Mohon tunggu...
Wemmy Al-Fadhli
Wemmy Al-Fadhli Mohon Tunggu... gembel -

Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya gak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Ngapain mikir kan cuma selangkah. (Bob Sadino)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bang Thoyb, (Calon) Istri dan Anak-Anakmu Menantiku Part 2

17 September 2010   23:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hi penggemar2 qu. Berikut2 kisah2 berikutnya. Mana tau suatu saat bisa jadi pentink untuk (pijit) refleksi (peng)hidup(an) Anda. Di ujung pertengahan agus, ke Jakarta aku 'kan kembali. Dari Bandung tetapi. Setelah nawar2 ongkos angkot, qu naikin salah satunya hingga Kiara Condong. Di sana cukup lama baru qu dapat naikin kereta serayu (sekian) dari Kroya tujuan stasiun kota dengan tiket seharga 19.000 (tarif Kota-Tasik). Eh, ternyata kereta kelas kambing (ekonomi) ini jugak berhenti di stasiun bandung. Jadi cape deh.

Tadinya aku berencana untuk ikut hingga ke Kota supaya (mana tau) bisa nginap di mesjid yang dulu pernah kukunjungin sewaktu ke kampung bandan; yang ternyata bisa tembus langsung juga dari ujung stasiun djakarta kota itu. Tapi karena dah mau buka puasa sementara aku belum shalat ashar, kuturunkan kaki sewaktu ia ngetem di senen. Alhamdulillah (ceilee, "keliatan" saleh niyeee), sempat. Nah, selesai buka dan maghrib di stasiun ini baru aku bingung lalu mau kemana. Kalo ndak salah sih aku sudah merencakan juga sebelumnya buat ke istiqlal tetapi faktanya saat itu sudah mulai malam. Aku tak hafal jalur transportasi tapi tau jalur jalan kaki 'coz punya map, hue he. Lalu keluarlah aku dari stasiun ini tanpa tujuan dan arah yang pasti.

Setelah muter ke terminalnya, aku lihat2 dulu pasar kue dadakannya--senyampang emang bingung mau kemana yaa. Lalu kuisya di mesjid yang biasa yang ndak bisa diinapi 'coz digembok. Lalu aqu duduk2 di taman monumen (entah apa namanya) yang mana daripada disana sedang kumpul2 di dekatku komunitas gay! Salah seorang homo disana mengingatkanku untuk hati2 akan kriminalitas disana, termasuk copet. Ah baik juga dia; jarang2 kutemuin orang baik (walau kelihatan saleh tampilan luar) di jaman manusia2 pendengki tukang celetuk tanpa sebab yang jelas ini. Salah seorang dari para homo itu menawarkan tidur di kosannya dia yang tentu saja aku tolak dengan perasaan ngeri he2. Nb: kelak di bagian cerita berikutnya ternyata aku juga akan mendapat pertolongan dari seorang homo lagi! Lalu dari situ aku jalan ke arah kwitang--mungkin dengan tujuan istiqlal--namun ternyata kemudian disana aku memutuskan tidur di taman2 yang ada bangkunya. Sempat pula pindah posisi ke yang depan mako brimob atau marinir. Di sana pas bangun dapat teman bercerita sebentar; remaja priok yang katanya kemaleman buat dapat bis. Lalu aku sahur di warteg yang ada buka kebetulan disana; deket "hotel" tempat tidurku. Lalu aku jalan untuk menunaikan shalat subuh ke istiqlal. Kelak di bagian cerita berikutnya nanti, tiduran kemaleman di emperan kwitang begini, sahur di warteg yang itu lagi, lalu jalan ke istiqlal untuk subuh akan kulakoni lagi.

Setelah subuh tentunya akhirnya aku bisa tidur cukup enak pagi itu di atas karpet mesjid hingga mentari terbit memanggil bagi sebuah episode berikutnya: perjalanan (kaki) ke Tanah Abang. Sebagai catatan psikologis-kejiwaan sosial-massa untuk episode pertama ini: karena tentu saja pada waktu itu (dan juga waktu seterus2nya he2) aku terlihat banget tampil bagai gembel (eh, emang gembel koq) dan terlihat amat kelihatan dan diperlihatkan miskinnya, aku bisa menyaksikan wajah2 kebahagiaan (meski tentu tidak 100% semua gitu), penghinaan, peremehan dari para si miskin yang mengalami internalisasi penindasan (teorinya). Satu2nya cara bahagia bagi orang-orang susah ini (katanya) adalah bisa melihat ada orang yang lebih susah dari dia. Hahahahahahahahahahaha, oke cape dulu nih, bersumbang.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun