Saya mengarahkan pandangan pada pantai. Pagi itu, panas matahari belum terlalu terik. Beberapa anak buah kapal nampak sibuk mempersiapkan perahu kecil. Ya, perahu kecil yang akan membawa kami ke kapal yang lebih besar, kurang lebih 100 meter dari bibir pantai. Tak nampak sesuatu yang luar biasa dari aktivitas itu. Sampai akhirnya saya melihat seorang pria berbadan kekar yang sedari tadi sibuk bergerak ke sana dan ke sini mempersiapkan perahu kecil. Wajahnya hitam legam terbakar sinar matahari. Saya pun mendekat ke perahu dan memperhatikan lebih seksama lagi. Lengannya nampak kekar. Lengan kanannya nampak lebih besar dan kekar dibandingkan lengan kirinya. Ya, lengan kanan yang menopang kruk. Ya, kaki kanan pria itu hanya separuh.
Lambertus namanya. Usianya sekitar 60-an tahun. Ia terlahir dengan kaki kanan yang hanya sepanjang lutut. Ia tak menyerah. Bekerja keras sebagai anak buah kapal. Ketrampilan dan kecepatan geraknya tak kalah dengan mereka yang memiliki kaki yang utuh. Kruk itu bukan sekedar penopang bagi kakinya, tetapi kadang juga berfungsi sebagai alat dayung. Saya melihat dengan lincah Lambertus terjun ke laut, berenang dengan memegang kruknya. Masuk ke perahu kecil, mendayung dengan menggunakan kruk itu menuju pantai. “Anak saya delapan. Anak pertama dan kedua kuliah dan bekerja di Jakarta,” tuturnya bangga. Saya mengangkat jempol kepadanya. Ia pun tersenyum. Dalam perjalanan pendek dari perahu kecil menuju kapal itu kami tak sempat banyak bicara. Barangkali juga tak perlu banyak bicara, sebab aktivitas Lambertus di pagi itu telah mengajar saya banyak hal tentang hidup ini.
Tak ada hidup yang sempurna. Tiap insan bergumul dengan keterbatasan. Namun, keterbatasan bukan alasan untuk bermalas-malasan. Keterbatasan mesti melecut semangat juang!
*potret adalah koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H