Mohon tunggu...
Wening Yuniasri
Wening Yuniasri Mohon Tunggu... Guru - Pelajar kehidupan - Nominator Best in Fiction Kompasiana Awards 2024

Menulislah, maka engkau abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Food Combining

6 November 2024   11:11 Diperbarui: 7 November 2024   15:43 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Vanessa Loring/PEXELS

Pagi di Rumah Seruni. Burung pipit melintas di atas atap hinggap di salah satu ranting pohon nangka samping bangunan bercat putih itu. Suara para early birds itu memberitahu bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang menarik. Di dalam rumah, May, seorang dari enam penghuni Rumah Seruni, menata sendok di dapur.

Dari arah ruang makan terdengar suara langkah cepat-cepat melintas.

"Nanti belikan daun mint, ya!" titah Nay sambil berjalan menuju kamar mandi.  Dia kembali lagi lalu menghampiri meja dapur dan menyambar pisau.

"... apel dan semangka?" sambungnya lagi setengah meminta persetujuan. May mengangguk.

Baca juga: Kode

"Ya," sahutnya pendek sambil mengikat tali celemek di pinggangnya. Pada hari Sabtu pagi ini kepala May mulai menunjukkan gejala "berisik". Percakapan di dalam kepalanya sedang berlangsung.

Food combining. Metode makan cara ini memang cukup menantang. Menantang kantong, lebih tepatnya. Lagipula berdisiplin itu perlu hardikan dan pelototan yang cukup garang. Mari memelototi diri sendiri. Apa ini termasuk doom spending? May mengedik bahu.

May tak terlalu heran lagi dengan tingkah kakak perempuan yang selisih dua tahun darinya itu. Sejak empat tahun lalu dia getol sekali mengulik data-data baru: ilmu jasad bernama food combining dari beragam sumber, ikut grup whatapps kanan-kiri, dan menemukan atmosfer yoga yang dia sukai; buku-buku Erikar Lebang!

ILUSTRASI | Yaroslav Shuraev/PEXELS
ILUSTRASI | Yaroslav Shuraev/PEXELS

May kembali menatap mangkuk semangka yang dipegangnya. Mengemut garpu sambil melihat kesibukan Nay merajang kol ungu, selada, tomat, dan wortel yang kemudian dia tata dalam kotak makan bersekat di samping kirinya. Dengan sigap ditukarnya mangkuk di tangan May dengan semangkuk lain buah-buahan dalam potongan dadu: apel, salak, dan buah naga.

"Hmm! Warna yang menarik, kaaan...?" ujarnya bersemangat sambil menyergap sepotong buah naga dengan garpu. Matanya beralih lagi ke proyek sehatnya.

"... sayuran apa yang warnanya kuning, ya?" gumam Nay mematut-matut kotak makan dengan jari-jarinya. May memandangnya sambil sesekali berkedip.

"... kamu tahu, May, aku sudah siapkan dressing yang cukup simpel dan yummy. Nanti aku beritahu. Itu secret seasoning!" ujarnya mengedip-ngedipkan mata.

May melirik kotak makan Nay yang ditinggalnya mencuci talenan putih persegi panjang yang disukainya itu. Talenan yang tidak boleh tertukar dengan milik siapapun di muka bumi ini, termasuk jika dipinjam May untuk merajang racikan bumbu tumisan. A big no!

"Kamu tahu May, pisang sudah menipis. Nanti aku coba mampir ke Kak Dian. Dan jika kamu nanti di perjalanan dari perpustakaan menemukan ada alpukat keren yang bisa disunting, ambil dua ya!" titahnya lagi sambil mengusap-usap kotak makan yang sempurna tertutup lid hijau muda itu.

May menundukkan kepala, mencomot potongan apel malang dan mengunyahnya benar-benar, menyamarkan anggukannya.

"Ini weekend, kan? Pergi ke mana?" May menarik kertas struk belanja dan mencoret-coret penuh minat di baliknya, daftar belanja hari ini. Nay sudah terlalu sibuk di kantor dan sekarang, pada saatnya bersenang-senang dengan kru Rumah Seruni, malah ada keperluan.

"Oh, ada acara penting. Perayaan. Akan ada tumpeng sepertinya, May. Dan orang-orang tentu akan terkaget-kaget melihat bawaanku yang banyak. Oh, timun mungil itu, tolong bawa kemari," jawabnya sambil menggelar serbet hijau-biru bermotif flanel lalu mengikat segala bawaannya, mengikat saling silang sudut-sudut serbet, mengingatkannya pada cara membawa bawaan orang-orang Jepang bila bertamu atau memberi hadiah.

"Meja ini, sudah selesai? Aku perlu membuat makan siang untuk ibu dan orang-orang rumah."

"Apa? Oh, sudah."

May melirik meja dapur.

"Sudah? Yang benar saja." sungutnya. Dipindahkannya basin ke pelimbangan, menuang air bekas cucian yang digunakan Nay. May tahu, segegap gempita apa yang dilakukan Nay di dapur, dia juga yang membereskannya.

Tumis Jamur Tiram. Tulisnya besar-besar di papan tulis dinding dapur. Kemudian mulailah dia mengeluarkan talenan kayu yang tebal dari rak, lalu memungut rempah dari rak lain di bawah meja: cabai, bawang merah, dan bawang putih.

"Sayuran yang keren itu nggak perlu lama-lama, May. Nanti hilang zat gizinya. Makan apa, coba kita ini. Ampasnya?" cerocos Nay sambil mengikat rambutnya menyerupai ekor kuda, lalu berjalan berjinjit ke bak sampah di samping kiri May, membuang tisu.

"Baiklah," bisik May setengah merengut, mulai menyiangi jamur tiram.

"... berangkat jam berapa?"

"Sekarang. Tapi aku mandi dulu. Air hangat, ada?"

"Kayak anak TK aja. Air segar bukannya malah bagus, ya. Apalagi kalau mandi sebelum subuh," serang May. Tapi percuma. Nay sudah pindah lagi ke kamarnya, entah mendengar kalimat May atau tidak.

Matahari mulai menerangi pucuk-pucuk pohon nangka. Burung pipit makin ramai bersorak. Melihat Nay menjinjing bawaan dan pamit pergi, May membawa masuk rantang berisi tumis jamur dan menata meja makan. Dia juga perlu pergi hari ini.

*

"Bibi Santi harus dioperasi lagi, dibuang itu koreng di kakinya."

May bergidik mendengar cerita Lana, anak TK yang bertemu dengannya di depan rumah.

"Kenapa?"

"Bibi Santi kebanyakan makan gula."

"Terus?"

"Sekarang kalau makan semua di-jus. Bagus deh, ada yang warnanya ungu! Katanya Bibi harus rajin makan sayur juga. Tapi kalau lihat kerupuk sukanya makan banyak. Apalagi keik coklat dan bakso!"

Ibu Lana berlari mendekati anak perempuannya itu, membekap mulutnya, menyuruhnya masuk.

"Kenapa?"

"Anu, cerita yang enggak-enggak sama Mbak May."

"Yang enggak-enggak?" tanya May tidak mengerti.

"... tadinya Lana tanya saya mau ke mana, lalu saya bilang mau ke perpustakaan habis itu mampir beli alpukat."

Ibu Lana hanya tersenyum-senyum dan segera pergi sambil membungkuk mendorong-dorong punggung anak perempuannya itu supaya berjalan pulang. Sesekali Lana menengok dan melambai-lambai tangan.

*

"Memang yang susah itu tertibnya," kata Nay sambil memasukkan suapan lalap full dressing ala salad setelah mendengar cerita May bertemu Lana dan ibunya siang sebelumnya. May menyendok potongan dadu dada ayam dan kacang sangrai cincang yang ditaburkan Nay di atas piringnya, lalu menjerumuskan bayam brazil ke dalam mulutnya. Malam itu mereka memakan real food yang demikian nyata wujudnya dari kebun kecil yang mereka rawat di samping pintu dapur. Bayam brazil berhasil tumbuh rimbun dalam pot tanah liat besar.

"Gak usah jauh-jauh. Yang di rumah ini melonjak gula darahnya, misalnya. Sudah tahu gorengan itu sumber karbo, tapi terus-terusan dibeli. Makanya sekarang kita racuni saja orang-orang rumah, supaya mau sehat dan sembuh. Percuma juga kita sodori buku. Mereka juga nggak baca. Kasihan itu buku dokter Tan Shot Yen, dilirik saja. Malah kita yang praktek isi bukunya," sambungnya lagi sambil memercikkan VCO di atas hidangannya.

May mengunyah benar-benar makan malam mereka ini. Hanya berdua, karena penghuni rumah yang lain menghadiri jamuan, yang lebih "keren" menunya.***[wy]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun