Mohon tunggu...
N Nie Wei
N Nie Wei Mohon Tunggu... -

menulis artikel pariwisata, budaya,ilmiah populer, di beberapa media , hobi fotografi, travelling dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

BELAJAR BERNYANYI DI GUNUNG IJEN

12 September 2012   16:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jangan belajar sambil bernyanyi jika tidak ingin konsentrasi kacau. Jangan juga bernyanyi tanpa belajar memahami arti dan hafal kata-katanya dengan benar, karena kamu hanya akan bersuara tanpa makna dan keindahan. Belajarlah bernyanyi dengan hati, meski dilakukan demi lobi dan pergaulan. Lebih baik lagi, bisa belajar, bernyanyi dan rekreasi.

Manusia yang merasa modern selalu terobsesi dengan banyak hal. Mereka juga mulai membuat jalan pintas sendiri dan melupakan 'petualangan' terbesar dalam hidup yaitu menikmati alam. Mereka hanya membuat hal-hal instan yang terkadang malah membuat kehidupannya hanya baik secara temporer. Misalnya, hari gini, tidak punya 'lifestyle'  yang jadi acuan 'martabat' seseorang, Apa Kata Dunia? Kecenderungan itu misalnya hidup sehat, penampilan bugar dan rapi (biayanya kadang tidak murah!), segudang teman untuk sosialisasi, kemampuan menjalin relasi berupa 'pengetahuan' dan 'bakat' yang sesuai dengan kebutuhan pertemanan dan diterjemahkan sebagai: bisa nyambung dalam berbagai pembicaraan dari berbagai manusia, yang beraneka latar belakang pendidikan maupun pekerjaan. Masih ada lagi. Bisa bernyanyi. Tentu saja dengan pilihan lagu yang tidak selalu jadul dan suara yang (juga) jangan terlalu fals lah.  Minimal seperti Dul Sumbang,  atau Desi Ratnasari. Jangan bermimpi bisa seperti Putri Ayu yang di ajak David Foster dalam pagelaran akbar konser HIT MAN-nya.

Sehat bisa dimulai dari psikologis, kemudian fisik. Atau sebaliknya. Semboyan : Dalam Badan yang Sehat terdapat Jiwa yang Sehat pula, mungkin kita semua menyadari bahwa para psikolog mulai mengoreksi pernyataan tersebut. Karena banyak orang yang (tampak) sehat badannya, tapi jiwanya sedang "sakit" karena beberapa sebab. Bisa karena tergucang oleh suatu peristiwa yang membuatnya traumatis, seperti kehilangan orang yang dikasihinya (ditinggal pacar, anggota keluarga, atau teman), mengalami kejadian yang menyakitkan atau mengecewakan (oleh pasangan maupun orang lain) juga karena gagal mencapai sesuatu. Misalnya gagal menjadi PNS, gagal masuk perguruan tinggi favorit yang diincar dan sebagainya. Hebatnya, sakit jiwa (baca: bukan gila!)  seperti ini ternyata menular.  Tidak percaya?

Kita mulai dari awal terjadinya gejala: kecewa. Perasaan ini, jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan benar, bisa menjadi 'penyakit' mutung alias malas melakukan apapun. Rasa malas mengerjakan segala aktivitas bisa berdampak pada penampilan lusuh dan awut-awutan (karena malas mandi). Penampilan yang ngacak membuatnya menjauhi (dan pasti dihindari) orang lain dalam pergaulan. Karena jauh dari pergaulan, orang justru merasa tidak diperhatikan dan sendiri. Dan kita tahu, kesendirian tanpa aktivitas yang melibatkan hati dan nalar positif, berdampak pada rasa tidak percaya diri yang parah atau frustrasi, stress berat, dan menimbulkan perilaku aneh bahkan tampak 'gejala' gila skala ringan. Bahkan putus asa yang membuat manusia nekat melakukan perilaku destruktif lainnya seperti merusak dirinya sendiri (percobaan bunuh diri, yang sebenarnya cara orang yang merasa sendiri mencari perhatian. Mangkanya ada bunuh diri yang sengaja dilakukan di tempat keramaian oleh pelaku), membuang barang yang tak membuatnya berharga (sebetulnya bagi orang lain berguna) atau bahkan merusak masa depannya dan orang lain.

Tetangga saya satu perumahan, adalah contoh yang spesifik. Bermula dari si sulung yang sangat membenci ibunya sejak kematian ayahnya. Dia merasa ayahnya adalah figur yang demokratis, ceria, tidak banyak menuntut untuk menjadi seseorang yang ditargetkan kemampuannya. Sebaliknya sang ibu didefinisikan sebagai sosok yang disiplin, ingin semua anaknya berprestasi dan 'jadi orang' dan selalu 'membantu' dengan sekuat tenaga baik moril, materiil maupun sarana penunjangnya, misalnya kolega yang bisa memasukkan anaknya di suatu perguruan tinggi atau kantor. Apa yang terjadi? Si sulung menolak apapun kebaikan yang diperolehnya dari sang ibu. Apapun. Dia tidak ingin jadi siapa-siapa. Dia ingin jadi diri sendiri, tanpa usaha 'keras' akan menjadi apa dan untuk apa. Jadilah dia seorang pemurung yang kemudian (selalu) takut melihat orang lain yang 'sehat' jasmani dan rohani. Gilanya, dia lari. Bukan sekedar menghindar diam-diam untuk menjauhi orang yang ditakutinya. Selanjutnya dia kehilangan kesempatan bergaul dengan wanita (kebetulan si sulung laki-laki) dan tidak menikah. Karena tidak menikah dan tidak punya pekerjaan yang benar, dia jadi tampak sangat tua dibanding usia yang sesungguhnya. Parahnya, sikap dan perilakunya ditiru adik-adiknya yang kesemuanya berjumlah 4 orang. Ketika ibunya meninggal, mereka betul-betul menjadi suatu keluarga yang sudah seperti 'keluarga lajang' seumur hidupnya.

Pengalaman diatas membuat kami sekeluarga, terutama saya, sangat takut memelihara kesedihan dan kekecewaan berlama-lama, apalagi hingga bertahun-tahun dan menimbulkan dampak yang tak remeh pada kehidupan dan masa depan. Padahal, dari segi finansial maupun kemampuan mengelola keluarga, mereka (orang tuanya) tampak lebih 'sempurna' dibanding orang tua saya sendiri. Kami, karena keterbatasan ekonomi,  lebih banyak mencari 'jatidiri' dengan bergaul dengan teman dimana saja (yang positif, tentu) dan mencari biaya sekolah dengan beasiswa dan bekerja memberi les anak-anak SMP di sekitar kampus saya.

Karena bergaul dengan siapa saja, dengan berbagai karakter, latar belakang keluarga dan strata sosial (bahkan anak seorang bupati atau anak seorang pengusaha berhasil), mengalirkan kehidupan saya pada kebiasaan untuk selalu 'easy going' dengan cara hidup dan masalah berat. Tak ada masalah yang tak bisa diatasi. Tak ada kehidupan yang terlalu memberatkan. Tuhan sudah memberikan 'ujian' dalam bentuk masalah yang sudah terukur porsinya dan pasti  sesuai dengan kemampuan kita. Bukankah Dia Maha Tahu apa saja yang kita bisa dan tidak bisa? Jalani, kerjakan dan berusahalah. Sekuat kemampuan. Jangan berhenti dan mengeluh sebelum berhasil. Dengan cara yang halal dan baik,  tentu!

Mengatasi badmood alias suasana hati tak nyaman menjurus kacau, sebenarnya ada banyak cara yang tidak selalu menguras anggaran. Pengalaman saya waktu kuliah dulu mungkin bisa jadi cara gampang untuk mengusir kekecewaan dan kesedihan. Dulu, setiap dapat nilai D (bahkan E), saya selalu syok karena merasa bisa (GeeR nih) mengerjakan soal. Tapi 'mendebat' dosen soal nilai, wah saya malah pernah kena 'kutuk'  tesis saya diterbengkalaikan beliau yang maha terhormat sampai saya putus asa dan tidak yakin bisa keluar kampus lewat acara wisuda yang membanggakan orang tua dan mahasiswa itu. Jadi, untuk mata kuliah selanjutnya ketika saya tidak mendapat nilai memuaskan, teman-teman  mengajak saya ke gunung. Ya, mendaki gunung beramai-ramai. Awalnya saya tidak suka.  Memikirkan kekecewaan enaknya sih di kamar sambil mendengarkan lagu sentimentil. Tapi kawan-kawan saya bisa meyakinkan, bahwa pergi beramai-ramai melakukan pendakian adalah cara efektif megusir badmood alias kesedihan.

My God, melakukan pendakian ke gunung (waktu itu Gunung Ijen di Banyuwangi, 3 dekade yang lalu) ternyata pengalaman pertama yang mendebarkan. Betapa tidak. Boro-boro naik bus pariwisata ber -ac seperti yang dilakukan anak sekolah zaman sekarang sambil berpakaian bagus dan uang saku tebal. Kami (30 orang) dinaikkan truk (padahal koordinator sekaligus ketua penyelenggaranya adalah anak seorang profesor terhormat dan yang ikut  salah satunya anak seorang bupati). Kami memang memposisikan diri sebagai pelajar dengan uang terbatas (yang kaya terpaksa bertoleransi lewat cara dan gaya hidup sama dengan yang ekonomi pas-pasan dan sering telat kirimannya). Baiknya adalah, kami jadi begitu rukun karena tidak saling iri dan merendahkan. Apalagi, sopir truk yang dipilih juga bukan yang ugal-ugalan.

Gilanya, memasuki area hutan di banyuwangi dengan jalan kaki (karena sudah tidak bisa dilewati kendaraan) pada malam hari benar-benar menakutkan. Kenapa malam hari? karena ketika tiba di puncak gunung diharapkan saat subuh, kemudian menyaksikan matahari terbit yang spektakuler (seperti yang dikejar oleh para Sunrise Mania di gunung Bromo. Bedanya, ke Bromo bisa lebih cepat dengan membawa kendaraan ke lokasi berupa jip, sedangkan dulu ke Ijen belum ada hotel atau akomodasi dan transportasi terdekat yang bisa mempercepat perjalanan. Semuanya dilakukan dengan jalan kaki dan tidur di pondok terdekat). Suasana gelap dan sepi. Saya (dalam hati tentu saja) sudah menangis diam-diam (malu ketahuan teman yang sedang tertawa dan bercanda, dong). Tapi, astaga, perlahan-lahan dari pucuk pohon jati muncul bulan merah besar. Purnama. Belum sempat hilang ketakjuban saya melihat bulan purnama di pegunungan yang, sumpah indah sekali, saya mendengar teman-teman bernyanyi. Lagunya, TERANG BULAN DI GUNUNG. Banyak yang tidak tahu ya? pasti. Itu lagu orang tua saya di tahun 70-an yang dibawakan penyanyi top waktu itu: Titik Sandora (sepertinya tidak ada hubungan kerabat dengan Sandy Sandhoro lo!). Saya juga tidak ingat, apakah lagu itu dinyanyikan duet oleh Ibu Titik Sandora dengan suaminya Muchsin Alatas. Yang jelas, meski setiap hari di kos-kosan mendengarkan lagu dengan genre berbeda (Vina Panduwinata, Dian Pramana Putra dan Dedi Dukun, atau Fariz RM, maklum, era 80-an bro!), lagu itu terasa begitu menyentuh. Dan tanpa terasa saya bisa tersenyum.  Gilanya lagi, bisa berjalan lebih cepat meski sebelumnya sudah lelah dan ingin berhenti.

Bernyanyi, konon,  selain menormalkan detak jantung karena pernafasan yang lebih stabil, juga mendatangkan kesenangan dan semangat (lihat penyanyi dangdut, biar  lirik lagunya sedih tetap saja berjoget). Atau lihat para tentara yang berlatih dalam barisan dengan senapan dan sepatu berat, berlari kecil sambil bernyanyi penuh semangat dengan ritme teratur, tetapi tetap dalam barisan tanpa mengacau yang lain (kalau tidak kuat,  keluar dari barisan dan  berjalan lebih pelan sendiri) untuk tercerai berai. Karena suara juga menimbulkan vitaltas dan energi, sedangkan nada membuat kita merasa santai. Apalagi jika yang dinyanyikan sesuai dengan suasana (hati maupun lingkungan), pasti akan  menjadi energi yang positif baik bagi yang menyanyikan maupun yang mendengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun