Mohon tunggu...
welly seran
welly seran Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lebih hidup dengan semangat emas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tunjangan Sertifikasi Ubah Mindset Guru, Matikan Sekolah Swasta

22 Juli 2015   13:21 Diperbarui: 22 Juli 2015   13:25 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sekolah swasta, kondisi seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan. Pergerakan sekolah-sekolah negeri yang membuka penerimaan siswa baru “semaunya” secara langsung berdampak pada jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah-sekolah swasta, karena pilihan utama orangtua tetap tertuju pada sekolah-sekolah negeri yang dinilai lebih murah dan bergengsi.

Menghadapi kondisi seperti ini, para guru sekolah swasta dipaksa memutar otak untuk bisa terus mempertahankan keberlangsungan sekolah masing-masing. Tawaran fasilitas belajar yang super lengkap dan pendampingan maksimal terhadap para siswa saja, ternyata tidak cukup untuk menarik minat siswa dan orangtua. Sebab itu, peran dan fungsi pengawasan dari Dinas Pendidikan selaku otoritas tertinggi di tingkat kabupaten kota sangat dibutuhkan untuk menjalankan roda pendidikan sekolah-sekolah swasta.

Peran Dinas Pendidikan

Peran dan fungsi pengawasan oleh Dinas Pendidikan terhadap situasi yang berkembang setelah digulirkannya program sertifikasi guru sangat dibutuhkan oleh sekolah-sekolah swasta. Gerakan bersama menambah kelas yang dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri demi melancarkan tunjangan sertifikasi, agaknya telah menyimpang dari visi semula program tersebut. Tujuan dari program yang sebenarnya baik, kenyataannya justru ditanggapi negatif oleh para guru, yaitu dengan mengambil jalan pintas menambah kelas baru.

Jangan sampai orientasi dari program sertifikasi beralih dari semula meningkatkan martabat dan kinerja para guru menjadi sarana bisnis, yang tujuan utamanya bukan untuk mencerdaskan, tetapi hanya sekadar memeroleh keuntungan. Jika yang terjadi demikian, maka pemberian tunjangan sertifikasi dengan mengharuskan guru mengajar minimal 24 jam per minggu perlu dikaji ulang.

Seharusnya, sekolah-sekolah yang gurunya kekurangan jam mengajar, tidak dibebaskan untuk membuka kelas baru, yang berdampak kurang baik terhadap keberlangsungan sekolah-sekolah swasta, tetapi guru-guru tersebut dipindahkan ke sekolah-sekolah di pelosok, yang notabene masih banyak membutuhkan tenaga guru.

Jika solusi yang diambil selalu sama dari tahun ke tahun, yaitu menambah kelas baru setiap kali ada guru yang kekurangan jam mengajar, maka pemerataan tenaga kependidikan di negeri ini tidak akan pernah tercapai, karena tenaga guru akan selalu bertumpuk di kota-kota besar, sementara sekolah-sekolah di pelosok selamanya akan tetap kekurangan guru.

Untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi di lapangan berkait turunnya animo masyarakat terhadap sekolah swasta, Dinas Pendidikan agaknya perlu turun tangan dengan memberikan surat edaran kepada sekolah-sekolah negeri tentang rambu-rambu PSB. Dinas Pendidikan harus menerbitkan data yang jelas tentang jumlah siswa lulusan TK, SD, SMP, dan SMA setiap tahun. Berdasarkan data tersebut, Dinas Pendidikan dengan otoritasnya juga perlu menyusun rambu-rambu PSB, agar jumlah siswa lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang akan melanjutkan ke jenjang berikutnya dapat tersebar secara merata. Dinas Pendidikan juga perlu menerbitkan aturan yang jelas tentang berapa jumlah siswa yang boleh diterima di setiap sekolah dan berapa kelas yang boleh dibuka, agar aksi monopoli sekolah-sekolah negeri terhadap sekolah-sekolah swasta segera dihentikan.

Dalam hal ini penulis sebagai guru prihatin menyaksikan kebijakan yang diambil oleh beberapa sekolah. Mereka membuka Penerimaan Siswa baru dalam jumlah besar sampai melebihi daya tampung. Untuk mengatasi kelebihan daya tampung tersebut pihak sekolah sampai harus membuka dua shift (double shift) pembelajaran menjadi kelas pagi dan sore. Sungguh sangat disayangkan, di satu sisi banyak sekolah swasta yang terancam gulung tikar karena kekurangan siswa, namun di sisi yang lain sekolah-sekolah negeri seperti kelebihan muatan sampai harus membagi kelas menjadi dua shift pembelajaran, pagi dan sore.

Sedihnya lagi, ketika harus mengetahui bahwa semua itu dilakukan demi mengamankan tunjangan sertifikasi, bukan demi kepentingan siswa. Jika kepentingan siswa yang diutamakan mengapa sekolah-sekolah negeri tidak berbagi dengan sekolah-sekolah swasta yang masih kekurangan siswa. Para guru seperti mengabaikan efektifitas pendampingan terhadap para siswa – prinsipnya yang penting beban mengajar 24 jam guru-guru penerima tunjangan sertifikasi terpenuhi, para siswa tertangani dengan baik atau tidak itu urusan lain. Gawat, jika situasi ini terus dibiarkan oleh otoritas di atasnya.

Fakta lain yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa masih ada sekolah swasta terkemuka yang dalam sejarah perjalanannya belum pernah mengalami kekurangan siswa, pada tahun ini harus mengalami kenyataan pahit tersebut. Mereka kalah dalam persaingan menjaring siswa baru. Menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimana bisa sekolah dengan catatan prestasi gemilang sampai ke tingkat nasional, fasilitas pembelajaran super lengkap, lingkungan belajar yang sehat, ditambah lagi pelayanan prima para guru terhadap para siswa, harus dihadapkan pada kenyataan bahwa sekolah mereka tidak lagi diminati masyarakat. Pertanyaannya kemudian, lalu sekolah seperti apa lagi yang diinginkan oleh masyarakat? Apakah hanya sekadar (maaf) murah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun