Cukup aneh, ketika kehadapan kita sekonyong-konyong disodorkan isu pemanasan global (global warming), efek rumah kaca, perubahan iklim (climate change), neraca karbon dll., banyak dari kalangan pendidikan sungguh-sungguh menganggap isu-isu itu adalah isu-isu untuk negara-negara maju, bukan masalah kita. Kenapa? Karena kurikulum MIPA dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dewasa ini sedikit sekali menyinggung masalah perkembangan mutakhir dari isu-isu lingkungan hidup. Seolah-olah melalui pengetahuan mengenai siklus air dan penghijauan, semua masalah lingkungan hidup dapat diatasi, seperti banjir, tanah longsor, bencana kekeringan, intrusi air laut dan menyusutnya cadangan air bersih. Bahkan mata kuliah AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sekarang ini hanya menjadi mata kuliah pilihan di FMIPA di Perguruan Tinggi.
Untuk kami, para guru, tidak ter-cover-nya isu-isu lingkungan hidup mutakhir dalam kurikulum (KTSP) memunculkan masalah tersendiri, ketika para murid atau orang tua murid mulai bertanya apa itu IPCC, Bali Road Map dan climategate (Assessment Report 4) . Masalah makin mendesak untuk ditangani ketika para murid bertanya : Apa itu Konser Live Earth yang diselenggarakan serentak di 40 negara, apa hubungannya dengan global warming?
Sebagai seorang guru, saya kemudian mencoba mencari jalan keluar dengan pegangan : pertama, tidak mempersulit masalah (pendekatan harus membumi), kedua, dapat dipraktekkan secara langsung (bukan sekedar ceramah atau menonton tayangan film/video, yang dapat dengan mudah mereka peroleh melalui Discovery dan National Geographic Channel), dan ketiga, penjelasan harus mempunyai efek ganda/efek bola salju (snow ball effect). Pilihan utama adalah mengikuti pola yang sedang nge-trend dewasa ini yaitu memperkenalkan pertanian organik (termasuk pembuatan pupuk organik (kompos) dan three R’s (reduce,reuse,recycle). Tapi kendala pokok terletak pada sempitnya lahan di komplek perumahan para murid sehingga praktek langsung di rumah tidak dimungkinkan. Kendala berikutnya adalah kuatnya semangat untuk memperoleh hasil secara instant, sehingga tabulampot (tanaman buah dalam pot) tidak sesuai dengan pola pikir dan cara pandang para murid dan orang tua murid yang ingin memanen produk secara cepat. Akhirnya setelah menelusur pustaka, saya mendapat ide untuk mencoba menerapkan hidroponik. Kenapa? Hidroponik adalah cara bertanam dengan media air (tanpa tanah) yang dapat cepat dipanen dan dapat dibuat secara sederhana dengan hasil yang maksimal. Maka hidroponik dapat menyalurkan hobby bercocok tanam. Jadi hidroponik merupakan sarana yang tepat untuk mengaplikasikan ilmu pertanian, biologi, dan bidang MIPA lainnya, serta melatih kepekaan untuk melakukan penelitian secara terus menerus. Oleh sebab itu kendala terbatasnya lahan dan keinginan melihat hasil secara instant dapat dijembatani dengan baik melalui hidroponik. Mengingat medianya hanya air, maka hidroponik dapat dimodifikasi sesuai keperluan. Misalnya hidroponik metode apung dapat diimplementasikan di rumah petak karena dapat dibuat dengan pipa-pipa bambu (tempat larutan pupuk mengalir) atau dengan metode tetes, dimana larutan pupuk dimasukkan dalam botol-botol plastik bekas yang digantung terbalik, hingga cairan pupuk dapat menetes di tanaman yang juga tergantung berderet-deret. Tanaman-tanaman semusim seperti bayam, kangkung, sawi, caisim, atau melon, kacang panjang, mentimun dll. sangat cocok untuk hidroponik karena dapat dipanen secara cepat tanpa memerlukan perawatan khusus. Penelitian secara terus menerus dapat dengan mudah dibiasakan, misalnya penggantian pupuk buatan dengan cairan lindi (cairan hasil fermentasi sampah organik menjadi kompos)
Melalui hidroponik, dua hal bisa didapat yaitu : (i) lahan sempit dirumah dan belantara beton ternyata dapat menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida (menyejukkan udara), bahkan tanaman-tanaman tertentu dapat menyerap gas-gas polutan, hingga efek rumah kaca dapat lebih mudah dipahami; (ii) pengajaran hidroponik memerlukan pendalaman lintas ilmu (seperti pertanian (ilmu pemupukan dan agronomi), fisika (prinsip bejana berhubungan dan pipa kapiler), kimia (ion, elektrolit, konsentrasi larutan dan kesetimbangan kimia), biologi (botani, Teori Mendel dan daur hidup), dan matematika (mengukur dosis dan pertumbuhan) hingga para murid dan orang tua murid dapat lebih mudah membedakan perubahan iklim (global warming) dan perubahan cuaca (weather forecast).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H