Foto Penulis bersama Uliya Kades Perempuan (Uliya menggunakan baju PDH) Dua Periode di Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi
Namanya cukup sederhana Uliya, tanpa embel-embel gelar keagamaan maupun gelar kesarjanaan. Dia hanya lulus Sekolah Menengah Kejuruan di Jamannya, dan pada saat itu hanya dia perempuan satu-satunya di kampungnya yang menamatkan pendidikan sampai setaraf Sekolah Menengah Atas. Sebab saat itu, sangatlah tabu bagi orang kampungnya untuk menyekolahkan perempuan setinggi mungkin. Sebagaimana tradisi dan budaya masyarakat Seberang Jambi saat itu, perempuan hanya  cukup mendapatkan pendidikan Sekolah Dasar atau Madrasah Diniyyah. Selebihnya perempuan harus terkungkung dalam ruang domestik rumah tangga, tidak diperbolehkan tampil di ruang publik, mengantar minuman untuk tamu pun hanya diperbolehkan tampak tangan, mengaji hanya boleh dirumah, apalagi menjadi pemimpin.
Tekad orangtua Uliya terutama ayahnya, sangatlah kuat untuk memberikan putrinya kesempatan mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Sebab bagi ayahnya, perempuan harus maju. Pandangan ayahnya yang demikian di karenakan ayah Uliya merupakan sosok individu masyarakat Seberang Jambi yang lebih terbuka daripada lainnya, maklum ayah Uliya sering keluar daerah dan banyak bergaul dengan semua orang. Tak heran jika ayahnya menginginkan putrinya menjadi sosok perempuan yang berilmu, maju dan memiliki kesempatan lebih daripada kebanyakan perempuan di kampungnya. Namun tekad ayah Uliya tidaklah mulus, banyak orang kampung mencibir Uliya, ayah Uliya dan keluarganya hanya karena mereka menyekolahkan Uliya. Seolah menyekolahkan perempuan setinggi mungkin adalah aib bagi keluarga.
Kisah sedih proses Uliya menempuh pendidikan di jamannya, ketika perempuan dipandang sebelah mata di kampungnya itu, kini berbuah manis. Perempuan kelahiran Desa Penyengat Olak, tahun 1965 itu, terhitung sejak tahun 2007 hingga sekarang, telah dua periode  menjabat sebagai kepala Desa Penyengat Olak di Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi. Pada awalnya, Uliya yang bersuamikan seorang Pegawai Negeri Sipil Kantor POS Utama Jambi ini ragu untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa, mengingat kesehariannya hanya seorang ibu rumah tangga dan bertani padi di kampungnya. Namun, desakan keluarga yang begitu kuat, Uliya dengan tekad membara maju ke bursa pemilihan kepala desa saat itu. Modal Uliya sudah ada untuk maju ke gelanggang politik, karena sebelumnya, Uliya aktif di kegiatan masyarakat juga organisasi luar desanya hingga membuat Uliya banyak mempunyai koneksi dan jejaring di luar desanya, setidaknya Uliya merupakan perempuan yang memiliki pergaulan luas.
Tentunya, majunya Uliya ke bursa pemilihan kepala desa pada awalnya, banyak menuai kontroversi, cibiran dan cemoohan. Meskipun saat itu perempuan di Seberang Jambi telah dibebaskan untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, namun sangatlah terlarang untuk ke ruang publik, apalagi menjadi pemimpin. Masyarakat Seberang Jambi yang masih kuat berpegang teguh pada nilai adat bersendi sayara', mengganjal Uliya dengan prinsip bahwa haram perempuan menjadi pemimpin. Tak pelak lagi, ketika Uliya terpilih untuk pertama kali sebagai kepala desa di kampungnya, Alim ulama, tokoh adat, tidak menyukainya terang-terangan.
Atas kondisi itu Uliya punya pernyataan, "apa salahnya perempuan menjadi pemimpin, kalau soal mengimami sholat, staf atau perangkat desa dan tokoh lainnya yang laki-laki tetap bisa menjalankan itu, biarkan saya yang mengurus kepemimpinannya bukan menjadi imam sholat." Â Uliya pun akhirnya menggunakan strategi dengan merangkul lawan politiknya dan tokoh adat serta alim ulama yang memusuhinya untuk bergabung di kepemerintahan desa yang ia pimpin. Lama kelamaan, karena Uliya dapat menunjukkan dedikasi serta kinerjanya sebagai pemimpin yang tak kalah bagus seperti halnya laki-laki, alim ulama, tokoh adat serta laki-laki di kampungnya mempercayainya, memujinya dan tidak lagi mempersoalkannya. Hingga habis masa jabatan satu periode Uliya menjadi kepala desa, Uliya melenggang mulus terpilih lagi sebagai kepala desa.
Selama lebih dari dua tahun, penulis menjalin komunikasi dengan Uliya dalam project penelitian dan pengabdian masyarakat di desanya, Uliya merupakan sosok kepala desa perempuan yang cerdas, memiliki daya tanggap dan inisiatif maju terhadap program-program pemberdayaan. Tak beda dengan laki-laki, jika ada persoalan penduduk sampai tengah malam pun, Uliya mau melayaninya dengan sepenuh hati, meskipun esoknya terkantuk-kantuk, lelah namun masih tetap semangat memberikan pelayanan untuk masyarakat desanya dan keperluan administrasi lainnya. Tak ada hambatan meskipun Uliya seorang ibu rumah tangga untuk rapat hingga tengah malam dini hari membahas program dan pembangunan desanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H