Mohon tunggu...
Wendy Waldianto
Wendy Waldianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Jika kamu merasa takut dalam melakukan sesuatu maka sesungguhnya kamu sudah berada dijalan yang salah, dan berputar arah lah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konflik Lahan Pembebasan Sawit di Kalimantan Tengah

12 Februari 2014   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 2661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau kalimantan terkenal dengan kesuburan lahannya karena bertanah gambut, tanah ini sangat cocok sekali untuk komoditas tanaman seperti kelapa sawit, tidak salah jika pulau kalimantan menjadi penghasil sawit terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Salah satu provinsi yang memiliki banyak perkebunan kelapa sawit adalah provinsi Kalimantan Tengah, dengan luas lahan 1.015.320 Ha yang sudah ditanami kelapa sawit dari total 15.356.400 Ha luas wilayah Kalimantan Tengah. Akan tetapi semakin besar pembukaan lahan sawit disuatu wilayah maka akan semakin besar pula kecenderungan wilayah tersebut untuk berkonflik. Tentu saja konflik tersebut disebabkan karena negosisasi yang alot antara pemilik perusahaan sawit dengan warga sekitar perkebunan. Sebenarnya banyak tanah kosong yang tak ada pemiliknya tetapi semenjak pengusaha-pengusaha sawit ini datang banyak warga yang saling klaim dengan pihak perusahaan bahwa tanah yang kosong tersebut adalah milik mereka. Akibat saling klaim ini membuat urusan hak milik tanah tersebut harus diselesaikan di notaris bahkan ada juga yang mengikutsertakan pemerintah dalam penyelesaian kasus ini. Apabila sengketa tersebut sudah sampai notaris dan pemerintah maka keputusannya menjadi mutlak dan mengikat keduanya. Contoh saja apabila hak milik tanah jatuh kepada warga sekitar, maka perusahaan sawit harus membeli tanah tersebut ke warga jika ingin membuka lahan sawit di tanah tersebut. Uang yang harus dikeluarkan pihak perusahaan untuk membeli tanah tersebut pun juga tidak sedikit, tercatat harga tanah yang dipatok oleh warga kepada perusahaan sawit tersebut sekitar ± Rp10.000.000/Ha. Namun harga tersebut sangat tidak seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan perusahaan tersebut jika membuka lahan sawit ditanah tersebut. Selalu terjadi hal demikian jika ada perusahaan sawit yang ingin membuka lahan sawit baru, tawar menawar harga mulai dilakukan secara langsung sampai dengan melibatkan notaris.

Rational Choice Theory

Dalam menganalisa kasus ini paling cocok jika menggunakan teori Rational Choice, karena pada teori Rational Choice di paparkan tentang perhitungan untung dan rugi yang diterima oleh masing-masing pihak. Baik pihak pemilik tanah maupun pihak perusahaan tentunya selalu mempertimbangkan untung rugi dalam jual beli tanah. Pihak perusahaan tidak ingin jika tanah yang mereka beli ternyata bermasalah, maka dari itu dalam prosesnya mereka selalu melibatkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan Notaris untu menyelesaikan urusan tanah dan pembayarannya. Sementara pihak pemilik tidak ingin dirugikan dengan harga yang ditawarkan oleh pihak perusahaan, mereka selalu meminta harga tinggi kepada perusahaan sawit agar bisa mendapatkan uang yang banyak. Namun belakangan ini para pemilik tanah mulai sadar bahwa dengan mereka menjual tanah, mereka hanya akan memberikan keuntungan kepada pihak perusahaan. Hal itu dikarenakan, uang yang mereka dapatkan dari hasil penjualan tanah tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh perusahaan sawit dari panen kelapa sawit setiap tahunnya. Maka dari itu beberapa pemilik tanah mulai memikirkan matang-matang jika ada yang ingin menjual tanahnya, bahkan ada yang sampai mengurungkan niatnya untuk menjual tanah dikarenakan pertimbangan untung rugi dimasa depan.

Resolusi Penyelesaian Konflik

Para pemilik tanah yang mulanya selalu menjual tanahnya kepada perusahaan, mulai berpikir bagaimana caranya agar tanah dikalimantan tetap menjadi milik pribumi bukan milik pihak asing. Karena pada dasarnya pemilik perusahaan sawit yang ada di daerah tersebut adalah pengusaha-pengusaha dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Sri Lanka, India. Setelah melalui negosiasi antara warga sekitar dengan pihak perusahaan maka mereka sepakat untuk membuat kesepakatan baru yang bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan dan bisa memberi keuntungan juga untuk warga sekitar. Kesepakatan tersebut diberi nama ‘Plasma’, maksud dari kesepakatan itu adalah : tanah yang dimiliki oleh warga tetap menjadi milik warga akan tetapi perusahaan sawit dibolehkan untuk menanami sawit diatas tanah tersebut, dan nantinya warga akan mendapatkan konpensasi dari perusahaan sawit senilai Rp.10.000.000/bulan dan konpensasi tersebut akan terus dibayarkan setiap bulannya selama tanaman sawit masih tertanam diatas tanah tersebut. Uang yang dipakai untuk membayarkan konpensasi adalah uang hasil panen dari sawit tersebut, yang menurut hitung-hitungan hasil panennya dibagi dua antara pihak perusahaan dan warga sekitar. Konpensasi tersebut akan didapat warga setiap bulannya selama seumur hidup apabila tanaman sawit masih ada. Tidak semua warga bisa mendapatkan konpensasi ini, hanya ada beberapa warga yang mendapatkan konpensasi. Mayoritas yang mendapatkan konpensasi adalah mereka yang pernah ikut mencari tanah tak berpemilik dipedalaman hutan, lalu oleh mereka dibagikan kepada keluarga-keluarganya. Sebelumnyatanah yang tak berpemilik tersebut mereka ajukan ke BPN untuk mendapatkan SKT (Surat Keterangan Tanah) agar memiliki legalitas hukum. Bermodal SKT inilah mereka bisa mencapai kesepakatan ‘Plasma’ dengan pihak perusahaan. Kesepakatan ini telah disetujui oleh kedua belah pihak dan diharapkan bisa menjadi solusi terbaik dalam sengketa lahan sawit, sehingga warga sekitar juga bisa merasakan hasil dari tanaman sawit ini

Sistem Plasma dalam Penyelesaian Konflik

Mungkin penyelesaian yang terjadi di Kalimantan Tengah belum tentu terjadi juga di daerah-daerah lain yang mempunyai konflik lahan perkebunan kelapa sawit. Jarang ada perusahaan sawit yang mau memberikan konpensasi kepada warga sekitar, dan jarang juga ada warga yang mencoba berpikir untuk meminta konpensasi kepada perusahaan sawit. Maka dari itu kesepakatan ‘Plasma’ ini hanya terjadi diperkebunan kelapa sawit Kalimantan Tengah. Selain itu tidak melibatkan pemerintah juga menjadi sesuatu hal yang unik dalam penyelesaian konflik ini, ini artinya warga sekitar sudah bisa berdiplomasi sendiri dengan pihak perusahaan tanpa adanya campur tangan pemerintah. Tentu adalah sebuah kemajuan tersendiri bagi warga sekitar perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah dalam menyuarakan aspirasi mereka, yang mana mereka berusaha untuk memperjuangkan hak kepemilikan tanah agar tidak jatuh ketangan pengusaha asing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun