Mohon tunggu...
Wenly Lolong
Wenly Lolong Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Kontemplator, tumbuh dan berkembang dalam cita menjadi berkat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sulitnya Menemukan Pemimpin Ideal di Dunia Hyperreality: Potret Buram Minahasa Dalam Persiapan Pemilukada

5 April 2012   08:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:00 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi akhir-akhir ini mendorong lahirnya sebuah realitas kehidupan baru yang tersebutkan kemudian sebagai realitas artifisial (buatan) yang tidak lain diistilahkan sebagai cyberspace. Tatanan dunia dengan segera menjadi berubah dengan munculnya hal yang demikian ini. Dunia tanpa batas lahir dan muncul dari sebuah kondisi semakin majunya teknologi yang menghubungkan orang, lingkungan, komunitas, disuatu tempat, wilayah serta melintasi batas-batas yuridikal sebuah negara dengan negara lain. Luasnya dunia kemudian serta merta hanyalah menjadi semacam kampung global (global village), sebuah istilah yang dipopulerkan oleh William Gibson seorang novelis fiksi ilmiah.

Armahedi Mahzar menyebut kondisi tersebut diatas sebagai sebuah “titik omega, kesadaran semesta digital”. Cyberspace dengan segera menghadirkan realitas kehidupan manusia dan masyarakat yang baru, dimana yang demikian ini menghadirkan kondisi terbongkarnya sebuah tatanan definisi dan pemaknaan tentang manusia didalam kompleksitas kehidupan masyarakat. Pendeknya ada sebuah perubahan paradigma dalam memandang realitas kehidupan manusia dalam masyarakat. Tersebutlah kemudian interaksi sosial, politik, ekonomi dan budaya, dimana kesemuanya ini menjadi berubah dengan “kesadaran semesta digital” dalam istilah Armehdi Mahzar diatas atau cyberspace dalam istilah lainnya. Interaksi manusia disadari atau tidak berubah menjadi semakin dinamis kondisinya justru pada dunia virtual dan tidak lagi pada dunia nyata. Interaksi pada dunia nyata hanyalah merupakan tahap akhir dari sebuah proses interaksi manusia. Inilah sebenarnya sebuah dunia hyperreality.

Minahasa dalam potret buram pembangunan daerah menyisakan pesan kepada banyak pihak bahkan menjadi cermin kepada seluruh anak bangsa pada daerah lain betapa ajang pemilukada  haruslah secara benar dimanfaatkan sebagai sebuah kontes pencarian sosok pemimpin yang benar-benar siap menghadapi apa yang disebut sebagai dunia hyperrealitas dan bukan sekadar ajang pembuktian popularitas berdasarkan kemampuan finansial dan lain sebagainya. Dimana pada akhirnya yang demikian ini berdampak pada terpilihnya pemimpin yang tidak layak memimpin daerah.

Suka tidak suka, mau tidak mau, siap atau tidak, saat ini kita tengah berada ditengah-tengah situasi perubahan dunia yang didalamnya eksis ribuan bahkan jutaan manusia yang menuntut kesejahteraan. Pada kondisi demikian maka di semua level baik Propinsi, Kabupaten dan Kota, sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang benar-benar mampu mengkondisikan serta menyiapkan daerah untuk bisa bersaing maju dalam segala sektor untuk urusan terciptanya kondisi yang sejahtera pada masyarakat. Pada pernyataan ini maka berbagai teori kepemimpinan, teori kesejahteraan, dapat diajukan serta diujikan untuk mengkualifikasi kapabilitas calon-calon pemimpin saat ini. Namun yang demikian ini hanyalah sebuah basa-basi politik yang tidak berujung dan memiliki implikasi positif terhadap hadirnya sosok pemimpin ideal saat ini, jika para calon dan team dibelakangnya justru tidak memiliki kapabilitas berdiri ditengah-tengah dunia hyperreality.

Persoalan kemiskinan, pengangguran, investasi, lingkungan alam, kesehatan, dapat saja dengan mudah dikedepankan menjadi komoditas politik oleh para calon saat ini lengkap dengan berbagai model solusinya. Namun pesoalan-persoalan seperti ini sesungguhnya tidak akan terselesaikan ketika pemimpin yang terpilih tidak memiliki kapabilitas untuk berada ditengah dunia hyperreality seperti terurai diatas. Otonomi daerah memberikan ruang cukup bagi daerah untuk membangun kerjasama dalam bidang-bidang terbatas tidak saja dengan investor dalam negeri bahkan negara lain, namun persoalannya tetaplah pada aspek kapabilitas intelektual dan kecakapan diri untuk berkomunikasi dan berteknologi dalam konteks membangun jaringan dengan dunia luar dan bukan melulu memikirkan bagaimana memperjuangkan didapatnya dana dari pemerintah pusat serta mengelola dengan “baik”.

Pada konteks ini ingin dikatakan disini bahwa rakyat butuh pemimpin daerah yang memiliki kemampuan demikian. Dibutuhkan juga kesadaran diri dari segenap individu yang ingin maju sebagai calon pemimpin daerah agar hanya maju ketika dirinya benar-benar siap dengan segala hal ini dengan didasari motivasi luhur yakni benar-benar ingin membangun dan bukan menggerogoti pilar-pilar kehidupan daerahnya. (Sebuah pesan dalam persiapan ajang pemilukada Minahasa).

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun