Jelang pemilihan umum (Pemilu) presiden Oktober 2014 mendatang, bursa calon presiden (capres) telah dipenuhi oleh sosok yang akan diajukan sebagai capres oleh beberapa partai politik peserta pemilu. Sosok yang digadang-gadang akan diturunkan kearena pemilu presiden, jauh hari sudah hilir-mudik diberbagai media massa cetak maupun elektronik. Beberapa nama tokoh akrab dikenal mengkampanyekan diri sebagai capres, dan kebanyakan di dominasi dari kalangan pengusaha, maupun militer.
Sosok capres yang merupakan tokoh dari kalangan militer ini, setiap pemilu presiden rajin mengisi arena bursa capres selama beberapa periode pemilu pasca reformasi hingga sekarang. Kegagalan mereka berkali-kali di bursa capres rupanya tidak menjadikan kendala bagi mereka untuk maju kembali meraih peruntungan menjadi presiden Republik Indonesia. Berkali-kali juga mereka mengajukan diri dan setidaknya di akar rumput mereka masih mendapatkan suara, baik itu dari kalangan petani, masyarakat desa, bahkan diatasnya adalah para birokrat.
Militerisme masih merupakan bagian tidak terpisahkan dalam perkembangan politik di negara berkembang seperti halnya Indonesia. Unsur-unsurnya masih menggeliat, menyebar keberbagai bidang, baik bisnis maupun politik, meskipun dwi fungsi TNI-ABRI telah dihapuskan. Seorang prajurit militer memang pada realitasnya telah dilarang memasuki arena politik, maupun bisnis, dan berpihak kepada kepentingan tertentu. Akan tetapi pejabat militer, meskipun telah pensiun dari kemiliterannya, dibelakang dia tetap memegang kendali dan berpengaruh terhadap junior-juniornya. Identitas kemiliterannya merupakan sarana untuk meraih dukungan dari jalur belakang terhadap korps militer, apalagi tempat satuan dimana dia pernah bertugas dan menjabat.
Rezim orde baru yang identik dengan kepemimpinan militeristik, telah berhasil menanamkan jutaan benak rakyat, apalagi diakar rumput. Militer berhasil melakukan stabilitas negara melalui kepemimpinan model militer dalam mengelola kekuasaan diruang publik, berhadapan dengan tuntutan sipil yang kadang dianggap menimbulkan goncangan sistem. Militer pada era orde baru diruang publik memang menampakkan wajah kekerasan dan ketegasannya, akan tetapi yang berhasil tertinggal dijutaan benak rakyat pada akar rumput itu adalah wajah pengayom dan patron baik tiada tara.
Mengenai beberapa capres yang sosoknya identik dengan militer, kita mengenal beberapa tokoh yang memiliki latar belakang militer, dan gencar mengiklankan diri dimedia massa sebagai capres pada pemilu presiden Oktober 2014 mendatang. Jika membicarakan mereka, kita tentu tidak bisa melepaskan sejarah tokoh militer yang maju tersebut dari catatan kelam sejarah bangsa ini ketika berhadapan dengan masa peristiwa yang cukup berlumuran darah di negeri ini. Sebut saja itu peristiwa sejenis pembasmian komunisme di era 1960-an hingga peristiwa hiruk-pikuk tuntutan reformasi 1997 dan setelahnya.
Pada masa itu sejarah bangsa kita terbuat dari genangan darah puluhan ribu rakyat, baik itu sipil maupun dari kalangan militer sendiri. Tak terhitung darah yang tumpah membasahi bumi pertiwi, dari hasil suatu program kebijakan genosida atas nama pembasmian ideologi komunisme, dimana sebagian besar rakyat yang menjadi korban belum tentu terbukti dan belum tentu paham apa itu ideologi komunis. Namun mereka dipaksa mengorbankan darahnya tanpa memiliki kesempatan membela diri dihadapan pengadilan formal, dan tiba-tiba mereka dibasmi seperti layaknya membasmi serangga hama tanaman yang mengganggu.
Tak terhitung juga berapa banyak petani, rakyat sipil di pinggiran, dihisap darahnya untuk tumbal kebijakan pembangunan pada masa rezim orde baru yang pro terhadap modernisasi, modal asing, dan tuan tanah lokal yang gemar mencari keuntungan pribadi. Dengan sangat rela mereka takluk dan menyumbangkan darahnya dihadapan tekanan moncong senapan yang haus darah. Hal ini berlanjut pada masa reformasi, tak terhitung darah rakyat yang tertumpah menjadi korban semangat haus darah militer ketika menuntut reformasi. Kita tentu belum dapat melupakan juga, berapa sanak saudara, kerabat, yang hilang diculik ketika masa menjelang reformasi, dan sampai kini tidak pernah kita ketahui kabarnya dan tidak ada siapapun yang mau bertanggung jawab, pun terhadap yang tergeletak tak bernyawa diterjang peluru militer ketika aksi reformasi menuntut kejatuhan rezim orde baru.
Apakah kita juga akan melupakan bagaimana perseteruan negara, militer, dalam rangka menstabilkan Aceh, pada masa Daerah Operasi Militer diberlakukan di provinsi tersebut. Berapa banyak masyarakat sipil yang menjadi korban militer di Aceh pada masa itu, dengan mengatasnamakan pembasmian Gerakan Aceh Merdeka. Berapa banyak perempuan yang diperkosa untuk menimbulkan kegoncangan pada masyarakat Aceh, dikala senapan dianggap kurang membuat penekanan terhadap rakyat Aceh.
Maka, saya menjadi bertanya heran terhadap kebijakan beberapa partai politik konservatif terutama yang berlabelkan agama, untuk mendukung sosok capres dari kalangan militer ini. Apakah partai politik dan elit didalamnya melupakan sejarah berdarah-darah itu, yang masih membekas di sebagian benak rakyat dan takkan hilang bagai mimpi buruk sepanjang hayat. Juga saya bertanya heran kepada kader, maupun simpatisan partai politik yang mengusung capres militer itu dan membuat acungan jempol. Apakah mereka tidak dibekali ilmu menolak lupa sejarah kelam bangsa ini yang pernah dibangun dengan kepemimpinan model militer, juga darah-darah yang menandai moncong senapannya. Apakah mereka tidak pernah merasa bahwa darah-darah yang ditumpahkan dan dihisap itu juga darah sebangsa dan setanah airnya.
Untuk kepemimpinan militer, saya menolak untuk lupa terhadap catatan sejarah yang pernah mereka buat di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H