Ingin Kaya? Siapa yang tidak mau. Hari gini, ketemu keluarga, teman maupun kolega tidak bermobil, berpakaian bagus, pekerjaan mapan, dandanan klimis, gengsi lah! Apa kata Dunia. Menjadi diri sendiri dan apa adanya? No way.. Itu dulu, waktu zaman kuda gigit besi! Lagipula, kenapa juga harus hidup sederhana kalau kita mampu mengangkat harkat dan martabat ke tingkat gengsi yang berlipat-lipat? Kesuksesan harus dikejar, bahkan bila harus menuntut ilmu dulu sampai ke negeri cina.
Bukan karena Jokowi - Ahok menang dalam pilgub DKI Jaya lalu kita bicara bisnis, apalagi membahas negeri Cina segala. Siapapun tahu Jokowi-Ahok merupakan pasangan yang spektakuler dalam penampilan keseharian mereka, yang peduli masyarakat banyak melalui kiprahnya sebagai pemimpin di daerah sebelumnya (Jokowi di Solo dan Ahok di Belitung) tetapi mereka juga diketahui sukses dengan bisnisnya, sehingga mereka dikenal sebagai orang yang tidak membisniskan jabatannya alias aji mumpung dengan kata lain korupsi.
Zaman kapitalis seperti sekarang, hidup penuh kekurangan menjadi momok dan aib. Betapa tidak. Baru bangun tidur, melek sebentar saja sudah harus merogoh uang. Belanja sehari-hari, memberi ongkos transpor anak untuk berangkat kesekolah, uang bensin untuk bekerja, beli pulsa HP, dan seterusnya. Belum yang mingguan. Apalagi kebutuhan bulanan: bayar listrik, PDAM, telpon rumah, kontrakan, tukang sampah dan sebagainya. Pusing! Sementara gaji tidak pernah nyambung dengan kebutuhan, Tapi apa mau dikata, hidup harus terus berjalan. The show must go on...
Beratnya hidup juga mewabah ke kehidupan ekonomi guru dan mereka yang terlibat dalam mekanisme penyelenggaraan pendidikan. Banyaknya lapangan pekerjaan yang mewajibkan standar pendidikan terakhir sebagai syarat untuk bisa masuk dan lolos dalam sistim manajemen (termasuk pilkada) membuat sekolah menjadi begitu eksklusif dimata masyarakat Indonesia. Apalagi sekolah-sekolah tertentu yang dianggap baik dan berkualitas. Bahkan orang berani nekat membuat ijazah palsu segala, apalagi untuk S2. Kita bisa bayangkan, betapa 'surat' berupa ijazah lebih sakti dibanding pengetahuan yang tertancap di otak maupun ketrampilan yang akan jadi bekal menjalani hidup pada seseorang.
Maka tak heran, setiap tahun ajaran baru berlomba-lombalah orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah tertentu, terutama yang ada embel-embel RSBI atau SBI atau favorit. Berpestalah sekolah, dengan segudang kegiatan dan pembentukan 'panitia' mulai urusan pendaftaran hingga pengurusan uang gedung, uang bangku, uang buku, uang seragam dan uang-uang siluman lainnya. Kita bisa hitung. Gedung dan bangku sekolah kan sudah ada, ternyata harus menyumbang juga murid yang lolos seleksi (orang tuanya pasti yang jadi korban, mana ada murid yang begitu kaya- jadi artis cilik mungkin- sampai bisa membayar sendiri uang sekolahnya?). Uang buku dan penyelenggaraan belajar kan sudah ada BOS, tetap juga ada pungutan untuk buku macam-macam termasuk LKS. Juga SPP yang diplesetkan dengan istilah lain-lain, di sekolah anak saya namanya INFAK. Yang menarik: SERAGAM SEKOLAH. Pertama, murid dipaksa membeli di sekolah padahal ketika di hitung-hitung nilainya bisa 50-100% (dua kali lipat) lebih tinggi dari harga pasaran. Kedua, murid tidak bisa memakai seragam 'yang ada' misalnya dari kakaknya, saudara atau teman sementara orang tua belum bisa membelikan, padahal pada saat masuk pendaftaran orang tua sudah dijejali berbagai pungutan seperti diatas. Ketiga, pembayaran tidak bisa ditunda dan dimusyawarahkan. Semuanya Harus atau OUT dari sekolah tersebut dan mencari tempat lain. Dengan banyaknya sekolah yang abal-abal tapi memungut uang untuk siswa lebih tinggi, wajarlah bila orang tua nekat UTANG agar anaknya bisa bersekolah di sekolah negeri maupun swasta berkualitas dengan harapan melambung agar mutu pelajaran yang didapatkan sang anak tidak mengecewakan. Sang anakpun seolah tutupmata terhadap beban orang tuanya karena dia merasa bisa 'diperjuangkan' mendapatkan yang terbaik tanpa harus menjadi 'anak baik dan berprestasi' lebih dulu.
Ketika orang tua begitu menaruh harapan besar pada sekolah, dan mereka bekerja keras mengejar pemenuhan kebutuhan ekonomi termasuk biaya sekolah sampai tidak bisa lagi punya waktu untuk mengontrol kegiatan anak, tanpa disadari SEKOLAH bisa begitu ELIT dan seperti 'sewenang-wenang' dalam tugasnya sebagai pengontrol perilaku dan memberi pengajaran ilmu pengetahuan. Para guru mendadak seperti dewa yang bisa memberi dan menentukan kehidupan murid. Pemberian kepercayaan orang tua termasuk sumbangan macam-macam pada sekolah hanya disikapi sebagai BISNIS, bukan ETIKA. Jika anak bodoh, bukannya diberi petunjuk untuk bisa belajar dengan baik, malah seperti sengaja dibuat 'bodoh' supaya bisa menekan lagi dengan macam-macam cara yang ganjil untuk dapat uang misalnya denda karena terlambat mengumpulkan pekerjaan yang diberikan. Juga les yang dibuat hanya sebagai 'pengatrol nilai' agar tidak tinggal kelas. Tetapi anak tetap saja tidak bisa belajar dengan betul. Dan otak anak juga tetap kosong. Kegiatan ekstranya juga terkesan asal-asalan. Dan mereka yang dalam tahap pencarian jatidiri yang sangat memerlukan bimbingan orang tua tak mendapatkannya di rumah karena orangtuanya 'kejar setoran' demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Sementara sekolah yang diberi 'mandat' para orang tua lebih sibuk mencari-cari peluang agar dapat uang lebih banyak dari penyelenggaraan belajar mengajar tanpa memikirkan sedikitpun idealisme sebagai pendidik. Bahkan program sertfikasi pun tak banyak mengangkat mutu guru dan sekolah karena banyak guru hanya mengejar SERTIFIKATnya dan gaji ke-2 tanpa peduli sudah bermutukah cara dia mengajar dan memberi pelajaran yang membuat anak didik pintar?. Anak di SMP saja kita banyak melihat yang tidak benar perilakunya. Ada yang bolos sekolah hanya untuk main game di mall (perginya pun dengan memanjat tembok sekolah, karena pihak sekolah tampak bertanggung jawab dengan menggembok pintu pagar). Yang perempuan sibuk pamer hp baru atau mencoba bermake-up. Jika ada yang tampak tidak 'ikut tren' karena orangtuanya tidak mampu, dia diledek, dijauhi, difitnah bahkan dikasari dengan keroyokan ala gengster. Yang punya wajah cantik mencoba pacaran kelewat batas umur. Banyak yang mencoba peruntungan lewat FB dan kabur berhari-hari dari rumah orangtua hanya karena diajak lelaki teman FB-nya yang kenal hanya didunia maya. Yang mengenaskan, teman-teman lelakinya sudah ada yang menawarkan dia jadi penjaja kesenangan lelaki dewasa hidung belang yang punya kelainan terobsesi gadis dibawah umur dan berani membayar mahal (untuk ukuran anak-anak). Yang lelaki lainnya? Tawuran atau ikut geng motor.
Tekanan di sekolah, baik oleh sistem pendidikan maupun gaya hidup yang jauh dari Ing ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani (Di depan memberi teladan, Di tengah memberi semangat/menumbuhkan kemauan belajar dan Di belakang melindungi/mengawasi/mengarahkan yang baik) membuat murid tidak tahu apa MAKSUD dan TUJUAN sekolah, kecuali HARUS SEKOLAH karena malu pada teman lain yang juga wajib sekolah. Banyak kita dengar guru lelaki melakukan pelecehan pada murid perempuan, sementara guru perempuan jor-joran berpenampilan hebat padahal diluar merangkap sebagai pemuas libido suami orang lain yang tak setia. Semuanya sulit dimengerti, bagaimana kegiatan PENDIDIKAN hanya sebagai cara mencari PEKERJAAN dan mendapatkan uang, bukan mencerminkan perilaku terdidik dan bermoral untuk mencetak generasi yang berkualitas.
Ketika guru gagal sebagai GURU yang hakikatnya memberi pencerahan, kepandaian, kecerdasan dan kebijaksanaan (definisinya pandai adalah dia jago menghafal ilmu yang diberikan sedangkan cerdas lebih banyak menggunakan logika dalam belajar dan cikal bakal perilaku baik dalam menyelesaikan masalah kehidupan kelak di kemudian hari) maka yang terjadi adalah murid-murid yang dihasilkan berupa 'robot hidup' yang mudah diprovokasi dan digiring untuk banyak hal negatif lainnya. Murid SMP dan SMA adalah orang-orang yang baru tumbuh ke arah dewasa dan belajar mencari identitas diri. Kalau orang tua 'harus' mengejar pemenuhan beban ekonomi keluarga sehingga tidak punya waktu lagi untuk mengawasi anak sedang sekolah tak bertanggung jawab memberi bekal budi pekerti dan cara belajar yang membuat siswa 'tertantang' untuk belajar dan berprestasi, kemana larinya mereka?
Saya sangat ngeri bila melihat sistim pendidikan dan ulah anak sekolah, lebih-lebih sekarang ini, yang tak mencerminkan mereka ANAK SEKOLAHAN. Jika dulu kita sering meledek orang yang tak punya tatakrama atau tak tahu malu, maka kita spontan mengatakan: Dasar orang tak pernah makan bangku sekolah! Saya juga melihat guru dan para pendidik lain yang lebih menitik beratkan UANG dibandingkan apa yang mereka berikan sebagai pendidik yang beretika. Bagaimana kalau saat ini orang-orang yang 'terpandang' sebagai orang yang karatan duduk di bangku sekolah dan mereka-mereka yang mengurusi bangku sekolah justru 'terlibat' menghasilkan murid-murid yang hanya tawuran, tawuran, dan tawuran?? Baik di sekolah (bahkan keroyokan terjadi pada banyak murid wanita seperti video yang beredar selama ini, pertanyaan besarnya: kemana guru-guru mereka kok tidak mendengar apapun? padahal murid-murid itu masih berada dalam pengawasan guru mereka!) maupun di depan sekolah mereka.
Jika mereka, murid-murid sekolah yang sedang membentuk jati diri itu, otaknya terisi logika dan pengetahuan karena diarahkan guru-gurunya untuk 'sibuk' dalam kegiatan positif, apa mereka sempat dan punya waktu untuk bertindak vandalisme, brutal bahkan membunuh musuh yang sejatinya adalah teman mereka sendiri sesama pelajar?
Tidak usah membahas bagaimana anak sekolah terlibat narkoba dan bahkan jadi bandar pada teman-teman mereka sendiri. Hanya soal jam belajar dan setelah belajar dari sekolah. Kenapa para pelajar justru ekspresinya lebih tampak 'bukan pelajar' alias tidak cerdas dan beringas melebihi mereka yang tidak bersekolah? Apakah sekolah sekarang hanya simbul status bagi guru dan murid, bukan cermin manusia-manusia terpelajar seperti di jaman revolusi dulu yang justru pendidikan diberikan oleh para kolonial yang notabene disebut penjajah namun terlihat sekali 'beda kecerdasan' antara orang sekolah dan bukan?
Seharusnya sekolah di zaman kemerdekaan ini, yang 'merebutnya' dari penjajah dulu dirintis dan dideklarasikan oleh orang-orang berpendidikan dan cerdas walaupun ilmunya mayoritas ala Belanda, bisa sangat lebih baik menghasilkan manusia bermartabat dan berjatidiri karena kemerdekaan memberi ruang sebebas-bebasnya untuk menimba ilmu dari manapun dan kemanapun tanpa dikontrol 'mahluk asing' yang bernama penjajah. Herannya, kemerdekaan itu, terutama dalam hal pendidikan, justru menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia mundur dalam kualitas. Kalau toh ada pendidikan yang tampak berkualitas, biasanya bukan sekolah yang diselenggarakan hanya untuk mengejar uang dan berbisnis, tetapi juga menekankan produk akhir berupa lulusan yang bisa dipertanggungjawabkan mutu perilaku, pengetahuan dan akademisnya. Dan itu kebanyakan bukan sekolah NEGERI. Biaya sekolah memang sebanding dengan fasilitas yang disiapkan, karena memang JER BASUKI MAWA BEA. Tidak ada sesuatu yang baik itu tidak memerlukan biaya. Parahnya, slogan diatas malah diplesetkan dan banyak ditiru sekolah-sekolah yang tidak punya kepedulian terhadap lulusannya, kecuali hanya untuk MENGERUK UANG.
Miskin di zaman sekarang memang serba susah. Tapi kalau para pendidik sudah tak bisa mendidik dirinya sendiri untuk selalu ingat bahwa mereka punya beban moral dunia akhirat sebagai orang yang bertanggung jawab pada kegiatan belajar-mengajar termasuk pengajaran budi pekerti, norma, moral baik masyarakat maupun agama lalu apa fungsi sekolah? belajar ilmu apapun orang tua yang 'berpengetahuan' pun bisa mengajar anaknya (makanya ada home schooling) tanpa harus sekolah. Masalahnya, masyarakat yang terlanjur memakai standar ijazah adalah hal terpenting dibanding pengetahuan dan perilaku membuat sekolah jadi menara gading, meski lulusannya kadang tak layak sebagai 'orang sekolah' karena hanya sibuk dengan nilai yang kadang palsu (dari hasil nyontek, beli bocoran soal, beli nilai pada guru maupun dosen).
Pengalaman saya bekerja pada orang asing di Bali satu dekade lalu sangat mengesankan. Saya hanya mengatakan dimana saya sekolah dan apa yang bisa saya kerjakan. Dan mereka hanya membuktikan lewat kemampuan yang saya perlihatkan tanpa harus meninggalkan ijazah asli saya pada perusahaan seperti cerita teman-teman saya yang jadi salesmen di satu perusahaan yang dikelola pribumi. Memperlihatkan fotokopinyapun mereka segan melihat (kenapa harus tidak percaya? mereka malu menjadi orang yang selalu mencurigai. Berbanding terbalik dengan perilaku orang Indonesia: selalu mencurigakan dan sulit dpercayai karenanya sulit mendapatkan kepercayaan). Lucunya kalau saya belum bisa mengerjakan sesuatu, karena belum pernah mendapatkan baik disekolah maupun kursus, si bos 'menyekolahkan' saya lewat beberapa pelatihan atas biayanya.
Kesimpulannya, ilmu dan perilaku seharusnya lebih penting daripada status dan nilai yang cenderung lebih banyak di rekayasa. Jika ingin Indonesia lebih baik secara kulitas baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusianya, kualitas sekolah dan pendidik harus betul-betul baik. Tak ada keajaiban, menanam padi tumbuh pohon salak. Ketika guru dan sekolah hanya sibuk berbisnis...lihatlah apa yang terjadi! Muridpun berbisnis... dan tawuran. Kan itu yang 'diajarkan' ketika mereka tak merasa mendapatkan haknya untuk mendapatkan pengetahuan memadai dan pengayoman selama mereka berada di sekolah? Tawuran hanya salah satu ekspresi yang diambil dari sifat pendidik yang tak mau peduli dan 'mengeroyok' mereka dengan berbagai pungutan tanpa memikirkan apa yang terjadi pada orang lain. Saya mengalami juga pada kasus sekolah anak saya. Dia memang tidak tawuran, pamer hp atau lari dengan teman FB -nya. Tapi dia mengalami 'pelecehan' oleh guru-gurunya karena dianggap bodoh (baru pindah dari luar Jawa) dan jadi sasaran denda karena sering tidak mengerjakan tugas (dia mungkin dianggap kaya dan sengaja dibodohkan supaya bisa terus dipalak). Berkali-kali dia minta pindah sekolah, tapi saya menolaknya karena baru beberapa bulan pindah sekolah. Setelah betul-betul saya pantau dan telusuri bagaimana sistem di sekolahnya, saya akhirnya memang memindahkan dia ke sekolah lain. Sama-sama SMP negeri. Dan sekarang dia tidak di cap bodoh lagi. Bahkan dia mau belajar dan menikmati sekolahnya. Pulangpun dia masih ingin di sekolah, agar bisa berkumpul dengan teman-temannya dan main basket. Dia juga rajin ke perpustakaan, meminjam buku-buku bacaan yang menurut saya cukup baik. Asal tahu saja, sekolah anak saya sekarang masih berada di Kabupaten, sementara yang sebelumnya berada di kotamadya. Tapi arogansi sekolah anak saya dulu beserta pungutannya sempat membuat saya shock. Bagaimana mungkin, sekolah yang dianggap masyarakat bermutu, mengarah pada standar internasional, justru guru-gurunya hanya sibuk pamer status dan mengabaikan tugas utamanya sebagai pendidik, yang menghasilkan murid berkualitas dan berbudi pekerti. Mungkin karena uang adalah segala-galanya. Dan moral serta budi pekerti nomor sekian, meski mereka mengusung kegiatan sekolah memakai embel-embel dan atribut agama. Dunia memang lebih menggiurkan dibanding akhirat yang belum dijalani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H