Mohon tunggu...
wenny kurniawan
wenny kurniawan Mohon Tunggu... -

doctor/love traveling, reading, dogs/eager to learn anything new/passionate about life

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

The Greatest Man Ever That Marked An Era

29 Maret 2015   21:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukanlah seorang pakar filfasat atau orang yang sehari-harinya berkecimpung di dunia filsafat. Pertama kali mengenal filsafat pun ketika mengambil mata kuliah wajib ini di bangku kuliah. Jujur ketika menjalani kuliah ini, saya sendiri merasa ilmu filsafat adalah ilmu yang mengawang dan tidak memijak bumi. Tapi pandangan saya berubah semenjak saya membaca buku Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder, sebuah buku super tebal tentang filsafat yang mengemasnya dalam bentuk novel (785 halaman!).

Dalam bukunya, Sophie bertemu dengan seorang guru filsafat bernama Alberto Knox di usianya yang menginjak 15 tahun. Alberto mengemukakan begitu banyak tokoh-tokoh filsafat mulai dari zaman Yunani Kuno, Abad Kegelapan, Renaissance, Abad Pertengahan (awal dan akhir), sampai sekarang. Membaca buku ini, saya jadi menyadari pada dasarnya manusia selalu bertanya-tanya tentang dari mana asalnya dunia, mengapa kita diciptakan, dan apa yang akan terjadi bila nanti kita mati? Kebanyakan pandangan dan teori yang dikemukakan oleh filsuf akan sedemikian nyentriknya sehingga mendapat pertentangan dari tokoh masyarakat di masa itu, bahkan sampai nyawa menjadi imbalannya. Filsafat ini akan sangat memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat seperti politik, agama, dan ekonomi masyarakat sehingga apa yang diucapkan oleh filsuf akan menjadi ancaman bagi pemerintah dan tokoh agama. Seperti yang kita telah ketahui bahwa ilmu pengetahuan dan agama jarang seiring sejalan, dan agama sering sekali digunakan oleh politik, kemudian politik mengendalikan perekonomian. Saya tidak bermaksud menonjolkan satu ajaran agama tertentu, tetapi membaca kisah hidup para filsuf ini beserta setiap intrik yang timbul akibat pernyataan hasil pemikiran mereka, membuat saya menyadari satu hal tentang seorang Pria terhebat yang pernah ada. Pria ini membuat banyak pernyataan yang sangat bertentangan dengan hukum universal dunia, bahkan sedemikian ekstrimnya sampai nyawanya sendiri menjadi ganjarannya. Tidak jarang filsuf lain pun mengorbankan nyawanya demi apa yang diyakininya benar, namun Pria Hebat ini tetap berbeda dari tokoh-tokoh filsuf tersebut karena tidak ada sebelum dan sesudahnya, ada seorang pria yang sampai dijadikan penanda suatu era di dunia ini.

Socrates, seorang bapak filsafat dari zaman Yunani Kuno, hidup pada suatu masa di mana mitos dipegang erat sebagai kepercayaan yang hampir menyerupai agama. Socrates terjun dan berbaur langsung dengan masyarakat dan menembakkan pertanyaan demi pertanyaan yang membuat masyarakat terpaksa berpikir dan mengakui bahwa mitos yang ada tidak mempunyai dasar yang kuat untuk dipercaya. Para negarawan dan ahli mitos merasa pertanyaan-pertanyaan Socrates lama kelamaan mengganggu dan berbahaya, sehingga pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Socrates harus meminum racun cemara, dan karena Socrates yakin bahwa pemikirannya benar, dia mati mempertahankan apa yang diyakininya. Tetap saja, pria yang sedemikan pandai dan berani itu tidak dapat disandingkan dengan Pria Hebat yang saya maksud.

Socrates mempunyai seorang murid bernama Plato. Plato ini sering mengikuti ke manapun gurunya pergi dan mengamati apa yang gurunya lakukan. Bahkan filsafat-filsafat Socrates pun, Plato yang merangkumnya menjadi sebuah buku berjudul Dialog, isinya adalah percakapan antara Plato dan gurunya ataupun percakapan Socrates dengan masyarakat langsung. Kemudian hari, Plato mendirikan sekolah filsafat yang merupakan dasar dari sekolah dan universitas yang ada sampai saat ini, bernama Academia Plato. Pria ini pun tergolong hebat karena beribu-ribu tahun yang lalu sudah dapat mengumpulkan banyak murid (pengikut), salah 1 di antaranya adalah Aristoteles. Namun demikian hebatnya Plato pun, ternyata mendapat tentangan dan sindiran keras dari muridnya sendiri, Aristoteles. Filsafat Plato yang selalu ingin mencari tahu bagaimana terbentuknya dunia mengatakan bahwa apa yang nyata dan benar bukanlah dunia indrawi melainkan dunia ide. Jadi apabila kita melihat seekor kuda, maka kuda yang dilihat oleh indra mata kita itu tidaklah nyata melainkan perwujudan dari kuda "ide" di dalam benak kita. Hal ini yang amat ditentang sampai disindir oleh Aristoteles sebagai orang yang "hidup hanya di dunia idenya sendiri".

Apa  yang membedakan ketiga pria besar nan hebat, 3 tokoh filsuf utama yang namanya masih disebut-sebut sampai sekarang di dalam buku pelajaran sekolah dengan Pria Hebat yang saya maksud? Pria Hebat yang saya maksud, tidak pernah membuat akademi apapun, namun Dia memiliki 12 orang murid, belum lagi jika dihitung dari banyaknya orang yang mengerumuni diriNya apabila sedang mengajar. Tidak hanya itu, 12 muridnya ini sangat setia dan bahkan berani mati untuk diriNya! (Plato tidak ikut mati menenggak racun cemara ketika gurunya Socrates dijatuhi hukuman mati). Jika para filsuf sibuk memikirkan tentang mengapa kita manusia bisa ada, maka Pria Hebat ini mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum dunia yang ada. Hukum dunia mengatakan jika orang yang kau kasihi dirugikan pihak lain, maka kita harus menuntut balas. Pria ini mengajar jika pipi kananmu ditampar, berikan pula pipi kirimu. Jika hukum dunia mengatakan bahwa orang yang pandai adalah orang yang dapat meraih keuntungan setinggi-tingginya dengan pengorbanan serendah-rendahnya, maka Pria Hebat ini mengajarkan siapa memberi banyak maka kepadanya akan dipercayakan banyak pula. Jika hukum dunia mengatakan untuk memiliki usaha yang maju maka lokasi sangatlah penting, maka Pria Hebat ini membalikkan meja penjual dan penukar uang di rumah ibadah. Akibat dari ajaran-ajarannya yang sangat bertentangan dengan hukum dunia inipun, Pria Hebat ini dijatuhi hukuman mati. Tentu, ketika itu 12 orang pengikutnya ketakukan dan ada yang menyangkal bahwa dirinya merupakan pengikut Pria Hebat ini, namun pada akhirnya murid yang menyangkal inipun menjadi pembela diriNya yang paling radikal dan rela mati demi mempertahankan keyakinan akan kebenaran ajaran Pria Hebat ini. Sepanjang saya membaca kisah hidup para tokoh filsafat, tidak ada satupun murid dari tokoh filsuf yang sampai mau merelakan nyawa demi membela gurunya.

Setelah masa hidup Pria Hebat yang singkat di dunia, maka dunia menggunakan Pria Hebat ini sebagai penanda zaman. Mungkin sebagian dari pembaca sudah menduga siapa Pria Hebat yang saya maksud, yang menandai era di dunia menjadi BC (Before Christ) dan AC (After Christ). Tentu saja setelah Pria Hebat ini masih ada banyak filsuf lain yang bermunculan, namun istilah telah berganti dari filsuf menjadi ilmuwan. Mereka adalah pemikir-pemikir hebat, pengamat jempolan, dan menelurkan berbagai teori dan hipotesis. Sebut saja Newton yang menemukan teori gravitasi, Lamarck yang menemukan teori seleksi alam, Charles Darwin yang menelurkan buku The Origin of Species, dan masih banyak lagi yang dibahas dalam buku Dunia Sophie. Namun tidak ada dari tokoh ilmuwan tersebut yang kemudian menjadi tonggak penanda suatu era di dunia ini. Malah yang ada beberapa dari mereka membela dan memilah ajaran Pria Hebat ini jika sudah terlampau jauh dicampuradukkan dengan ilmu pengetahuan, seperti misalnya Kierkegaard.

Sebenarnya buku Dunia Sophie sama sekali tidak mengarahkan pembaca ke salah satu agama tertentu, sebaliknya buku ini sangat netral karena di dalamnya terdapat berbagai argumen dan fakta tentang apa yang terjadi dari zaman ke zaman. Tentu saja, membaca buku ini sebaiknya didasari dengan pengetahuan agama dan sejarah dasar yang cukup baik sehingga kita tidak akan menjadi semakin terombang-ambing dengan berbagai ide pemikiran para tokoh filsafat tersebut. Saya pribadi sangat merekomendasikan buku ini sebagai bahan bacaan paling tidak untuk menambah wawasan dan bahan renungan, karena seperti sebuah pepatah dari zaman Renaissance, "cogito ergosum"- kita ada karena kita berpikir. Selamat membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun