Mohon tunggu...
Wendy Deciptra
Wendy Deciptra Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Seorang konten kreator yang kebetulan suka nulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melihat Manusia dari Kacamata Apa Saja: Sebuah Tinjauan Filsafat

31 Mei 2024   15:14 Diperbarui: 31 Mei 2024   15:23 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (pixabay.com)

Dalam sejarah panjang pemikiran manusia, filsafat selalu berperan penting dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi dan hakikat hidup manusia. Menyusuri makna kemanusiaan melalui berbagai kacamata filosofis membuka wawasan tentang siapa kita sebenarnya, dari mana kita berasal, dan kemana tujuan kita. Setiap pendekatan filosofis, dari yang klasik hingga kontemporer, menawarkan sudut pandang unik yang memperkaya pemahaman kita tentang diri dan masyarakat.

Filsuf Yunani kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah pionir dalam menjelajahi sifat dasar manusia. Socrates dengan ajarannya yang terkenal "Kenalilah dirimu sendiri" menggarisbawahi pentingnya introspeksi dan pencarian kebijaksanaan melalui dialog. Melalui metode dialektikanya, ia mengajak kita untuk terus bertanya dan meragukan demi mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia. Plato, murid Socrates, mengembangkan konsep dunia ide yang abstrak dan sempurna, di mana manusia hanyalah bayangan dari esensi yang lebih tinggi. Menurutnya, tugas manusia adalah untuk mengingat dan mencapai kembali bentuk-bentuk ideal ini melalui proses pemikiran dan pembelajaran.

Aristoteles, murid Plato, mengambil pendekatan yang lebih empiris. Baginya, manusia adalah makhluk yang mencari kebahagiaan atau eudaimonia, yang dicapai melalui realisasi potensi diri dan hidup yang sesuai dengan kebajikan. Aristoteles menekankan bahwa manusia adalah "animal rationale", makhluk yang dibedakan oleh kemampuan berpikir rasional. Kebahagiaan tertinggi dicapai melalui praktik kebajikan dan kehidupan yang seimbang antara kebutuhan fisik dan spiritual.

Beranjak dari pemikiran klasik, filsafat eksistensialis membawa kita pada pengakuan kebebasan individu dan tanggung jawab personal. Jean-Paul Sartre, salah satu eksponen utama aliran ini, menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi". Artinya, manusia pertama-tama ada tanpa makna yang ditentukan, dan melalui pilihan serta tindakan, mereka menciptakan esensinya sendiri. Sartre mengajarkan bahwa dengan kebebasan datanglah tanggung jawab, dan kita tidak bisa mengelak dari tanggung jawab atas pilihan kita sendiri.

Martin Heidegger, tokoh eksistensialis lainnya, dalam karyanya "Being and Time", menggali konsep keberadaan yang otentik. Ia menekankan pentingnya menyadari keterbatasan waktu kita di dunia ini, dan bagaimana kesadaran akan kematian dapat memotivasi kita untuk hidup secara lebih otentik. Bagi Heidegger, menjadi otentik berarti hidup sesuai dengan jati diri sejati kita, bukan hanya mengikuti norma-norma sosial yang ada.

Di sisi lain, psikologi humanistik, meskipun berakar pada filsafat, menawarkan pandangan yang lebih positif tentang potensi manusia. Abraham Maslow dengan teori hierarki kebutuhannya, memperlihatkan bagaimana manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar hingga mencapai aktualisasi diri. Menurut Maslow, aktualisasi diri adalah puncak dari potensi manusia, di mana seseorang dapat menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Carl Rogers menambahkan bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk pertumbuhan dan pemenuhan diri, asalkan lingkungan sekitar mendukung dan memberikan penghargaan yang positif tanpa syarat.

Dalam era postmodern, pandangan tentang manusia menjadi semakin kompleks. Michel Foucault mengkaji bagaimana kekuasaan dan pengetahuan membentuk subjek manusia. Ia menunjukkan bahwa identitas kita tidaklah tetap, melainkan dibentuk oleh berbagai diskursus sosial dan sejarah. Foucault mengajak kita untuk kritis terhadap struktur kekuasaan yang ada dan bagaimana mereka mempengaruhi pemahaman kita tentang diri sendiri.

Jean Baudrillard dengan konsep hiperrealitasnya menggambarkan dunia modern di mana batas antara realitas dan representasi menjadi kabur. Dalam dunia yang dipenuhi oleh simulasi dan tanda-tanda, kita seringkali kehilangan kontak dengan realitas sejati. Baudrillard menyoroti dampak dari media massa dan teknologi dalam membentuk persepsi kita tentang dunia dan diri kita sendiri.

Selain itu, ekofeminisme menawarkan perspektif yang menghubungkan penindasan terhadap perempuan dan alam. Tokoh seperti Vandana Shiva dan Carolyn Merchant menunjukkan bagaimana pandangan dominan patriarki dan kapitalisme telah merusak hubungan manusia dengan alam. Mereka menyerukan pendekatan yang lebih holistik dan egaliter, yang menghargai keragaman dan kesetaraan. Dalam pandangan ini, manusia tidak dilihat sebagai penguasa alam, tetapi sebagai bagian integral dari ekosistem yang lebih luas, yang saling terkait dan bergantung satu sama lain.

Melalui berbagai kacamata filsafat ini, kita diajak untuk melihat manusia sebagai makhluk yang kompleks dan berlapis. Setiap perspektif memberikan wawasan yang berharga, menantang kita untuk terus menggali lebih dalam dan mengkaji ulang pemahaman kita tentang diri dan dunia di sekitar kita. Dengan membuka diri terhadap berbagai sudut pandang, kita dapat memperkaya cara kita melihat dan menghargai kemanusiaan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Filsafat, dengan segala kerumitannya, menawarkan alat yang kuat untuk menjelajahi makna kehidupan dan mendorong kita untuk menjalani hidup dengan lebih sadar, otentik, dan penuh makna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun