Efektifkah ketika "Mogok" menjadi senjata protes untuk "Menuntut Hak"?
Ya.. Mogok. Mogok lagi dan Mogok lagi.
Jujur, paling afraid kalau mendengar kata ini. Saya dan banyak orang pula menggunakan angkutan umum sebagai transportasi sehari-hari. Jadi kalau ada "Mogok" apalagi tidak terduga dan mendadak, pasrah adalah jawaban yang paling tepat.
Lebih detailnya, Saya akan menceritakana tentang kejadian beberapa hari yang lalu, tepatnya Rabu, 18 Juli 2012.
Saya bekerja di daerah Pantai Indah Kapuk. Untuk menuju tempat kerja, Saya harus naik angkutan umum sebanyak 3 kali setiap harinya. Yaitu angkutan B-06, B-01 dan U-11. Dan angkutan umum yang sering buat Saya untuk lebih "Siaga" adalah angkutan umum B-01.
B-01 adalah angkutan umum yang melayani trayek Grogol - Muara karang. "Mogok" pada Rabu kemarin adalah kali kedua dalam kurun waktu kurang dari 2 bulan terakhir.
Ya.. Mengapa demikian?
Pada pertengahan Mei lalu, Polda Metro Jaya yang menangani lalu lintas daerah Muara Karang menetapkan "Jalur Satu Arah" di sepanjang jalan Muara karang.
Nah, apa pengaruhnya bagi angkutan umum?
Selidik punya selidik, hari ini karena angkutan umum B-01 yang saya naiki sepi alias hanya Saya seorang. Saya mencoba untuk ngobrol dengan sang sopir yang selebihnya Saya ketahui namanya adalah Pak Slamet. Orangnya tidak menyeramkan dan sopan, jadi enak untuk di ajak ngobrol.
Melalui Beliau, Saya mendapat sebab yang pasti kenapa “Mogok” pada Rabu kemarin terjadi. Menurutnya, penerapan “Jalur Satu Arah” ini memberatkan para pengemudi angkutan umum. Mereka harus melaui jarak yang lumayan jadi panjang. Dan tidak bisa nge-tem di sepanjang jalur Muara Karang yang di kenal dengan Terminal Buatan.