Mohon tunggu...
Wemmy Al-Fadhli
Wemmy Al-Fadhli Mohon Tunggu... gembel -

Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya gak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Ngapain mikir kan cuma selangkah. (Bob Sadino)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Si Buya Mencintaimu, Bu Diana?

25 Februari 2010   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Janganlah harus Anda tafsirkan Si Buya dalam cerita saya ini sebagai SBY dan Bu Diana sebagai Bapak Boediono. Memang istilah Si Buya sebulan terakhir ini jadi topik trend di Nkritter; berkat performance primanya pada aksi 28 Januar lalu di tepi kolam bundaran HI. Sekedar info tambahan gak pentink: beberapa kali melintas Kota Jakarta saya sudah lupa apakah pernah melintas tempat itu, saking penuhnya otak saya memikirkan keadaan negara ini yang tidak pernah memikirkan keadaan saya. Oh, I luv my-"fxxkin"-country. Hahahaha, becanda ya bumbu ajja deh. Tapi terserah dech Anda mau tafsirkan apa. Sebab belum tentu persis, apalagi mutlak benar. Lebih baik kita kembali fokus pada kerbau Si Buya tadi. Di kampung saya yang matrelinial niy ajja sebetulnya istilah buya tersebut sangatlah dihormati (dulunya); sebagaimana Anda kenalin dalam istilah Buya Hamka. Tapi di bundatan HI tadi ia berubah jadi sebuah graffiti moural pilox pada body bongsor seekor kerbau yang di pantat sebelah kanannya ditempelin foto sbypresidenku yang biasanya sangat menjaga wibawa. Patut saja SBY curiga kepada kerbau yang bisa menyimbolkan ukuran besar, seperti tubuhnya.

Akhirnya boleh terindikasi juga deeh bahwa antara buya, kerbau, dan kampung minang matrelinial saya ada hubungan seperti memangnya. Apalagi salah satu aktor intelektual aksi komunikasi politik kerbau politis tersebut adalah juga doktor lulusan amerika keturunan kampung saya tadi tersebut. Duh, bangganya. Sayang banget saya ndak bisa mengeruk keuntungan pribadi apa-apanya. Tapi cerita ini belum berakhir, karena masih paragraf dua. Kita lanjutkan saja. Baiklah, anggaplah kita benarkan saja tafsiran Anda tentang SBY dan Boediono tadi. Apalagi kalau sampai Anda mengait-ngaitkan kisah Si Buya dan Bu Diana tersebut dengan peristiwa nasional akhir-akhir ini. Hmmm, mungkin saya perlu juga memikirkannya. Karena seperti Pak Doktor tadi, Bu Diana namanya juga terdengar bernama dan dimilik asing; tak seakrab nama Si Buya yang doktor juga ternyata, meski produk lokal. Kenapa mereka bisa jadinya menjalin sesuatu. The Perawan melagukannya dengan hits Cinta Terlarang. Entah apa hubungannya dengan SBY-Boediono, tetapi saya sekarang teringat akan advice politik "kancil pilek" Amien Rais sewaktu SBY memutuskan cawapresnya jelang pemilu kemaren.

Dulunya kupikir provokasi Amien hanyalah tawar menawar politik yang gampang ditebak dengan kader Hatta Rajasanya. Ternyata memang ada sesuatu yang lebih DEEP, ketika Amien mengingatkan SBY akan besarnya resiko mengambil Pak Boed sebagai cawapresnya. Hehe, keren ajja rasanya pake bahasa asing nih untuk ungkapkan sesuatu yang kurang cita rasa dan maknawi dalam bahasa indonnya. Seperti teladan dari pemimpin-pemimpin kita juga toh. Tapi bisa jadi juga pemimpin-pemimpin kita seperti Amien tadi ndak sejauh itu juga pengetahuan ataupun terawangnya. Meski sekampus dengan Pak Boed, bukan berarti ia sudah tahu sejak lama dugaan ketidakbijakan pejabat negara terkait dalam kasus bailout Bank Century. Tapi bisa juga dia sudah punya pertimbangan general akan efek politis dan peradaban bagi negara ini terkait pandangan mahzab ekonomi Pak Boed yang ia ketahui dan isu asingisasi atau antek-antek neoliberalism. Lalu kenapa SBY tidak mendengar dan hingga berkasus macam kini seperti tetap berusaha mempertahankan Bapak Boediono berada di sisinya?

Karena SBY punya ambisi karir internasional. Beberapa kali saya sudah temui tulisan-tulisan analisis terhadap hal yang seperti ini. Tapi masih kurang menggigit dan ini saya tambahin rasa pedasnya. Jika betul target SBY misal Sekjen PBB di Niuw York--daripada nantinya semi-nganggur macam JK ataupun total-nganggur seperti gua--dan ini lalu kita kaitkan dengan nilai jual Indonesia yang sedang membentuk kurva mendaki berkat kemenangan Obama Si Anak Menteng di Rumah Putih, (maka) adalah kesempatan emas bagi SBY untuk merebut momentum empuk ini dengan menarik hati Saudara Amerikanya. Keberadaan Bu Diana eh Boediono yang lulusan Amerika dan dituduh bermahzab neoliberal ini adalah senjata tawar yang cukup menggiurkan saya kira. Termasuk duet paketnya dengan mantan Direktur IMF Menkeu kita sekarang Ibu Sri Mulyani. Kursi empuk sebagai Sekjen PBB sepertinya sangat penting bagi cita-cita karir kehidupan Bapak SBY sehingga ia mau melewati riskannya mencawapresi Boediono pada Pilpres 2009 lalu. Terlepas dari tentunya sudah diperhitungkan matang akan bantuan propaganda hingga dana bahkan back up kekuatan militer Armada ke-VII wilayah Pasifik dari saudara se(entah apa) yang jadi sponsornya itu. Tak bisa juga disalah-salahkan karena sepertinya inilah yang memang pilihan hidup SBY yang rajin membentuk english club sewaktu masih kadet calon perwira TNI ceriteranya doeloe. Dan, skill pragmatism dan realistis beliau saya kira sudah cukup teruji untuk bisa menjadi seorang diplomat ulung nantinya. Jenis cari aman yang barangkali memang dibutuhkan untuk menciptakan keamanan bagi dunia lapaknya aneka bangsa. Plus sokongan sisi metafisika ala orang timur yang klenik mania.

Entahlah, saya merasa koq kalimat saya yang terakhir sebelum ini akan berkesan retorika pesimis bagi pembacanya. Jelasnya saya dalam tulisan kali ini berkesan mengerucut pada tema: ambisi karir internasional Bapak SBY; dan aku sudah berusaha menetralisirnya dengan mengatakan bahwa setiap orang punya hak akan pilihan hidupnya sendiri toh. Jika hanya kata-kata "SBY PUNYA AMBISI KARIR INTERNASIONAL" yang saya tulisin untuk menjawab pertanyaan kenapa Si Buya mempertahankan mati-matian cinta kasihnya kepada Bu Diana sebagaimana marwah judul, bisa jadi admin kompasiana bakal menghapus tulisanku ini karena isinya hanya satu kalimat yangmana isi tersebut pun taknyambung pula sama judulnya. Ini jadinya berkait-kaitan sekarang karena begitulah mungkin Anda pembaca akan mencoba-coba menafsirkannya. Tapi gak apa-apa, toh kemungkinan dugaan ngelantur Anda tersebut bisa memperpanjang tulisan saya ini dan dengan kriteria terukur secara kuantitas begini ia akan memenuhi syarat dari editor untuk bisa sah sebagai artikel. Jadi, (jika) Anda masih juga heran kenapa Si Buya yang lokal tetap cinta mati untuk mempertahan Bu Diana yang import luar berada di sisinya, kenapa kenapa? Anggaplah jawaban seperti ini ngawur dan nggak kena pak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun