Penulis: Wekha Nathaniel
NPM: 223507516044
Dosen: Fadlan Muzakki, S.IP., M.Phil.,LL.M
Negara-negara di dunia telah lama mensetujui adanya perlindungan terhadap warga sipil di zona-zona konflik yang sedang terjadi. Pelanggaran humaniter yang terjadi akibat konflik bersenjata menimbulkan dampak-dampak yang serius terhadap kehidupan warga sipil yang tidak bersalah dimana hal tersebut memberikan penderitaan yang besar terhadap manusia. Awal mula masalah antara Rusia dan Ukraina dapat dilihat sejak Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1991. Sebagai negara satelit Rusia, Ukraina mendapat banyak pengaruh dari oligarki, politisi, dan plutokrat dari Rusia. Pemerintah Ukraina yang korup dan tidak efisien memimpin rakyat Ukraina untuk melakukan revolusi yang disebut Revolusi Oranye yang diadakan di Kiev. Revolusi Oranye berlangsung dari 2004 hingga 2005 dan bertujuan untuk menyangkal segala bentuk pengaruh politik Rusia di Ukraina. Ketegangan antara Rusia dan Ukraina telah meningkat karena perbedaan etnis, agama, dan bahasa dalam masyarakat Ukraina. Pengakuan rakyat provinsi Donetsk, Luhansk, dan Krimea sebagai bagian dari negara Rusia menjadi awal konflik di antara rakyat Ukraina. Hal ini direspon cepat oleh pemerintah Ukraina dengan melakukan upaya ke Ukraina. Ini termasuk memaksa penggunaan bahasa Ukraina di wilayah Luhansk, Donetsk, dan Krimea yang bertujuan mencegah hegemoni Rusia melalui saluran budaya. Upaya ini didukung oleh penciptaan undang-undang baru yang mengharuskan penggunaan bahasa Ukraina dalam kehidupan publik rakyat Ukraina. Adanya undang-undang diskriminatif telah menyebabkan peningkatan separatisme di Ukraina Timur. Mereka menganggap bahwa Ukraina Timur adalah korban diskriminasi dari upaya Ukrainaisasi. Hal inilah salah satu motivasi Presiden Vladimir Putin menginvasi Ukraina, yaitu untuk melindungi etnis Rusia di Ukraina. Pembukaan konflik Rusia-Ukraina ditandai dengan aneksasi Semenanjung Krimea oleh Rusia pada 2014 diikuti oleh keterlibatan Rusia dalam gerakan separatis di Luhansk dan Donetsk. Tanggapan Ukraina terhadap hal ini dengan meminta untuk menjadi bagian dari NATO telah menciptakan sumber masalah baru yang memperpanjang konflik Rusia-Ukraina. Berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik telah dilakukan namun kesepakatan antara kedua negara masih belum tercapai. Hingga pada 2021, Ukraina di bawah kepemimpinan Zelensky meminta Amerika Serikat untuk bergabung dengan NATO. Hal ini menyebabkan invasi yang dilakukan Rusia pada 24 Februari 2022 hingga sekarang.
Terkait konflik antara Rusia dan Ukraina, Hukum Humaniter Internasional atau HHI berperan sebagai kerangkan kerja yang penting bagi perlindungan warga sipil di area sekitar konflik. Hukum Humaniter Internasional juga bisa disebut sebagai sebuah hukum konflik bersenjata atau hukum perang yang didalamnya terdiri dari beberapa aturan dan prinsip terkait upaya pembatasan dampak konflik bersenjata dengan fokus melindungi mereka yang tidak terlibat dalam konflik seperti warga sipil, tenaga medis, dan para pekerja sukarelawan kemanusiaan. Terciptanya hukum ini merupakan hasil dari beberapa sumber meliputi perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan hasil putusan pengadilan seperti Mahkamah Internasional. Hukum ini memberikan pedoman bagi negara-negara yang pelaku konflik bersenjata untuk memastikan adanya perlindungan kemanusiaan dan mencegah adanya penderitaan yang tidak perlu. Contohnya seperti Konvensi Jenewa pada tahun 1949 yang didalamnya terurai mengenai perlindungan warga sipil dan objek sipil dari dampak permusuhan atau konflik. Tujuan utama dari dibentuknya hukum ini adalah guna mengurangi dampak dari konflik bersenjata dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan serta membatasi penderitaan manusia yang tidak perlu. Bentuk penerapan dari hukum ini dalam konflik Rusia Ukraina telah menjadi topik argumen yang cukup besar. Dalam Protokol II Konvensi Jenewa, dijelaskan bahwa hukum ini berlaku untuk konflik bersenjata non internasional dimana warga sipil harus dilindungi dari serangan langsung, dan warga sipil bukanlah objek dari konflik. Warga sipil juga memiliki hak untuk menerima perawatan medis dan bantuan kemanusiaan. Namun, terdapat beberapa laporan terkait pelanggaran terhadap hukum ini. Laporan dari organisasi HAM menunjukan bahwa angkatan bersenjata dari kedua negara yaitu Rusia dan Ukraina bertanggungjawab atas pelanggaran hukum humaniter internasional dimana bentuk pelanggaran tersebut berupa kasus penembakan tanpa pandang bulu dan penargean wilayah sipil yang menimbulkan efek sifnifikan terhadap warga sipil. Selain itu, penargetan terhadap infrasturktur sipil juga menciptakan penderitaan bagi warga sipil di sekitar area konflik. Upaya memastikan kepatuhan hukum humaniter internasional dalam konflik Rusia-Ukraina menemui berbagai tantangan dan keterbatasan. Terlepas dari pembentukan kerangka hukum internasional seperti Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, penegakannya tetap merupakan tugas yang kompleks. Konflik telah menyaksikan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum humaniter internasional, khususnya mengenai perlindungan warga sipil di zona konflik.
Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan Rusia dan Ukraina terhadap HHI dalam melindungi warga sipil di zona konflik masih dinilai kurang. Meskipun terlibat dalam berbagai perjanjian dan konvensi internasional terkait perlindungan warga sipil, keduanya tetap melakukan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional yang menyebabkan korban jiwa dari warga sipil. Bentuk pelanggaran seperti penembakan tanpa pandang bulu, penargetan infrasturktur umum, dan hambatan terhadap bantuan kemanusiaan telah menciptakan penderitaan bagi warga sipil dimana hal tersebut harusnya tidak perlu dilakukan. Selain dampaknya yang besar bagi warga sipil, pelanggaran-pelanggaran tersebut juga menjadi penghambat terhadap proses penyelesaian konflik secara damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI