"Apa yang saya lakukan saat ini juga bagian dari refleksi hidup saya. Sejak kecil, saya juga tergantung dengan obat. Saya beruntung bisa mencapai titik ini. Saya tidak bisa menahan air mata saya ketika melihat masih banyak anak-anak yang menderita gizi buruk dan stunting. Kita harus bisa lakukan sesuatu. Dan saya sudah memilih jalan ini. Saya harus dorong semua pihak, terutama pemerintah desa dan dinas terkait untuk mengalokasikan program dan anggaran khusus untuk mereka. Anak-anak itu harus kita selamatkan. Saya tahu ini bukan pekerjaan mudah. Bahkan apa yang saya lakukan pun kadang dipandang sebelah mata. Mirisnya itu datang dari kaum saya. Tapi Saya tidak peduli apa kata mereka. Misi saya sederhana, selamatkan nyawa anak-anak tak berdosa itu." Kata Astrid.
Penggalan cerita di atas bermula ketika saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada teman saya Astrid, yang saat ini bekerja sebagai konsultan di salah satu Lembaga PBB di Nusa Tenggara Timur. Dari pertanyaan "Kenapa kamu begitu menikmati sekali pekerjaan-pekerjaan advokasi? Bukankah itu tidak semudah membalik telapak tangan karena butuh effort yang besar?" Astrid dengan penuh empati menyampaikan isi hatinya.
Saya dan Astrid berteman sudah cukup lama. Bila ada waktu luang, seringkali kami berbagi pengalaman atas apa yang kami kerjakan bersama masyarakat melalui program-program pembangunan. Kami memang sudah mengabdikan diri untuk bangsa Indonesia melalui lembaga-lembaga non-pemerintahan. Sehingga ketika saya melihat status whatsapp Astrid atas keberhasilan advokasinya terhadap pemerintah desa dan dinas terkait mendukung program gizi buruk dan stunting, saya lalu mengajaknya diskusi. Perlu diketahui bahwa ini bukan baru pertama kali Astrid memasang status seperti itu. Sudah sangat sering. Bagi saya ini hebat dan layak untuk berbagi.
Astrid adalah sebagian kecil dari perempuan-perempuan hebat di Indonesia yang berempati pada isu-isu kesehatan ibu dan anak. Inspirasi yang lahir dari refleksi perjalanan hidupnya dan juga mungkin dari lingkungan kerjanya saat ini. Pekerjaan yang Astrid lakukan bertahun-tahun yang fokus pada upaya-upaya pencegahan dan penanganan gizi buruk dan stunting di NTT rupanya menjadikannya pribadi yang tidak gampang menyerah. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang dimiliki, Astrid bertekad menyelamatkan anak-anak yang saat ini menderita gizi buruk dan stunting.
Cerita Astrid ini boleh dikatakan refleksi kecil dari perjuangan Kartini masa kini. Tanggal 21 April lalu, selain ucapan Selamat Hari Kartini, berbagai refleksi dan kata-kata penyemangat menghujani lini masa media-media sosial. Foto dan kata-kata 'magis' R. A. Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang diambil dari judul bukunya bersiliweran di mana-mana. Tak peduli sudah atau belum membaca bukunya atau sekadar memahami makna perjuangan Kartini yang dituturkan buku tersebut. Kalau mau melengkapi pemahaman kita mengenai perjuangan emansipasi perempuan, patut dibaca buku Pramoedya Ananta Toer "Panggil Aku Kartini Saja". Buku Pramoedya ini dengan jelas menerangkan gerakan modernitas Kartini melawan feodalisme.
Setiap tanggal 21 April, hampir semua kalangan tidak mau ketinggalan merayakan hari 'titik balik' perjuangan kaum perempuan atas hak-hak yang setara dengan laki-laki di Indonesia. Tidak dapat diabaikan, berkat perjuangan Kartini, dan tentunya tokoh perempuan Indonesia lainnya masa penjajahan, oleh Pemerintah Indonesia ditetapkanlah tanggal 21 April sebagai Hari Kartini untuk memperingati semangat dan perjuangan tersebut. Sehingga tidak heran, setiap bulan April sangat identik dengan bulannya Kartini.
Menarik untuk menyimak dan merefleksi kembali perjuangan tokoh-tokoh perempuan Indonesia jaman dahulu. Dalam segala keterbatasan, mereka mampu menunjukan suatu keberanian menuntut kesetaraan hak dengan kaum laki-laki. Tidak hanya itu saja. Kartini sendiri dalam misinya juga menuntut hak mendapatkan pendidikan yang layak bagi kaum perempuan. Baginya, sebagai benteng utama pendidikan anak dalam keluarga, perempuan harus mendapatkan pendidikan yang memadai. Perempuan adalah ibunya kehidupan. Mereka harus mampu mengambil keputusan besar bagi derajat kehidupannya sendiri, keluarga dan bangsanya.
Kartini dan para perempuan pejuang lainnya dengan gigih mempertaruhkan segala daya dan nadi mereka untuk suatu kehidupan tanpa diskriminasi gender yang lebih baik. Air mata, keringat, bahkan nyawa sekalipun mereka korbankan. Bila tidak demikian, mana mungkin kita bisa merayakan Hari Kartini saat ini? Nilai historis perjuangan inilah yang menjadikan kita beruntung menjadi perpanjangan tangan R. A. Kartini pada masa sekarang.
Namun, pertanyaannya, apakah spirit perjuangan ini masih kita pegang teguh? Apakah perempuan jaman millenial ini sudah melakukan apa yang menjadi esensi perjuangan Kartini? Atau malah jauh dari hakikat perjuangan Kartini? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya sekadar bisa dijawab dengan "ya atau sudah atau belum". Ini butuh sebuah refleksi mendalam untuk menjawabnya. Jika mungkin mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, salah satu perjuangan Kartini adalah tidak ingin kaumnya makin terbelakang di belakang kaum laki-laki. Pendidikan adalah kuncinya. Kartini sangat ngotot agar kaumnya terdidik. Baginya, pendidikan adalah salah satu kunci utama perempuan bisa mendapatkan derajat hidup yang lebih baik. Bagi kartini masa kini masih luas lagi perjuangan Kartini.