Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mewaspadai Kematian

20 Mei 2022   06:00 Diperbarui: 20 Mei 2022   06:06 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MEWASPADAI KEMATIAN

Oleh Weinata Sairin

"Vive memor leti. Hiduplah dengan selalu waspada akan kematian."

Diksi yang maha penting dalam dunia manusia adalah "hidup" dan "mati". Kedua kata itu seakan dua tonggak yang menghunjam dalam di pelataran sejarah manusia, dan di antara kedua tonggak itulah manusia mengukir karya terbaiknya dengan optimal walau terengah-engah  dan penuh peluh. 

Durasi atau jarak perjalanan dari tonggak H ke tonggak M itu amat relatif dan tak ada rumus baku tentang itu yang mampu dibuat manusia. Durasi itu tidak terukur atau terstandar, tidak karena prestasi, amal, kebajikan, suku, agama, ras, antargolongan, afiliasi politik, strata sosial dan/atau apa pun, tingkat pendidikan, gelar PhD  atau Dr HC.Umat beragama memahami bahwa durasi kehidupan manusia itu menjadi ranah Sang Maha Pencipta, domainnya Tuhan Yang Maha Esa.

Hal itu menjadi hak prerogatif Kuasa Transendental.
Dengan memahami dan menyadari dengan baik bahwa durasi hidup manusia berada dalam ranah Sang Maha Pencipta dan tidak berada dalam kompetensi manusia, manusia seharusnya hidup dalam ketaatan yang penuh kepada Kuasa Transenden, Sang Maha Pencipta. 

Manusia harus makin memahami kediriannya, bahwa ia manusia fana dan terbatas, manusia yang digelimangi berbagai kelemahan, manusia yang amat rapuh,  dan fragile dalam hal-hal tertentu; manusia yang tak mampu mewujudkan karakter khalifah Allah dan imago Dei. 

Realitas manusia yang lemah, rapuh dan fragile, terlepas dari kemampuan intelektual serta harta kekayaan yang mereka miliki, membutuhkan adanya "nilai-nilai unggulan" dalam kedirian manusia. Dalam diri manusia harus ada nilai-nilai Kasih, Sukacita, Damai Sejahtera, Kebajikan, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, dan Penguasaan diri.

Dalam menapaki perjalanan dari tonggak H menuju tonggak M itu manusia menabur kebajikan, beramal saleh, melakukan diakonia, hal-hal yang positif demi kemaslahatan orang banyak. 

Nilai- nilai unggul sebagaimana disebutkan di atas harus benar-benar menjadi habitus umat sehingga melaluinya kedirian manusia mampu menjadi teladan dan bisa menjadi "investasi" untuk memasuki tonggak M. Persoalannya adalah manusia hidup dalam sebuah komunitas dan berinteraksi dengan banyak orang dengan  beragam karakter. 

Butir- butir nilai keunggulan itu (bahkan bisa lebih) memang tidak terlalu mudah untuk diimplementasikan, apalagi dalam sebuah masyarakat yang makin "sangar" dan kasar, yang melahirkan berbagai kekerasan, kriminalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun