Aku terlempar pada suatu negeri bernama Indonesia. Dari sebuah tempat bersalju bermenara Eiffel. Disini aku terpesona pada keindahan alamnya. Tapi juga terkaget-kaget dengan karakter dan kebiasaan masyarakatnya. Aku bahkan ingin lebih sering di sini, menikmati keragaman budayanya. Mencicipi buah rambutan dan durian yang melimpah. Merasakan mangga Arummanis yang semanis wajah para perempuannya. Kan kutuliskan disini kesanku tentang negeri ribuan pulau ini.
9 dari 10 Orang Indonesia
sangat ramah. Mereka selalu bisa tersenyum meski tak selalu menjadi teman, , tetangga, kolega bahkan       menyapa hanya pada kali pertama jumpa
9 dari 10 Orang Indonesia
wanitanya cantik dan berkulit eksotis. Rambut legamnya amat sensual. Lakunya sederhana namun membuat tindakan yang terkadang susah ditebak. Sikapnya malu-malu kucing. Ironisnya, mereka suka gampangan menganggap kawin dengan pria asing adalah kebanggaan. Mengkhayal di luar orbit, kalau mendapatkan pasangan orang asing adalah materi berlimpah, rumah mewah, dan tinggal di negara antah berantah. Mereka juga suka meniru-niru gaya Amerika. Mudah berganti pasangan. Sok berpakaian seksi. Tak malu menjajakan diri meski masih berstatus istri orang lain. Padahal, demi Tuhan, aku selalu bermimpi bertemu perempuan Indonesia asli. Yang masih lekat dengan sopan santun. Yang kecantikannya seindah alamnya: tak banyak polesan dan basa basi. Yang karakternya seelok anggrek hitam Papua : tak pasaran dan murah. Dimana budaya itu...
9 dari 10 Orang Indonesia
lelakinya gagah dan berwibawa.  Mudah berteman dan suka basa basi. Senang membuang waktu dengan nongkrong-nongkrong tanpa kejelasan manfaatnya. Malas menimba ilmu, dan hanya berharap dapat pekerjaan dari sesama teman. Banyak dari mereka berkarakter baik: lugu, jujur, suka membantu dan gentlement terhadap wanita. Mereka pontang panting menghidupi anak dan istri dengan keringat sendiri tanpa mengeluh. Tapi, audzubillah, yang berkepribadian sebaliknya lebih banyak lagi. Mereka tak malu hidup dari keringat perempuan. Mereka mencari target perempuan kaya. Bahkan dalam perkawinanpun mereka tak punya komitmen. Ketika melihat wanita lain yang lebih menjanjikan bagi kenyamanan hidupnya, tanpa rasa bersalah didepan istrinya menunjukkan keterpesonaan pada materi dan kemewahan. Mereka juga tanpa kikuk seumur hidup tak ingin membahagiakan perempuan pasangannya. Karena tujuan hidupnya adalah mencari keuntungan dan kebahagiaannya sendiri. Perkawinan jadi seperti bisnis. Bahkan, dari lagu Indonesia yang kudengar berjudul Bang Thoyib, ada suami yang behari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lari dari kewajibannya memberi makan dan biaya hidup keluarganya, karena si istri menyuruhnya jadi Lelaki Bertanggung Jawab yang bernama Suami. Entah sedang berada di rumah perempuan mana lelaki itu. Ada juga yang kemudian bisa mendapatkan uang banyak. Entah darimana dan pekerjaan apa yang dijalani. Seperti balas dendam dengan masa lalunya yang sengsara. Dia terus beredar di luar rumah tanpa pulang. Kalau terpaksa pulang ya menjelang pagi. Dari satu perempuan ke perempuan nakal lainnya. Menghambur-hamburkan uang (yang tak halal?) kemana-mana. Sementara anak istrinya kesulitan finansial untuk biaya hidup. Kalau toh memberi, dia yang akan mengendalikan apa saja yang diperlukan. Dia merasa sebagai kepala keluarga sang penguasa. Pencarian jatidirinya tak pernah berakhir...
9 dari 10 Orang Indonesia
taat beribadah. Banyak wanita berjilbab dan lelaki berkopiah bertebaran di banyak tempat. Mereka suka memperlihatkan betapa mereka ahli surga. Masjid-masjid waktu sholat jumat meluber jemaatnya. Tapi mereka tak pernah puas. Mereka akan membangun seribu masjid lagi. Sepanjang jalan, di berbagai tempat, mereka minta sumbangan. Bahkan di bis, di perumahan, di luar kota, mereka berkoordinasi dengan surat aspal yang dibuat sendiri. Bahkan ketika mesjidnya sudah selesai dibangun mereka tetap kecanduan minta sumbangan. Orang-orang itu juga suka berjanji atas nama Tuhannya, tapi begitu gampang mengingkarinya. Begitu gampang berdalih dan berbohong. Begitu tak peduli dengan kesulitan orang lain. Begitu bangga bisa menyelenggarakan pengajian dan selamatan, tapi bahkan rukun dengan keluarganya yang finansialnya terbatas pun ogah. Sebaliknya, yang miskin begitu bangganya jadi orang yang sudah ditakdirkan harus minta bantuan kemana-mana. Mereka sulit keluar dari lingkaran setan keengganan (atau kemalasan) mengubah nasib dengan bekerja keras. Karena sudah terlalu lama hidup santai...
9 dari 10 Orang Indonesia
bangga jadi PNS dan pejabat. Dengan menyogok dan harus menelan pil pahit ditipu oknum yang menjanjikan bisa gampang jadi CPNSpun akan dicoba. Meski kenaikan pengkatnya harus dengan ijazah palsu. Atau ikut pilkada dengan sejuta rekayasa. Tak ada yang malu menjadi orang bodoh. Segala cara diraih meski harus memeras orang lain. Bahkan jadi gila setelah pilkada usai karena biaya mengikuti acara itu dengan hutang dan ternyata kalah...Kalau jadi pemimpin saja targetnya bisa mengembalikan hutang, bagaimana mungkin diharapkan menjadi orang yang punya idealisme memajukan kampung halaman, kecamatan, propinsi, negara bahkan dunia??? Jabatan bukan tanggung jawab, tapi alat untuk korupsi dan memperkaya diri