Mohon tunggu...
Weka Bhagawan
Weka Bhagawan Mohon Tunggu... profesional -

Seorang biasa yang berprofesi sebagai apoteker. Sedang mendalami kimia bahan alam di Magister Ilmu Farmasi UNAIR. Tertarik pada dunia kesehatan dan sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tren Selfie Ekstrem, Gangguan Kejiwaankah?

31 Januari 2015   22:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:02 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14226909071018383941

[caption id="attachment_394227" align="aligncenter" width="536" caption="Ilustrasi-Tren foto selfie secara ekstrem pada ketinggian yang marak dilakukan (jadiberita.com)"][/caption]

Xenia Ignatyeva gadis remaja yang baru saja menginjak usia 18 tahun adalah seorang fotografer amatir. Dia baru memiliki kamera yang telah terbeli saat berusia 17 tahun. Dengan kameranya dia ingin melakukan kegiatan nekat berselfie di ketinggian. Xenia memilih konstruksi jembatan Krasnogvardeysky. Naik ke atas konstruksi itu, Xenia berhasil mendapatkan foto-foto selfie spektakuler yang dia mau. Namun karena kehilangan keseimbangan anak remaja tersebut mencoba meraih kabel di sampingnya. Kabel yang diraih Xenia ternyata adalah kabel tegangan tinggi yang langsung menyengat tubuhnya hingga tewas. Penggalan cerita di atas merupakan cerita miris seperti yang dilansir majalah Mirror (26/8/2014). Apa yang dialami oleh Xenia ini memang begitu menyedihkan, karena demi sebuah foto, dia kehilangan nyawa.

Banyak kejadian serupa di berbagai belaha dunia, remaja asal Iran yang kecelakaan gegara selfie saat mengemudi kendaraan dengan kencang. Atau berfoto selfie dengan hewan buas, membakar diri sendiri, tebing jurang, tempat bencana alam, dan lokasi-lokasi yang dianggap ekstrem lainnya.

Pada prinsipnya kebutuhan primer seseorang adalah “diperhatikan”. Seseorang rela memposisikan diri seaktual mungkin sesuai dengan tren yang berlaku. Pelaku selfie tentu bersifat manusiawi jika dilihat dari kebutuhan seseorang akan “diperhatikan”. Tetapi apabila terjadi sebuah pergeseran orientasi dari yang awalnya foto selfie hanya dilakukan untuk fun kemudian bergeser ke hal-hal yang bersifat ekstrim atau membahayakan.. apakah itu berlebihan menurut kejiwaan?

Ganguan Jiwakah Dia?

Kemudian adakah batasan kewajaran atau sebaliknya terkait selfie ekstrem tersebut? Menurut Afif Kurniawan, pakar psikologi UNAIR, pelaku selfie dikatakan mengalami gangguan jiwa apabila dirinya telah mengalami 3D.

Yang dimaksud 3D dalam hal ini adalah:
1. Distrees
Dimana adanya tekanan tertentu yang mendorong seseorang kemudian melakukan aktivitas selfie secara berlebihan.
2. Discomfort
Mulai terbentuk ketidaknyamanan di dalam dirinya. Rasa itu juga kemudian berimbas kepada orang lain.
3. Disability
Perilaku selfie yang berlebihan kemudian berdampak buruk pada aktivitas hariannya. Contoh, kebanyakan selfie dan mengabaikan pekerjaannya, mengesampingkan tugas sekolah dan belajar. Lebih suka memposting foto ketimbang melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.

“Ketika 3D lebih mendominasi dan dilakukan berulang maka itu dianggap berlebihan dan perlu diwaspadai sebagai gejala gangguan jiwa”. Agar bisa lepas dari kebiasaan ini, pelaku selfie yang kadung kebablasan membutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga, sahabat, maupun orang terdekat. Caranya? “Jika salah satu anggota keluarga atau teman adalah pelaku selfie yang mengkhawatirkan, maka ciptakan statemen yang mampu mematahkan kebiasaannya. Sampaikan ketidaknyamanan kita atas kebiasaannya meng up-load foto berlebihan.

“Paling tidak ia akan berfikir bahwa sikapnya membuat orang lain disekelilingnya tidak nyaman. Jangan malah bilang wih keren ya, foto dimana itu? Pertanyaan ini semakin memperkuat keinginannya untuk melakukan selfie lebih dan lebih, jelasnya.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah kemauan mengontrol diri sendiri. Afif menekankan, kita harusnya benar-benar mampu memisahkan apa tujuan selfie. Apakah sekedar fun atau justru muncul rasa ingin diakui. Selama selfie sekedar untuk fun, itu tidak masalah, selama tidak berlebihan.Tapi kalau sudah merasa sangat membutuhkan pengakuan, berarti kita harus mengurangi kecenderungannya.

Dari tulisan di atas mungkin dapat disimpulkan bahwa selfie bukanlah hal yang musti ditakuti. Meminjam pepatah Jawa "Ngono yo ngono nanging ojo ngono" mungkin bisa mewakilinya. Segala sesuatu harus seimbang, suatu ketika selfie bisa menjadi aktivitas yang menyenangkan. Namun, jika dilakukan berlebihan akan berdampak tidak baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun