Sempat ditabukan karena dianggap sebagai aksi gerakan subversif yang condong kepada komunisme, maka karena itu Orde Baru dibawah kepimpinan rezim Soeharto kemudian melarang pergerakan buruh terutama untuk menggelar peringatan hari buruh sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 1 Mei, dan dikenal dengan May Day. Pasca kejatuhan rezim Orde Baru dan digantikan dengan rezim Orde Reformasi, buruh diseluruh Indonesia kemudian bebas menggelar peringatan May Day. Setiap tahun, sejak 1999 hingga 2013 kemarin, kaum buruh di Indonesia selalu menggelar aksi terkait May Day. Ratusan ribu buruh berpartisipasi didalamnya, menyuarakan apa yang menjadi tuntutan mereka sebagai buruh di Republik Indonesia yang mengalami kondisi ketidakadilan secara politis, ekonomi, sosial, budaya.
Setelah mengalami proses yang panjang sejak 1999, akhirnya pemerintah sepakat pada tahun 2013, bahwa mulai 2014 May Day dilaksanakan sebagai hari libur nasional dalam pengkalenderan Indonesia. Buruh dalam hal ini boleh berbangga, setidaknya ketika May Day di tetapkan sebagai hari libur nasional, ruang kekuasaan sedikitnya memberikan tempat bagi buruh untuk menggelar perayaan May Day dengan segenap konsekuensi pertemuannya diruang publik face to face kekuasaan dan tuntutan sipil buruh.
Ditahun politik 2014 ini dimana untuk pertama kalinya May Day dijadikan hari libur nasional, kaum buruh terlibat dalam pusaran politik yang tengah berjalan diruang publik terutama dalam eventpemilihan umum legislatif dan presiden. Pemilihan umum legislatif telah berlangsung 9 April lalu. Dimulai pada May Day tahun 2014 ini, terdapat jeda selama lima bulan menuju pemilihan umum presiden. Penganugerahan May Day sebagai hari libur nasional, setidaknya diupayakan untuk mendapatkan dukungan politis buruh terhadap proses politik yang tengah berlangsung tersebut.
Buruh adalah suatu objek yang paling tidak berdaya jika berhadapan dengan kekuatan politik kekuasaan, tetapi sekaligus konstituen yang mudah diorganisir secara politis dan organisatoris baik meminjam tangan pemilik modal dimana tempat buruh bergantung maupun secara langsung. Eksistensi buruh menjadi banyak fungsi, tergantung kekuasaan dan pemilik modal yang mengarahkannya, dipinjam tenaganya untuk keperluan produksi, atau dipinjam partisipasinya untuk mendapatkan dukungan legitimasi kekuasaan.
Sejauh ini, partai politik (parpol) dan calon presiden (capres) yang memenuhi ruang publik dengan segenap hajatan politiknya ditahun politik 2014 ini, belum begitu jelas dan tampak menampilkan platform politiknya terhadap isu-isu perburuhan yang nantinya akan mereka bawa pada proses politik dan dihadapkan pada kekuasaan. Padahal buruh adalah bagian dari sebuah sistem ekonomi juga politik dalam perusahaan yang bernama negara. Buruh dalam perusahaan yang bernama negara, menggerakkan mesin produksi yang dikelola oleh swasta maupun juga negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dari segi ekonomi. Kebijakan apa yang dikeluarkan negara terkait dengan ekonomi dan sektor swasta, akan berimbas kepada kondisi dan kualitas buruh, aliran aspirasi dan partisipasi buruh, yang nantinya akan menjadi umpan balik bagi proses politik yang berlangsung untuk mengatur kembali sistem ekonomi negara.
Bagaimana platform parpol dan capres pada pemilihan umum 2014 ini, dapat menyentuh tidak hanya pada permukaan kondisi perburuhan Indonesia tetapi juga sampai kepada kondisi dasar permasalahan perburuhan baik untuk buruh domestik maupun buruh yang diekspor keluar negeri. Olehkarena itu, persinggungan antara platform politik lembaga politik dan negara serta kekuasaan dengan buruh, tidak hanya sederhana sekedar masalah upah, meskipun upah merupakan bagian prioritas utama yang didahulukan dituntut oleh buruh.
Pada bagian dasar perburuhan Indonesia, kebijakan negara belum dapat secara tegas menyediakan produk kebijakan yang dapat menjamin, memenuhi dan melindungi buruh secara hukum sebagaimana warga negara yang mempunyai kedudukan sama dimata hukum, apakah ketika berhadapan dengan sesama buruh dari berbagai klasifikasi buruh, pemilik modal, apalagi wajah kekuasaan negara. Buruh kerap dijadikan tumbal dari permasalahan-permasalahan manajemen yang bersifat operasional, seumpama komponen mesin, tenaga buruh dapat dicadangkan antara satu dengan lainnya, sehingga ketika manajemen berlaku secara operasional terhadap buruh, kesalahan operasi dilakukan dengan mencopot tenaga buruh yang tidak bisa lagi diandalkan untuk dijadikan cadangan. Sistem outsorcing tenaga buruh merupakan cerminan dari hal ini.
Analogi komponen mesin diatas terhadap buruh, semakin mendegradasikan buruh dari sisi kemanusiaannya, padahal tenaga buruh yang menggerakkan alat-alat produksi berangkat dari sosok manusianya. Alih-alih memberdayakan dan memperbaiki buruh, apalagi mensejahterakannya, pemilik modal yang didukung oleh kebijakan negara dan kekuasaan yang melingkupinya, lebih baik terus berupaya melakukan pergantian tenaga buruh yang stoknya selalu tersedia dimasyarakat dengan murah tanpa posisi tawar yang berarti, dimana kondisi kreatif dan inovatif tidak disediakan negara dalam wadah dan pengelolaan yang baik, sehingga pilihan menjadi buruh merupakan yang terbaik daripada tidak sama sekali.
Imbas dari itu semuanya adalah menumpuknya isu-isu buruh didasar permasalahan yang tidak pernah berhasil mencapai permukaan, untuk disentuh secara proses politik dengan parpol sebagai penjaringnya melalui platform yang dikembangkan dengan tegas menata kondisi perburuhan Indonesia dimana pada event-event politik, puluhan ribu dukungan legitimasi digantungkan pada buruh. Apalagi capres yang nantinya akan ikut mengesahkan dan terlibat dalam pola kepemimpinan mengelola manajemen perburuhan pemerintahan yang dipimpinnya. Belum ada sosok capres yang dengan visi-misinya sebagai pemimpin otoritas tertinggi kekuasaan negara, menyentuh masalah perburuhan jauh kedalam sekedar hanya menyediakan lapangan kerja.
Lapangan kerja, mungkin dapat disediakan dengan mudah, apakah dengan pola-pola lama yang selalu menguntungkan cukong-cukong kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri, dengan memanggildan memberikan kesempatan semudah dan sebanyak mungkin modal dan investasi asing masuk dan berkembang berdampingan dengan borjuis lokal, ataukah dengan mengekspor tenaga buruh dalam negeri tanpa batas dan ketentuan. Tetapi, apakah berani parpol dan juga capres yang diusungnya nanti menyuarakan dan membawa isu permasalahan buruh yang terkait dengan hak-hak dasar buruh sebagai manusia dimana dengan bekerja buruh memanusiawikan fungsi kemanusiaannya, contohnya seperti ketersediaan jaminan kesehatanberkualitas dan menyeluruh terhadap buruh tanpa membebani separuh penghasilan buruh, jam kerja dan upah yang manusiawi, kebebasan buruh berserikat dan berpendapat tanpa harus disortir oleh pemilik modal, mendapatkan nilai manfaat dan tepat guna terhadap tekhnologi yang berkembang dilingkungan kerjanya, ketersediaan permukiman buruh yang berkualitas dan sehat, jaminan hak kesehatan reproduksi terhadap buruh perempuan, dan lain-lain. Sepertinya kita tunggu, bagaimana parpol dan capres terpilihnya nanti menangani isu-isu dasar ini tanpa dialihkan dan dilewatkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H