Mohon tunggu...
wendy setiawan
wendy setiawan Mohon Tunggu... -

berikrar untuk menjadi orang yang belajar, tidak merasa pintar namun berusaha untuk ' pintar merasa '

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY, Sosok yang Akan (mudah) Dilupakan?

29 November 2010   14:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:11 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca judul di atas, kawan boleh tidak setuju. Perbedaan pendapat menandakan demokrasi kita sehat. Sebelum saya melangkah lebih jauh dengan ketikkan yang sembrono ini, saya coba flashback ke tahun 2004 ketika saya menjadi pemilih pemula, yang masih lugu, polos, dan tak tahu politik, apalagi pencitraan.

Terus terang saya coblos SBY 2004 lalu, itu karena saya terkena imbas euforia masyarakat, terutama kaum ibu2 yang bilang pa Beye sosok tampan dan karismatik. Ibu saya juga demikian, “pilih SBY aja, jangan yang lain” sabda beliu sedikit berkampanye. Saya tanya kenapa ? “ SBY itu gagah dan nganteng” kata ibu berbisik, tidak enak kalau ayah dengar. Percakapan barusan bukan untuk cari muka apalagi menjilat , karena masing2 kami toh sudah punya muka dan tidak punya hobi menjilat yang tidak enak.

Lalu SBY naik tahta, juara Indonesia. Jadi presiden harapan bangsa. Lima tahun setelah gegap gempita pilpres, saya kerja sebagai tenaga outsourcing. Tenaga kontrak (akibat UU Ketenagakerjaan hasil pemerintahan sebelumnya), tidak melanjutkan kuliah karena memang belum ada dana. Lalu 2009 pemilu legislatif dan pilpres lagi. Sebenarnya saya (yang bertambah usia dibanding 2004) sedikit banyak punya sikap politik. Cukup sadar bahwa suara saya ikut menentukan masa depan negara. Tapi lagi2 ibu mengintervensi demokrasi keluarga kami “SBY lagi jangan yang lain” sambil memicingkan mata dan mengancing gigi, mirip singa hendak menerkam anak ayam.

Baru saya sadar, rupanya ibu yang hidup sejak zaman Jepang, dimana hal2 berbau militerisme sedang populer, punya definisi dan kriteria berbeda soal tampan/ganteng dengan saya yang hidup di zaman Fesbukiyah dan Twitterisme sekarang ini. Potongan rambut menyamping dan tubuh tinggi besar dianggap ganteng. Sebagai anak saya ikut saja, (maaf kalau saya terkesan tidak berpendirian hehe..toh perintah orang tua tak bisa ditolak). Tercontrenglah no 2, SBY – BOEDIONO. (Saya juga minta maaf kepada kawan2 sebangsa dan setanah air jikalau menurut kawan2 pilihan saya tak banyak bawa manfaat).

Entah kenapa setelah pilpres saya jadi rajin baca koran. Sebenarnya begini, entah kenapa (juga) saya selalu datang pagi2 ke kantor. Di kantor selalu ada koran Kompas. Karena tak ada kerjaan pagi2 dan bacaan itu gratis jadi saya baca. Bisa dibilang Kompas adalah jendela pembuka mata dan pikiran saya tentang bobroknya sebuah pencitraan. Bahwa yang terlihat dari luar, sesungguhnya hanya penampilan saja, dalamnya kopong tak berisi. Saya mengikuti (walau tidak terlalu intensif) sepak terjang politik Indonesia sejak kasus pa Bibit – Chandra. Saya juga ikut dalam persidangan mendengar rekaman percakapan Anggodo dan konco2nya dalam merekayasa kasus Bibit - Chandra di Mahkamah Konstitusi. Saya juga berkenalan dengan seorang wartawati dari JurNas (media cetak pemerintah, sebenarnya kosa kata ‘pemerintah’ tidak relevan lagi ya karena kita kan tidak hidup di jaman penjajahan. Enak saja main perintah, huh..!!). Saya juga join dengan grup 1.000.000 Facebookers dukung Bibit-Chandra. Imbas tidak langsungnya adalah deponering untuk kasus tersebut. Itupun setelah hampir setahun, dan dikeluarkan bukan oleh Jaksa Agung definitif, hanya Pjs – nya, pa Darmono, karena pa Hendarman kalah telak oleh Yusril. Kasihan...

Lalu bertubi2 kasus Suneo, maksud saya pa Susno yang lucu itu loh (kalau dilihat secara mendetail dan spesifik dari anatomi fisik, terutama face area, mirip juga sama teman Nobita itu kan. Itu penilaian saya setelah melihat beliau secara visual di teve). Lalu dugaan kebohongan publik oleh mantan Kapolri dan mantan Jaksa Agung mengenai rekaman Ade Raharja (orang KPK) dengan Ary Muladi (yang ternyata tidak terbukti), sinetron ala Century, hengkangnya ibu Sri Mulyani, Kasus Siti Hajar, Blok Ambalat, Sumiati, sel mewah Artalytha, dan terakhir yang paling hangat paling TOP paling heboh dan paling2, si manusia 70M, Gayus Tambelan. Kalau tidak salah begitu namanya. Tambal sana sini tetap saja bocor.

Dengan sederet kasus tak selesai itu, saya jadi ingin segera 2014. Pilplres lagi, berharap lagi. Tidak apa2 toh berhenti berharap adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia, lupa kata siapa ?. Terus terang saya kesulitan menemukan langkah kongkret yang dibuat presiden dalam 6 tahun kekuasaannya, selain retorika dan citra2 itu. Namun biar bagaimana pun saya tetap berusaha untuk objektif, karena selain mengkritik saya juga toh harus memberi saran dan masukan. Saran saya, berhenti sebelum kenyang dan makan sebelum lapar. Masukannya, hiduplah untuk memberi sebanyak2nya dan bukan untuk meminta sebanyak2nya (kata pa Harfan Effendi Noor, KepSek Laskar Pelangi itu).

Selain ketidaktercapaian, toh ada juga ketercapaian yang diraih pa Beye yaitu album ‘Ku Yakin Sampai Di Sana’. Di mana ? ke mana ? dengan siapa ? dan mau apa ? itu masih misterius. Lalu ada juga lembaga2 baru yang hadir di masa pa Beye, diantaranya SatGas Anti Mafia Hukum, Komite Ekonomi Nasional (KEN), Komite Inovasi Nasional (KIN). Presiden rupanya senang membentuk aneka macam lembaga, tapi manfaatnya ? nalar saya belum sampai Ke Sana.

Kalau saya mesti mendengar kalimat klise yang berbunyi, “berubahlah mulai dari diri sendiri”, saya terima saja nasehat itu tapi untuk dijalani terus terang sulit. Misalkan begini, ada iklan yang bernyanyi, “hari gini gak bayar pajak ? apa kata dunia ?”. Lalu saya jawab, “ Dunia berkata, bayarlah pajak dan Gayus kaya raya”. Jawaban sesungguhnya adalah pesimis.

Kesimpulan saya sendiri sih (yang awam ini), bahwa saya, anda, kita dan Indonesia akan tetap maju dan bergerak dengan atau tanpa SBY. Untuk 4 tahun ke depan pun saya skeptis apakah tidak muncul lagi ‘Gayus2’ yang lain ? adakah jaminan bahwa tidak akan ada lagi Cluster mewah di rutan ? apakah terjamin nasib Pahlawan Devisa ? Century apa kabar ? apakah kita punya pemimpin ? entahlah....

Semoga semua ketikkan saya di atas salah semua, semoga saya mengetik dalam mimpi dan kasus2 itu tidak pernah terjadi. Semoga saya salah menilai presiden, agar saya tak kehilangan harapan. Jika harapan hilang, yang timbul adalah kecewa. Dan kecewa mahal harganya, jauh lebih mahal dari ongkos politik. Jadi tuan Presiden, jangan kecewakan kami. Rakyat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun