Pada tanggal 14 Mei 2014 lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan sepuluh sinetron dan FTV bermasalah dan tidak layak ditonton. KPI menilai sinetron dan FTV ini bermasalah karena sering menampilkan beberapa pelanggaran. Contoh pelanggarannya yaitu seperti tindakan bullying (intimidasi), kekerasan fisik, kekerasan verbal, menampilkan percobaan pembunuhan, adegan percobaan bunuh diri, menampilkan remaja yang menggunakan testpack karena hamil di luar nikah, adanya percobaan pemerkosaan menampilkan kehidupan bebas anak yang dilakukan anak remaja, konflik rumah tangga dan perselingkuhan.
Tidak hanya tayangan sinetron dan FTV saja, saat ini tayangan untuk anak-anak yang tidak layak tonton banyak dibumbui adegan-adegan kekerasan seperti di sejumlah film kartun. Kartun yang tergolong sadis pun masuk di dalam TV Indonesia. Contohnya saja seperti kartun Owl. Kisah burung hantu yang selalu mengalami kesialan di hidupnya. Pernah burung hantu tersebut terjepit di pohon, badannya terbelah menjadi beberapa bagian, dan hancur berkeping-keping karena terkena ledakan.
Meskipun bermasalah, kartun masih menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Saya pernah melakukan penelitian pada beberapa keluarga di Jember, bahwa anak-anak mereka diproteksi orang tua untuk tidak bermain keluar dengan teman sebaya di kampungnya. Orang tua melihat pergaulan remaja-remaja di kampungnya mengkhawatirkan karena banyak sekali yang terjerat minum-minuman keras, narkoba, serta kehidupan bebas lain. Alhasil, anak mereka hanya berkutat di rumah dan membuat TV sebagai media hiburan bagi anak-anak tersebut. Sehari mereka bisa menghabiskan 4-5 jam dalam menonton TV. Sedangkan pada hari libur, mereka bisa hingga 7 jam berada di depan layar TV.
Tetapi berlebihan dalam mengonsumsi TV juga berdampak buruk bagi anak.Saya mempunyai keponakan yang masih duduk di bangku kelas 6 SD sudah mengerti tayangan dan kehidupan remaja karena seringnya melihat TV. Bahkan ia pun sudah mengenal berdandan cantik ala artis yang ada di TV. Pada dasarnya anak-anak adalah peniru. Meniru adalah hal yang wajar bagi masa kanak-kanaknya. Aristoteles pun mengatakan bahwa manusia sebenarnya adalah makhluk yang paling pandai menirukan di dunia, dan pertama kali ia belajar adalah dengan menirukan. Tetapi bagaimana jika anak-anak meniru dari hal-hal yang tidak baik dari TV?
Permasalahan TV di Indonesia tidak hanya itu saja. Masih marak tayangan-tayangan TV serupa tapi tapi tak sama. Ahli media massa Dennis McQuail menyebutnya sebagai homogenisasi tayangan. Sebagai contoh ada salah satu stasiun TV membuat tayangan dengan genre komedi disertai joget, stasiun TV lain juga mengikutinya dengan konsep joget yang berbeda. Para pembuat tayangan ini tergiur dengan perolehan rating TV lain yang sangat besar. Rating seakan menjadi ‘tuhan’ bagi perusahaan TV untuk mengetahui tingkat persaingan dengan tayangan TV lain.
Saya pernah berbincang dengan produser di salah satu TV swasta nasional, ia mengatakan bahwa tayangan TV itu ibarat berdagang. Kalau kita berdagang dagangan yang murah tetapi laku, buat apa kita berdagang yang mahal tetapi tidak laku. Maksud dari perkataan produser tersebut yaitu buat apa stasiun TV membuat tayangan yang memiliki anggaran besar tetapi tidak ditonton banyak orang, tetapi dengan memberikan tayangan-tayangan beranggaran murah malah laku ditonton. Tidak heran jika selama sekitar jam 5 sore sampai jam 10 malam TV kita diisi dengan tayangan-tayangan hiburan yang minim dari syarat edukasi. Kualitas menjadi hal langka dalam perindustrian TV kita, jika para pelaku TV masih mengandalkan rating sebagai acuan. Padahal TV sendiri menggunakan frekuensi publik yang seharusnya bertanggung jawab dan mementingkan kepentingan publik.
Meskipun posisi masyarakat lemah dalam industri TV, tetapi tradisi menonton TV di masyarakat saat ini harus diubah. Tradisi menonton TV bersama dalam keluarga tersebut harus diimbangi dengan edukasi pemahaman tentang media yang kita konsumsi. Kita harus paham bagaimana TV itu ada dan efek yang ditimbulkan dari konten tayangan TV bagi individu maupun masyarakat luas.
Sebagai awalan, cobalah untuk sehari tidak menonton TV. Keluarlah dari zona nyaman di depan TV dengan memanfaatkan waktu bersama keluarga. Para ahli komunikasi keluarga menyebut waktu bersama keluarga sebagai family time. Family time merupakan waktu yang digunakan oleh anggota keluarga untuk berkumpul bersama. Orang tua yang mulai pagi sampai sore bekerja, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga memanfaatkan waktu malamnya untuk berkumpul bersama keluarga. Anak-anak mereka yang mulai pagi hingga sore menempuh pendidikan di sekolah maupun universitas, family time digunakannya untuk bisa lebih dekat dan berinteraksi dengan orang tuanya. Pada saat kumpul bersama anggota keluarga itu pun, terdapat makna yang terbentuk dari interaksi yang dilakukan.
Memberikan waktu untuk berkumpul bersama keluarga itu banyak manfaatnya. Sebuah keluarga yang memberikan waktunya untuk berkumpul bersama anggota keluarga memberikan efek positif dalam hubungan mereka. Selain itu mereka yang berkumpul bersama keluarga bisa mengembangkan individu. Penelitian yang dilakukan oleh Hofferth dan Sandberg, yaitu anak yang memanfaatkan beberapa jam untuk makan bersama keluarga memiliki tingkat permasalahan kebiasaan yang sedikit. Ini dikarenakan anak mau mendiskusikan kegiatan hariannya bersama orang tuanya. Family time tidak hanya terpaku saat makan malam saja. Ada berbagai aktivitas yang bisa disebut sebagai family time. Misalnya, sehari anda bisa rekreasi bersama keluarga ataupun dengan membersihkan rumah bersama. Jika sehari itu bisa dilalui, bisa ditingkatkan untuk hitungan satu minggu tanpa menonton TV.
Mengubah kebiasaan rutin menonton TV tidak akan mengubah apapun jika kita tidak merefleksikan maknanya. Tanya pada diri anda sendiri seperti seberapa sulit atau mudahkah terpisah dari TV? Mengapa?. Setelah itu tanyakan apa yang anda pelajari dari kebiasaan menonton TV anda? Misalnya anda menonton beberapa tayangan TV. Apa pelajaran yang anda dapat dari situ. Coba bandingkan saat anda tidak menonton TV sama sekali, apakah anda mendapatkan pelajaran dari aktivitas yang anda lakukan? Apakah anda menemukan keasyikan tersendiri dengan aktivitas baru itu? Lalu anda menilai dari perbandingan tadi, anda bisa menilai apakah aktivitas baru itu bisa dianggap sebagai pengganti TV, atau malah anda masih ketergantungan terhadap TV.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H