Mungkin--ya ini berandai-andai bukan sesuatu yang pasti--kita semua sudah paham keniscayaan indoktrinasi dalam dunia politik bahwa tiada kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang sejati. Tidak usah jauh-jauh memotret kepada pengertian dunia politik pada level elit kekuasaan negara ataupun daerah, dalam praktik politik pergaulan sehari-hari pun dengan mudah bisa ditemukan; meskipun memang masih sulit untuk diakui eksistensinya pada masyarakat yang masih bersembunyi di balik topeng moralitas kultural tradisional kebasa-basian. Setidaknya sejak tamat sekolahan dan bertemu realita persaingan hidup mencari nafkah, seorang anak akan mulai (dipaksa) belajar ilmu politik ini. Bahkan mungkin sejak dini menginjak bangku sekolah menengah pun ia sudah mulai didogma oleh ortunya mengenai pelajaran politik pilah pilih teman dengan berbagai kategorisasi dan dalih. Hanya sosok bayi yang masih polos hitungan politiknya; makanya 'babyface' begitu menyenangkan bagi setiap orang, menatap wajah yang tanpa dosa hipokritisme. Pamrih dengan sejuta alasan pembenarannya adalah keniscayaan dalam realitas hidup meski tentu tidak menihilkan sama sekali keikhlasan. Apalagi sssttt.. membatalkan keimanan (tauhid/esa), ya jangan.
Kehadiran enterpreneur jamu sukses dari Cilacap beristri nyaris empat, Mas Tri begitu ia dipanggil, menghadirkan sensasi baru pada sorotan kamera panggung politik nasional yang sedang menggoreng episode demi episode sinetron "Ketum Demokrat yang Tertukar II". Di saat Anas Urbaningrum mulai ditinggalkan teman-temannya ketika senang di saat susah, pria berbadan kecil satu ini tetap setia bahkan mengklaim untuk Anas sudah mewakafkan darahnya. Meski ia katakan tidak mau menggantikan Anas untuk digantung di Monas, tapi kesesuaian antara lisan dan amal telah ditunjukkannya dengan mengundurkan diri dari Partai Demokrat persis di hari KPK mengumumkan status Ketua Umum-nya Anas sebagai TSK kasus korupsi proyek hambalang; tentu entahlah kalo soal hati dan motif. Di Televisiwan semalam dalam acara Gesture-nya Alvito Deanova diputarkan pula menariknya sebuah video klip lama yang dibuat Mas Tri, pemuda polos dari daerah ini, yang bergaya nyanyi dengan gitar layaknya Rhoma Irama beberapa tahun lalu (indie label). Dengan 'gesture' tangannya yang sangat SBY-style menarik kita menyimak bagaimana ia seakan jadi jubir Anas Urbaningrum, dan martir barangkali juga. Kepada Vito ia akui, sejak pecah kongsi dengan Nazaruddin ia menjual apartemennya di Jakarta sehingga kini sebagai ketua atau mantan kepala DPC Demokrat Cilacap hanya bisa numpang-numpang nginap. Alhamdulillah tidak sampai ngegembel ya, zaman mutilasi gini.
Insting wartawan Vito terus mempertanyakan motif loyalitas Mas Tri pada Pak Anas-nya. Entah hutang budi atau ekonomi atau apa. Mungkin saja--ya berandai-andai dan tidak pasti lagi--dengan wajah pas-pasannya--kalau terlalu kejam dibilang cocok jadi pelawak tersebut--Mas Tri bersyukur dibantu Anas untuk sukses mengkoleksi istri sampai berjumlah tiga. Dalam acara ILC-nya Tiviwan juga, tawa peserta sempat meledak sewaktu ia membantah tuduhan pengacara Nazar tentang istri empatnya karena faktanya ia bilang baru tiga. Pantas kiranya wartawan senior Karni Ilyas menyebut Mas Tri lebih lelaki sejati dibanding tamu-tamu lain para pakar hukum terbaik Indonesia yang hadir pada acara itu. Meski kita tidak baik untuk katakan realitas bahwa wanita tipe apapun bisa dibeli asal ada uang--baik jalur komersil jujur namun ilegal ataupun bertopeng keresmian yang legal administratif formiil--terangkatnya fenomena Mas Tri ini memang lebih baik ditutup-tutupi agar tidak bernasib "aceng fikri". Dari ini dapat kita lihat sementara motif kesuksesan duniawi Mas Tri dan topeng loyalitasnya. Tapi fenomena memang hanyalah tabir untuk membungkus nomena-nomena yang sebenarnya di ruang-ruang kegelapan bernama niat. Jadi tidak mudah memang untuk menuduh Mas Tri punya pamrih begini begitu dan kita harus cukup puas dengan fakta permukaan bahwa ia loyal kepada Anas Urbaningrum saat suka maupun duka. Memang soal untuk membuktikan niat "pelaku" ini adalah pelik bagi pengadilan dunia. Ini membuat sarjana-sarjana fakultas hukum idealnya adalah bukan cuma tukang hafal pasal, melainkan sama dengan para insinyur dan saintis lainnya dalam kekuatan logika, tidak hanya retorika. Dan logika Anda semua wahai pembaca akan saya kocok-kocok dalam sebuah retorika bahasa juga, penutup bagi tulisan kali ini: jika kepada Anas Urbaningrum yang tersangka korupsi saja Mas Tri mau bersetia, kenapa ia--yang juga kurang ganteng itu--tidak tahan untuk hanya loyal hanya kepada satu istri saja?
nb: thx utk tri yg digunakan wat berkompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H