Mohon tunggu...
welly seran
welly seran Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lebih hidup dengan semangat emas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tunjangan Sertifikasi Ubah Mindset Guru, Matikan Sekolah Swasta

22 Juli 2015   13:21 Diperbarui: 22 Juli 2015   13:25 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun pelajaran 2015-2016 segera dimulai. Di hari pertama tahun pelajaran baru, beberapa guru dari sekolah swasta harus siap menyaksikan pemandangan bahwa masih banyak kursi yang kosong di sekolah mereka. Kursi kosong bukan karena banyak siswa membolos di hari pertama masuk sekolah, tetapi karena memang jumlah siswa baru yang mendaftar, tidak lagi mampu memenuhi kuota sebagai akibat dari “gerakan bersama” menambah kelas baru di sekolah-sekolah negeri, demi tercapainya target mengamankan tunjangan sertifikasi, pada tahun pelajaran berikutnya.

Saat ini para siswa dan guru sedang menikmati masa libur semester. Bagi guru yang berstatus PNS, libur semester tahun ini tentu menyenangkan, karena mereka bisa mengisi waktu liburan dengan berbagai aktivitas bersama keluarga. Apalagi libur kali ini bertepatan dengan bulan suci ramadhan – bisa menunaikan ibadah puasa sambil mempersiapkan lebaran bersama anggota keluarga dalam suasana libur, tentu sangat menyenangkan. Lain halnya dengan guru-guru di sekolah swasta, libur tahun ini akan sedikit terganggu dengan kondisi bahwa masih banyak kursi di sekolah mereka yang belum terisi.

Seperti yang terjadi di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta, di salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Memasuki minggu pertama bulan Juli, sekolah ini masih kekurangan siswa. Kekurangan jumlah siswa pun tidak sedikit, yakni mencapai satu rombongan belajar.

Menilik data Penerimaan Siswa Baru (PSB) tahun sebelumnya, pada minggu pertama bulan Juli seharusnya pihak sekolah sudah menutup pendaftaran, karena kuota sudah terpenuhi. Akan tetapi, hal tersebut tidak lagi terjadi pada tahun pelajaran 2015-2016. Pihak sekolah seperti kesulitan menjaring siswa baru karena kalah bersaing dengan sekolah-sekolah negeri yang seakan berlomba-lomba menambah kuota PSB untuk mengisi kelas-kelas baru. Rata-rata setiap sekolah membuka dua sampai tiga kelas baru, dengan perincian delapan sampai sepuluh kelas baru per sekolah.

Terhadap kondisi ini, Dinas Pendidikan selaku pemangku kebijakan tertinggi di tingkat kabupaten kota seperti menutup mata terhadap keberlangsungan sekolah-sekolah swasta yang semakin dekat dengan kondisi mati suri. Dinas Pendidikan tidak memberikan regulasi yang jelas berkait prosedur dan kuota ideal yang boleh diterima oleh sekolah-sekolah negeri. Mereka dibebaskan untuk membuka pendaftaran seluas-luasnya, bahkan sampai melebihi daya tampung.

Kondisi seperti ini sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun terakhir semenjak program sertifikasi digulirkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008. Namun, tahun ini yang terparah, dengan membuka pendaftaran tidak terbatas, sekolah-sekolah negeri seperti ingin membuktikan bahwa sebagus apapun kualitas yang ditawarkan sekolah swasta, sekolah negeri tetap menjadi pilihan utama masyarakat.

Sekolah-sekolah swasta bukannya tanpa usaha. Berbagai strategi dilakukan, mulai dari pemenuhan berbagai fasilitas belajar, sampai promosi tatap muka ke pelosok-pelosok desa. Akan tetapi, toh, pilihan tetap ada di tangan siswa dan orangtua, sekolah negeri tetap menjadi primadona karena pertimbangan murah dan peluang diterima dibangku universitas favorit melalui jalur undangan “dianggap” jauh lebih tinggi dibandingkan sekolah-sekolah swasta. Belum lagi pandangan masyarakat yang masih beranggapan bahwa sekolah negeri lebih bergengsi daripada sekolah swasta.

Gagal paham kebijakan sertifikasi

Penurunan animo masyarakat terhadap sekolah-sekolah swasta tidak terlepas dari penambahan jumlah rombongan belajar di sekolah-sekolah negeri yang terkesan “semaunya”. Penambahan rombongan belajar tersebut, bukan karena jumlah siswa lulusan satuan pendidikan di bawahnya mengalami peningkatan signifikan, tetapi lebih kepada upaya untuk mengejar target terpenuhinya beban mengajar minimal 24 jam per minggu bagi guru penerima tunjangan sertifikasi.

Fakta ini menjadi ironi bagi sekolah-sekolah swasta. Program sertifikasi yang semula ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pamor profesi guru, ternyata justru menjadi momok menakutkan. Demi memenuhi salah satu syarat penerimaam tunjangan sertifikasi, berbagai cara dilakukan, salah satunya dengan membuka kelas baru. Motovasinya, dengan membuka kelas baru jam mengajar akan bertambah, sehingga kewajiban mengajar 24 jam per minggu dapat terpenuhi dan tunjangan sertifikasi tetap mengalir ke saku para guru.

Bagi guru yang kekurangan jam mengajar, opsi lain, misalnya meminta jam mengajar ke sekolah-sekolah lain di tingkat kabupaten kota tetap akan sulit, karena semua sekolah butuh jam mengajar demi alasan yang sama, yaitu mengamankan tunjangan sertifikasi. Apalagi dengan semakin diperketatnya aturan, bahwa jam mengajar yang dihitung sebagai beban mengajar 24 jam per minggu, harus berasal dari mata pelajaran yang sama sesuai sertifikat mengajar. Guru sejarah di SMA A jika ingin menambah jam mengajar di SMA B tetap harus mengajar mata pelajaran sejarah. Jika tidak sesuai sertifikat, misalnya guru Sejarah SMA A mengajar Seni Rupa di SMA B, maka jam mengajar Seni Rupa tidak akan dihitung sebagai beban mengajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun