Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Harapan yang Tumbang Diubahkan Tuhan

28 September 2022   09:50 Diperbarui: 28 September 2022   10:03 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARAPAN YANG TUMBANG DIUBAHKAN TUHAN

hidup itu dipenuhi banyak
harapan
dan cita-cita
bahkan sejak kita masih kecil
ada yang ingin jadi dokter
jadi polisi
jadi tentara
jadi pilot
jadi potikus
jadi hakim
dan sebagainya
dengan beragam alasan
yang meyekitarinya

aku sendiri bercita-cita menjadi seorang
sastrawan
seperti chairil anwar, je tatengkeng
sitor situmorang
achdiat karta mihardja
ajip rosidi
hamka
pramudya ananta tur
aku membaca karya mereka
ku kagum
kubangga
ku ingin seperti mereka
guruku di sekolah rakyat
memperkenal
kan aku
dengan puisi, novel
dan berbagai karya sastra
yang membuat aku berketatapan hati
untuk melanjutkan
ke fakultas sastra
sesudah aku tamat sma

ayahku seorang aktivis dan pelayan gereja
lebih suka aku menempuh pendidikan teologi
untuk kemudian menjadi pendeta
melayani umat
penuh waktu
sepanjang usia yang ditetapkan oleh Tuhan
maka.tanpa diskusi dan debat panjang
dalam rasa hormatku pada
ayah
dan menyadari mulianya menjadi pelayan umat
aku menyetujui
keinginan ayah
lalu aku memasuki sekolah tinggi teologia
di jalan pegangsaan timur duapuluh tujuh
saat itu
tahun 1968

secara manusiawi aku merasakan saat itu harapanku tumbang
aku takbisa menjadi sastrawan
demi menghormati ayahku yang sejak aku tamat smp
meminta aku memasuki sekolah teologi

hidup takselalu berhasil mewujudkan harapan-harapan kita
hidup terkadang
mengubah bahkan membunuh harapan dan cita-cita kita
kita bisa bercucur air mata
rasa getir dan kecewa
melumuri tubuh kita
kita terkapar
kita terpapar
kita terdampar
disebuah dimensi waktu dan sejarah
yang terasa asing bagi kita
dan kita menggelepar
nanar
pudar
tanpa sadar

hidup ini memang bukan milik kita seutuhnya
sepenuhnya
hidup kita bukan milik siapa-siapa
hidup kita milik Tuhan
ia punya rencana yang tepat adequat
tentang sejarah kita
kita mesti ikuti dan hidup dalam rencanaNya

aku sendiri
tahun 60 an itu merasa tumbang harapanku
karena gagal
mewujudkan cita-cita
namun Tuhan melalui orangtuaku dan banyak orang
menjadikan diriku benar-benar diriku yang diubahkan
dalam pelayananku sebagai pendeta
sejak tahun 1974
aku merasa dalam rasa syukur kepada Tuhan bahwa roh kesastraan itu
menjadi bagian integral dari
kependetaanku
aku akan tetap menjadi diriku
yang Tuhan ubahkan
hingga maut menjemput
hingga maut menjemput.

Jakarta, 28 September 2022, dalam semarak Hut ke-88 STFT Jakarta, pk 4.45
Weinata Sairin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun