Siang tadi, aku menukar spidol bersama huruf-huruf
yang bermunculan dari kepalaku dengan dua kantong beras
Dalam suara-suara tak bergema untuk batu jiwamu
Telah kutanak beras bersama luka yang marem di setiap ruas waktu.
Gula di sarang semut, bubuk kopi di dasar toples,
telah kau pilih, kau seduh bersama didih peluhku.
Ini hidup bukan sembarang hidup.
Tapi sebuah perjalanan yang meredup
dari sepasang kaki dan tangan dipanggang matahari.
Sungai jernih mengalir dari bola mata anak-anak.
Itu alir luka, Tuan.
Anak-anak kita mengunci Shubuh
dengan darah di pepat dada, membukanya di jelang malam.
Dengan nina bobok dongeng, matanya tetap bahasa luka
Belum purnama umur belia, masih perlu tetes peluh dari sepasang tubuh menua.
“Engkau melenggang ke Timur, aku terbang ke Barat”
debur galau itu sembunyi dalam tirakat pedih.
Juli 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H