Jumlah Kasus Korupsi dalam Lima Tahun Terakhir (2019-2023)
Berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya peningkatan kasus korupsi yang sangat signifikan dalam lima tahun terakhir yakni ditahun 2019 (271 kasus dan 580 tersangka); 2020 (444 kasus dan 875 tersangka); 2021 (533 kasus dan 1.173 tersangka); 2022 (579 kasus dan 1.396 tersangka); 2023 (791 kasus dan 1.695 tersangka).Pemetaan sektor korupsi tahun 2023 terdapat 22 sektor yang diklaster sebagai titik-titik terjadinya korupsi antara lain Desa (187 kasus); Pemerintahan (108 kasus); Utilitas (103 kasus); Perbankan (65 kasus); Pendidikan (59 kasus); Kesehatan (44 kasus); Sumber Daya Alam (39 kasus); Agraria (29 kasus); Sosial Kemasyarakatan (28 kasus); Kepemiluan (17 kasus); Kepemudaan dan Olahraga (14 kasus); Transportasi (14 kasus); Kebencanaan (14 kasus); Telekomunikasi dan Informasi (13 kasus); Perdagangan (13 kasus); Keagamaan (11 kasus); Peradilan (11 kasus); Kebudayaan dan Pariwisata (9 kasus); Administrasi Kependudukan (8 kasus); Â Investasi dan Pasar Modal (2 kasus); Pertahanan dan Keamanan (1 kasus); Tidak Diketahui (2 kasus); Investasi dan Pasar Modal (2 kasus); Pertahanan dan Keamanan (1 kasus).
Salah satu kendala utama yang menghambat kemajuan Indonesia adalah korupsi. Berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2023 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) praktek korupsi memiliki banyak efek negatif, mulai dari kehilangan uang negara hingga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Korupsi memperburuk kondisi masyarakat dan negara diberbagai sektor. Sangat sering, sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disalahgunakan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Akibatnya, kelompok masyarakat yang paling membutuhkan layanan publik ini justru dirugikan, dan disparitas ekonomi dan sosial semakin meningkat. Â Misalnya, korupsi dalam sektor infrastruktur sering menyebabkan proyek pembangunan tidak terlaksana dengan baik atau bahkan gagal, karena dana yang dianggarkan disalahgunakan sehingga menjadikan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya berkualitas rendah. Hal ini menyebabkan infrastruktur yang buruk, yang menghambat mobilitas dan mengurangi daya saing ekonomi nasional.
 Korupsi dalam sektor kesehatan menyebabkan layanan medis menjadi lebih sulit diakses dan fasilitas kesehatan menjadi lebih buruk. Penggelapan dana kesehatan mengurangi anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan dan memperbaiki layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil dengan fasilitas kesehatan yang terbatas. Akibatnya, orang-orang yang sangat membutuhkan layanan kesehatan sering kali harus mengeluarkan lebih banyak uang atau menerima layanan yang kurang baik, yang pada akhirnya dapat membahayakan kesehatan mereka. Begitu pula, korupsi dalam bidang pendidikan mengurangi peluang anak-anak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Dana pendidikan yang diselewengkan berdampak pada sarana dan prasarana pendidikan, kesejahteraan guru, dan kurikulum yang buruk. Jika sektor pendidikan tidak berjalan dengan baik, generasi muda di Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka, yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Selain itu, ketika publik menyaksikan para pejabat menyalahgunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintah pun akan menurun.Â
Jika masyarakat merasa pemerintah tidak mewakili mereka dengan baik, mereka lebih cenderung kehilangan harapan dan memilih untuk tidak terlibat dalam proses pembangunan negara atau demokrasi. Kondisi ini memperburuk hubungan pemerintah dan masyarakat sehingga konsekuensi korupsi terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi lebih jelas. Kelompok masyarakat yang kurang mampu paling terdampak ketika dana negara yang seharusnya dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan atau bantuan sosial justru disalahgunakan. Ketidakadilan yang berkelanjutan muncul diberbagai daerah karena perbedaan yang semakin besar antara kelompok yang memiliki akses dan kekuasaan dibandingkan dengan masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam sistem.
Korupsi di Indonesia adalah masalah yang telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk aspek struktural, kultural, dan personal. Korupsi telah menjadi bagian dari sistem secara struktural, terutama dalam pemerintahan, di mana banyak kebijakan dan prosedur administratif yang kompleks dan berbelit-belit diterapkan. Kompleksitas birokrasi seringkali memungkinkan penyalahgunaan wewenang, seperti dalam pengadaan barang dan jasa, pengurusan izin, dan pelayanan publik. Sistem birokrasi yang panjang dan kompleks juga memungkinkan oknum untuk memanipulasi proses demi keuntungan pribadi atau kelompok, yang pada akhirnya mengurangi efisiensi dan kredibilitas pelayanan publik. Korupsi secara kultural telah menjadi kebiasaan yang diterima oleh banyak masyarakat.Â
Untuk mempercepat atau mempermudah proses, praktik suap atau gratifikasi sering dianggap sebagai sesuatu hal yang "normal", dan bahkan menjadi bagian dari "etika" tak tertulis dalam banyak interaksi sosial dan bisnis. Korupsi dianggap bukan lagi pelanggaran karena telah menjadi tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi ketika masyarakat menganggap tindakan ini sebagai sesuatu yang normal atau bahkan diperlukan. Pemahaman yang toleran ini membuat korupsi semakin sulit dihentikan karena masyarakat secara tidak sadar turut mendukung praktik ini, yang menyebabkan siklus korupsi yang panjang. Pada tingkat individu, korupsi terkait erat dengan cara berpikir seseorang yang cenderung mengizinkan orang lain untuk menyalahgunakan posisi atau wewenang mereka. Banyak pejabat negara dan pegawai negeri yang mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan umum. Mereka melihat posisi mereka sebagai kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi daripada memenuhi tanggung jawab untuk melayani publik.
 Faktor-faktor seperti penanaman nilai integritas yang lemah, kurangnya pengawasan, dan kurangnya sanksi sosial dan hukum bagi pelaku korupsi mendorong perilaku ini di kalangan individu. Mentalitas yang permisif membuat banyak pihak merasa aman atau "wajar" untuk menerima atau memberi suap, selama mereka dapat menyelesaikan urusan mereka, bahkan jika praktik tersebut dilarang oleh undang-undang. Ketiga aspek ini saling mendukung dan memperkuat satu sama lain, yang menghasilkan lingkungan yang mendukung korupsi. Di sisi lain, dimensi struktural membuat sistem rentan terhadap penyalahgunaan, dimensi kultural meningkatkan kesadaran bahwa korupsi adalah hal yang umum dan dimensi personal membuat orang tidak segan-segan menggunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi dan dalam hal ini menjadikan korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi suatu fenomena yang telah mengakar dalam masyarakat.
Dalam kasus pengadaan, pelaku korupsi dapat memanipulasi tender atau anggaran demi keuntungan pribadi, sehingga proyek tersebut menjadi buruk atau bahkan mangkrak. Ketidakefisienan ini menyebabkan anggaran pemerintah terbuang, yang seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat. Â Akibatnya, negara harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperbaiki kesalahan atau melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Selain itu, korupsi birokrasi menyebabkan banyak waktu dan sumber daya manusia terbuang. Â Orang-orang di seluruh dunia, terutama di negara berkembang, merasakan konsekuensi birokrasi yang korup, terutama karena mereka bergantung pada anggaran negara untuk membangun infrastruktur, meningkatkan pelayanan kesehatan, dan memperluas akses ke pendidikan. Ketika dana publik terkuras karena korupsi, masyarakat akhirnya tidak mendapatkan layanan terbaik, dan kesenjangan sosial meningkat. Dengan birokrasi yang tidak bersih, hanya segelintir orang yang mendapat keuntungan, sementara rakyat yang seharusnya paling penting justru dirugikan. Selain itu, korupsi ini meningkatkan beban ekonomi masyarakat, terutama dengan biaya tambahan untuk mendapatkan layanan yang seharusnya gratis atau murah. Akibatnya, daya beli dan kesejahteraan masyarakat menurun.
Dalam menangani kasus korupsi, pembuktian adalah bagian penting dari proses hukum karena memastikan bahwa keputusan pengadilan didasarkan pada kebenaran material, yaitu fakta-fakta yang benar-benar terjadi.  Dalam hukum acara pidana Indonesia, tujuan utama dari proses pembuktian adalah mencari dan menemukan kebenaran material daripada hanya mengikuti formalitas hukum. Fakta ini menjadi dasar keadilan dalam menangani kasus korupsi, yang pada dasarnya sangat kompleks karena melibatkan bukti yang seringkali tersembunyi atau sulit diakses. Dalam kasus korupsi, pembuktian melibatkan berbagai cara dan alat, seperti keterangan saksi, rekam jejak keuangan, dokumen transaksi, dan bukti elektronik yang menunjukkan penyalahgunaan wewenang atau pengalihan dana secara ilegal. Misalnya Dokumen transaksi sangat penting karena dapat memberikan gambaran rinci tentang aliran dana yang terlibat. Dalam kasus ini, analisis jejak keuangan sangat penting karena korupsi sering dilakukan dengan cara-cara yang kompleks seperti pencucian uang, penggunaan rekening palsu, atau manipulasi data keuangan. Bukti dari saksi, baik saksi ahli maupun saksi-saksi lainnya, sangat membantu menjelaskan modus operandi dan efek korupsi. Tantangan tersendiri terletak pada pembuktian kasus korupsi. Pelaku korupsi sering menggunakan teknik canggih untuk menyembunyikan jejak mereka, seperti penggunaan teknologi dan jaringan yang luas. Ini membuat proses pembuktian lebih sulit, yang membutuhkan para penegak hukum yang memiliki keahlian dan keterampilan yang tinggi. Sangat penting untuk memeriksa setiap bukti dengan cermat untuk memastikan bahwa tidak ada detail yang terlewatkan, karena kesalahan dalam pembuktian dapat menyebabkan ketidakadilan. Misalnya, ada kemungkinan bahwa pelaku korupsi yang sebenarnya bersalah akan dibebaskan jika tidak ada bukti yang kuat. Sebaliknya, pemeriksaan yang tidak akurat juga dapat menyebabkan pemidanaan terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah, yang pada akhirnya akan merusak integritas sistem hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan sangat dipengaruhi oleh ketepatan dan komprehensivitas proses pembuktian. Hasil pengadilan menjadi perhatian publik  jika proses pembuktian dianggap tidak jelas atau tidak memadai, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, bahkan menganggap bahwa keadilan hanya berlaku untuk pihak tertentu.