Mohon tunggu...
wenny kurniawan
wenny kurniawan Mohon Tunggu... -

doctor/love traveling, reading, dogs/eager to learn anything new/passionate about life

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Wajah" yang Berbicara

26 Januari 2014   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13906681331312804962

Pertengahan Januari lalu saya melakukan perjalanan ke Kawah Ijen yang berlokasi di Banyuwangi. Mungking sudah banyak dari pembaca yang tahu di mana letaknya karena saya dengar dari teman saya yang seorang fotografer, Kawah Ijen termasuk lokasi pemotretan yang sedang naik daun saat ini. Lingkungan alam yang disuguhkan sepanjang perjalanan sampai menuju puncak tidak diragukan lagi, sangat memanjakan mata. Tapi di samping pemandangan yang indah, saya juga dihadapkan dengan ironi yang cukup membuat hati miris yaitu kehidupan para petambang belerang di daerah itu. [caption id="attachment_318231" align="aligncenter" width="300" caption="Keringat yang hanya dihargai Rp 780/kg"][/caption] Sebenarnya dari tulisan saya ini, saya cuma mau mengajak pembaca merenung sedikit. Coba pembaca amati wajah salah satu petambang yang sempat saya abadikan ini. Ketika foto ini diambil pun, petambang ini hanya diam seribu bahasa. Pasti tenaganya sudah habis, napasnya memburu oksigen supaya sampai ke ujung paru-paru, bahu yang sudah menjadi berpunuk, belum ditambah mata yang perih terkena uap gas belerang di atas kawah sana. Bagi para pembaca yang belum pernah naik sampai ke puncak Kawah Ijen, sekedar informasi jalan yang harus ditempuh ke atas adalah 3 km sekali jalan dengan beberapa medan itu kemiringan mencapai 45 derajat. Saya sendiri harus menempuh jarak ke atas itu selama 3 jam. Para petambang ini bisa mencapai puncak dalam waktu hanya 1 jam karena sudah terbiasa. Tapi bisa dibayangkan sulitnya bukan apabila harus membawa pikulan di medan berkemiringan 45 derajat? Selain medan yang curam itu, tantangan  berikutnya adalah di sisi kiri jalan adalah jurang, sisi kanan tebing berbatu, dan jalanan yang dilalui bukanlah jalan yang sudah diaspal namun masih berpasir, berbatu, licin, serta sangat gelap karena tidak ada lampu di sepanjang jalan. Mereka mulai naik untuk menambang sekitar pukul 1 pagi sehingga perjalanan ke atas ditempuh hanya dengan sebuah senter kepala. Sekarang sudah terbayangkan sulitnya bukan? Kenapa saya memberi judul foto ini "Wajah" yang Berbicara? Adapun pos peristirahatan dalam perjalanan ke atas maupun ke bawah ternyata tempat penimbangan batu-batu belerang tersebut. Ketika saya sedang mengaso di sana sembari menunggu teman seperjalanan ke belakang, saya dan salah satu teman saya berbincang dengan petugas penjaga pos tersebut. Jadi pikulan berisi batu belerang itu bisa mencapai 60-80 kg! Dipikul seorang diri hanya pada pundak yang kering dan kurus! Dan harganya?? Hanya dihargai Rp 780,00 perak/kg! Saya dan teman saya sangat kaget! Untuk perjuangan sebesar itu, kesulitan sebesar itu, risiko perjalanan sebesar itu, hanya dihargai serendah itu! Lebih lanjut lagi saya dan teman saya bertanya, ternyata petambang ini pun tidak mendapat apa-apa dari perusahaan tambang belerang tempat mereka bekerja! Jangankan asuransi kesehatan, kecelakaan, nyawa! Bahkan klinik perusahaan pun tidak disediakan karena petambang ini terhitung pekerja tidak tetap! Sungguh miris bukan? Saya yakin, sangat banyak petambang di sana yang membutuhkan sekedar obat penghilang nyeri, atau vitamin, atau obat tetes mata yang perih akibat uap gas belerang. Saya sendiri sudah merasakan ketika uap belerang naik dan terkena ke mata, perihnya bukan main! Namun tidak sepatah kata, omelan, dan makian yang saya dengar dari petambang ini. Bahkan mereka menyapa kami dengan ramah dalam perjalanan kami baik ke atas maupun ke bawah. Mereka dapat tersenyum dan tertawa bersama kami ketika kami dengan "manja"nya bertanya terus : "masih jauh gak pak? Capek banget nih!" Setelah melakukan perjalanan ini dan melihat kenyataan ini, saya jujur saja berpikir apa yang dapat saya lakukan untuk membantu mereka? Itu yang pertama. Pelajaran kedua yang saya dapat adalah, apakah saya sudah bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini? Apabila sampai saat ini saya masih bisa bekerja dengan pendapatan yang kurang sesuai namun tidak seriskan mereka, masih bisa mengecap pendidikan, apakah saya pantas mengomel? Semoga 2 pertanyaan ini dapat menjadi bahan renungan kita pada hari ini. Selamat malam =)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun