Mohon tunggu...
wenny ira wahyuni
wenny ira wahyuni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

just an ordinary homo social politicus.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buruh Perempuan di Arus Tahun Politik

7 Mei 2014   19:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

May day untuk memperingati hari buruh sedunia akhirnya setelah melewati proses yang panjang, pada tahun politik 2014 dihadiahkan kepada seluruh buruh di Indonesia sebagai hari libur nasional setiap 1 Mei. Suatu langkah politis yang diambil oleh pemerintah Indonesia, mengingat pada tahun politik 2014 bangsa Indonesia tengah menggelar event politik pemilihan umum legislatif dan presiden, dimana sejak dari awal tahun hingga akhir tahun akan diwarnai penuh oleh upaya konsolidasi politik.

Buruh yang kini di Indonesia jumlahnya mencapai lima ratus ribu lebih di seluruh Indonesia, merupakan kaum yang kerap mewarnai ruang publik dengan segala tuntutannya berhadapan dengan kekuasaan negara dan pemilik modal di ranah swasta. Gejolak buruh masih di anggap sebagai hantu yang jika tidak distabilkan akan meletuskan revolusi, anarkhi, dan mobokrasi. Untuk itulah, pada tahun politik 2014 rezim yang tengah berkuasa di Indonesia, berupaya melakukan konsolidasi terhadap buruh, agar peringatan May Day tidak menimbulkan dan meningkatkan eskalasi huru hara politik ditengah hajatan politik yang berlangsung.

Apa yang tidak dapat diproduksi oleh buruh? Begitulah teman saya dijejaring sosial membuat pertanyaan. Buruh dalam kerangka ekonomi berperan dengan tenaganya untuk memproduksi barang dan jasa, menggerakkan aset pemilik modal dan menyumbangkan keuntungan karenanya. Tanpa buruh, sistem ekonomi tidak akan berjalan. Tidak berjalannya sistem ekonomi akan berdampak kepada sistem sosial, dimana dengan tenaga buruh yang bergerak barang-barang dan jasa yang diperlukan bagi peradaban manusia tercipta, membentuk suatu pola sosial setiap waktu, inilah fungsi buruh sebagai agen pada sistem sosial, menciptakan perubahan, menghidupkan agenda sosial, jika buruh tersudut dan sistem ekonomi tidak berjalan, maka demikian halnya dengan sistem sosial.

Pada kerangka politik, buruh adalah target operasional kebijakan kekuasaan negara di ruang publik. Tenaga buruh yang menopang sistem ekonomi, juga menopang berdirinya suatu negara diruang kekuasaan.Selain menghadirkan barang dan jasa, tenaga buruh tersistem dan terkontrol berdasarkan permintaan kekuasaan. Tenaga buruh diputar secara umpan balik oleh kekuasaan, dimana input tenaga buruh untuk proses produksi ekonomi akan menghasilkan tidak hanya output barang dan jasa, tetapi juga dukungan aspirasi, partisipasi bagi proses politik yang berlangsung dalam upaya mencapai legitimasi kekuasaan.

Tahun politik merupakan kesempatan buruh untuk menampilkan posisi tawarnya kepada kekuasaan dan agenda-agenda politiknya yang telah baik hati menjadikan May Day sebagai hari libur nasional. Selama ini, isu-isu perburuhan jarang ditangkap secara mendalam oleh kekuatan politik yang ada di Indonesia. Dalam agenda pencalonan presiden Oktober mendatang, baru Prabowo Subianto yang menoleh kepada isu perburuhan dimana sebuah pakta integritas antaranya akan ditandatangani. Tetapi sama seperti yang pernah berlangsung, isi pakta integritas itu hanya menyentuh kepada isu-isu yang mengambang dipermukaan masalah perburuhan. Seakan keberadaannya hanya merupakan episode penstabilan gerakan buruh ditahun politik.

Didasar permasalahan perburuhan Indonesia, ada banyak permasalahan yang serupa dengan gunung es. Apakah itu permasalahan buruh di dalam negeri, atau buruh Indonesia yang tenaganya dipekerjakan diluar negeri. Permasalahan buruh perempuan terutama, dimana isu gender terkait erat dengannya dan pemerintah belum berhasil mengurainya dari tahun ketahun. Buruh perempuan penyumbang tenaga terbesar disektor formal maupun informal. Penumpukan terbanyak buruh perempuan ada pada sektor informal yang jumlahnya mencapai separuh lebih daripada buruh lelaki.

Negara Indonesia, dalam upayanya berhadapan dengan buruh perempuan telah menandatangani beberapa konvensi internasional terkait. Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Beijing Platform, konvensi buruh migran, konvensi maternitas, konvensi ekonomi sosial dan budaya, merupakan contoh beberapa konvensi yang telah disepakati oleh Indonesia untuk memberikan perisai hukum bagi buruh perempuan. Beberapa telah di ratifikasi, semisal CEDAW dan konvensi buruh migran. Tetapi negara ini belum beranjak pada isi kesepakatan. Didasar permasalahan buruh perempuan telah berdesakan permasalahan yang menunggu keseriusan pemerintah untuk benar-benar menunjukkan tanggung jawabnya sesuai dengan isi konvensi.

Buruh perempuan adalah buruh yang paling tidak berdaya dan paling tidak memiliki posisi tawar didalam suatu posisi dan kondisi perburuhan yang tidak seimbang. Anggapan tenaga perempuan bukan merupakan pencari nafkah utama, hanya merupakan tenaga pembantu, dan hanya cocok dipasangkan pada pekerjaan yang bersifat jasa, administratif, telah meluruhkan kemanusiaan buruh perempuan. Diskriminasi dari segi upah, usia pensiun, hak-hak normatif, kesempatan yang sama dalam pekerjaan masih membelit buruh perempuan. Apalagi jika dihadapkan pada masalah jaminan pemeliharaan kesehatan, terutama kesehatan reproduksi buruh perempuan terkait dengan hak maternitasnya. Malahan hak maternitas buruh perempuan ini yang dijadikan kambing hitam untuk sewenang-wenang memberikan asassement pada tenaga buruh perempuan.

Ribuan perusahaan dan pemilik modal memperkerjakan buruh perempuannya dengan suatu kondisi lingkungan yang tidak layak tanpa mempertimbangkan aspek resiko kesehatan dan keselamatan, serta jam kerja yang baik. Lepas tanggungjawabnya negara terhadap permasalahan buruh migran, padahal mereka telah memiliki perisai hukum yang telah disepakati pemerintah. Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang tidak dianggap sebagai pekerja, sehingga lewat dari perlindungan hukum negara.

Isu permasalahan buruh perempuan diatas, seharusnya pada tahun politik 2014, dapat ditangkap oleh kekuasaan yang nantinya memenangkan kompetisi pemilihan umum, baik itu legislatif maupun presiden. Keterwakilan politik perempuan pada skema keterpilihan legislatif, pada konsepnya dicadangkan untuk dapat melihat pada isu buruh perempuan, atau setidaknya dapat menghadirkan sensitifitas gender di gedung parlemen untuk mengatasi isu buruh perempuan diruang publik. Kita lihat saja, bagaimana nantinya proses tahun politik ini menangkap isu buruh perempuan dan perburuhan pada umumnya dalam pusaran agenda politik kedepan, terutama lima tahun mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun