Saat masih kecil, Ibu pernah menemani saya ke pasar Sleman. Kami mampir ke toko yang paling pojok. Di dekat persimpangan jalan.
Di situ berjejer sepatu dari sisi kanan dan kiri. Banyak pilihan yang ditawarkan. Yang justru membuat bingung untuk memilih.
Pembeli di toko itu bukan hanya kami. Ada seorang ibu dengan anaknya juga. Yang usia anak itu kira-kira sama dengan saya. Sekitar 8 tahunan.
Saya lihat, anak itu merengek terus. Dan sang ibu tetap kekeh tidak bisa membelikan sepatu yang anak itu mau.
Ibu saya lalu bercakap-cakap dengan mereka. Sebentar saja. Lalu memberi mereka selembar uang. Ibu dan anak itu senang. Sepatu yang diinginkannya jadi dibeli.
Mereka mengucapkan terima kasih. Kemudian pergi.
Saya heran. Toh, kami juga bukan dari keluarga yang berkelebihan. Tapi, itu sudah jadi keputusan ibu. Pun sikap ibu masih seperti itu. Sampai sekarang.
Dan keteladanan itu begitu membekas. Saya pun jadi ikut-ikutan.
Puncaknya ketika saya masuk SMK. Bukan di SMP. Apalagi SD. Karena waktu itu, uang saku masih terbatas. Cuma Rp2.000. Hanya cukup untuk pulang naik bus Jogtem. Sedang sisa uang itu saya gunakan untuk tanding Winning Eleven lawan teman saya.
Siapa yang kalah, dia yang bayar.