserta tersebut menyerang satu sama lain untuk saling mengoreskan daung pandang berduri tersebut, baik di area punggung maupun leher hingga sampai berdarah sebagai bentuk penghormatan kepada dewa Indra dan para leluhur. Lalu, peserta lain akan menyoraki dua orang yang sedang saling menggoreskan daung pandang tersebut untuk menyemangati dan mendukung kedua-duanya, sedangkan para wanita yang mengenakan pakaian tradisional, yakni kain tenun pegringsingan akan menyaksikan pertunjukkan tersebut dari atas serambi balai desa. Ritual perang pandang ini sendiri hanya akan berlangsung kurang lebih selama tiga jam lamanya dengan masing-masing durasi waktu dari para peserta selama satu menit. "Mekare-Kare juga diiringi oleh permainan gamelan yang ditabuh dengan tempo yang cepat dan sorakan peserta lain yang memberi semangat" (Saiputra, 2022). Sedangkan untuk patokan usia sendiri tidak ditentukan sehingga baik anak-anak, remaja, pemuda, bahkan sampai orang tua pun boleh mengikuti ritual ini dengan catatan mereka sudah siap dan layak untuk ikut serta dalam pelaksanaanya. Proses perang pandang sendiri terjadi secara transparan, artinya tanpa adanya dendam, marah, maupun benci dan tanpa adanya rasa sakit serta mereka melakukannya dengan rasa gembira sekaligus ikhlas karena memang tujuannya adalah untuk melakukan ritual kepada dewa Indra dan para leluhur.

Setelah semua peserta selesai melakukan ritual mekare-kare (perang pandang) dan dirasa sudah cukup, selanjutnya para laki-laki yang menjadi peserta perang pandang kemudian akan saling melakukan Mecane, artinya saling menyolek satu sama lain menggunakan bahan padi yang sudah terkelupas kulitnya (baas) dan lalu sudah dicampurkan dengan kunyit. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengobatan melalui obat tradisional yang biasa disebut dengan Boreh Kare. Sebuah "Bedak basah yang berwarna kuning kecoklatan yang digunakan untuk mengobati luka masyarakat yang telah mengikuti tradisi mekare-kare"(Yanti, 2021). Boreh Kare sendiri biasanya terbuat dari bahan-bahan tradisional seperti kunir, lengkuas, dan asam cuka, setelah selesai dibuat biasanya disimpang di salah satu tempat suci yang bernama Gantih Nyoman sebelum kemudian dihaturkan ke Gedung patemu desa Tenganan. Lalu dilanjutkan dengan proses Mobareh, artinya "Memberikan boreh kare untuk pengobatan luka yang dialami masyarakat saat pelaksanaan mekare- kare"(Yanti, 2021). Disela-sela proses pengobatan kemudian akan dilanjutkan dengan kegiatan makan bersama dan saling berdiskusi ringan satu sama lain atau yang biasa disebut dengan kegiatan Magibung sambil menyantap "Nasi, sayuran, serta lauk-pauknya diletakkan dalam daun pisang yang panjang dan lebar sebagai alas makan"(Yanti, 2021). Tradisi magibung ini sendiri "sudah dikenal sejak zaman kerajaan Karangasem, Megibung diwajibkan untuk para prajurit dari kerajaan Karangasem ketika makan bersama setelah pulang dari berperang"(Yanuarta et al., 2018). Maka, tidak mengherankan jika setelah prosesi mekare-kare para warga desa Tenganan melakukan hal serupa karena memang pada dasarnya mereka masih merupakan keturunan dari para prajurit kerajaan pada masa lalu. Kemudian, terakhir akan ditutup dengan proses meminum tuak bersama-sama sebagai simbol penutup atau akhir dari prosesi ritual mekare-kare (perang pandang) menggunakan Tiing (bahasa masyarakat desa Tenganan) atau bambu sebagai tempat untuk meletakkan tuak. Minuman tuak ini sendiri terbuat dari nira kelapa maupun beras merah yang kemudian difermentasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun