Indonesia terus berkomitmen menurunkan emisi gas kaca dalam kerangka Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) sebesar 31,89 persen pada tahun 2030 dan 43,20 persen jika ada dukungan internasional. Semua dengan tujuan akhir net zero emision pada tahun 2060 sebagai upaya besar dalam menghadirkan lingkungan bersih bagi generasi masa depan.
"Untuk itu mengakselerasi inovasi dalam energi baru terbarukan serta transisi energi diantaranya adalah hal penting. Ini mengingat peran energi sebagai kontributor utama gas rumah kaca yang jumlahnya tidak kurang dari 43 persen dari total energi gas rumah kaca. Maka jalan satu-satunya adalah dengan menjalankan transisi hijau karena hal demikian menjadi upaya paling efektif,"kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Seminar Nasional Renewable Energy dan Tradisi Energi dan Rapat Kerja Nasional Badan Badan Kejuruan Mesin Persatuan Insinyur Indonesia (BKM-PII) di Universitas Gunadarma, Depok, Kamis (29/8/2024).
Dalam menjalankan inisiatif jangka panjang tersebut, sejumlah kebijakan telah dikeluarkan pemerintah dalam bentuk regulasi dan pelaksanaan. Diantaranya adalah Pepres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yakni mengenai mekanisme perdagangan karbon sebagai salah satunya.Â
Selain itu pada tahun 2023, sistem perdagangan karbon atay Emission Trading System (ETS) untuk sektor pembangkit listrik juga hadir, bersamaan dengan peluncuran Bursa Karbon (IDX Carbon) pada September 2023.  Adanya skema perdagangan karbon terutama untuk  subsektor pembangkit listrik ini potensial mengurangi setidaknya 100 juta ton CO2  pada tahun 2030 nanti.
Pada saat bersamaan, pemerintah tengah mengkaji program pensiun dini PLTU melalui skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), menyusul komitmen pendanaan kepada Indonesia yang tidak kurang dari USD21,6 miliar yang merupakan hasil dari KTT G20 Indonesia Tahun 2022.
Dilanjutkan oleh Airlangga bahwa Indonesia bersama Jepang sudah membidani lahirnya Asia Zero Emission Community (AZEC) dengan  chair dan co-chairnya Jepang dan Indonesia, dan saat ini dirinya bertindak selaku chair dan co-chair dari AZEC ini. Beberapa hari lalu berlangsung pertemuan kedua tingkat menteri sekaligus menjadi pemilih dan kurator dari proyek-proyek yang hendak dikerjaka. Dari pertemuan tersebut, tidak kurang terdapat 78 proyek transisi energi dari berbagai negara Asia dan 34 proyeknya itu dari Indonesia. Jadi kita berharap 34 proyek ini bisa mendapatkan dana JETP melalui AZEC," ujar Menko Airlangga.
Di luar isu kelistrikan, upaya lain pemerintah dalam mendorong energi bersih juga dilakukan melalui inisiatif penggunaan energi bersih dari minyak nabati. Contoh sukesnya ada pada program Mandatory B35 Â yang juga jadi bagian dari upaya pencapaian SDGs yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang berhasil menerapkan secara konsisten dalam kurun waktu delapan tahun terakhir dengan tingkat pencampuran tertinggi. Bahkan, saat ini Indonesia sedang menyiapkan untuk Mandatori B40 yang rencananya akan dikeluarkan Januari 2025.
Untuk ke depannya, yang jadi perencanaan pemerintah selanjutnya adalah penyiapan Sustainable Aviation Fuel (SAF) untuk 5 persen dari penggunaan avtur yang diharapkan Indonesia menjadi supplier terbesar di ASEAN.  Selain itu  saat ini sedang dikembangkan  hydro energy  dengan harapan total kapasitasnya bisa menyentuh  10 gigawatt. "Semua ini memerlukan dukungan banyak pihak, karena untuk proyek tersebut diperlukan sains,  teknologi, engineering, dan matematik terutama untuk digitalisasi dan the future industry termasuk dalam transisi energi. Jadi cetaklah insinyur sebanyak-banyaknya," pungkas Menko Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H