HIDUP SEJATI ADALAH HIDUP YANG MAU MENDENGAR
Oleh Weinata Sairin
"Qui habet aures audiendi, audiat. Siapa yang memiliki telinga untuk mendengar, hendaknya dia juga mendengarkan"
Sungguh agung dan akbar Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Karya agung ciptaanNya tak mampu dirumuskan secara sempurna dengan kata-kata manusia yang amat terbatas. Karya ciptaanNya mengatasi segala karya yang pernah ada; karya akbarNya takpernah ada bandingnya.Â
Lihatlah manusia yang Ia ciptakan secara khusus dan istimewa, dan yang amat berbeda dengan proses penciptaan makhluk lainnya. Manusia memiliki fisik, pikiran, akal budi, perasaan dan berbagai kemampuan lainnya yang memungkinkan manusia mampu mengekspresikan kediriannya secara optimal sesuai dengan tugas panggilannya sebagai manusia di pentas sejarah.
Salah satu kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia adalah 'mendengar'; dalam kaitan itu manusia memiliki telinga. Telinga, kuping sebagai alat pendengaran memiliki makna yang amat penting dan fundamental.
Pemimpin mendengar suara rakyatnya, guru mendengar suara muridnya, suami-istri, anak dan orangtua mesti hidup dengan saling mendengar, saling apresiasi dan mengasihi. Keluarga Besar bangsa yang majemuk mesti saling mendengar.Â
Dari mendengar kita memberikan simpati dan empati. Sebagai umat beragama kita harus terbiasa mendengar suara dan lantunan dari Kitab Suci agama-agama, mendengar suara azan, mendengar kidung nyanyian Gereja, mendengar lantunan umat membaca Sura Al Fatihah, Sura Al Ikhlas dan bacaan keagamaan dari agama-agama yang ada. Mendengar para sahabat dari Kepepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa menyampaikan problematika yang mereka hadapi di lapangan.
Mendengar para penganut Bahai dan Sikh dari pengalaman empirik mereka Mendengar suara anak-anak, para akademisi, konstituen, para praktisi, politikus, kaum milenial, mereka yang berkebutuhan khusus. Ya mendengar banyak hal dari banyak orang yang bisa membarui mindset kita,paradigma berfikir kita. Prof Dr JL Ch Abineno teolog besar dari Kupang NTT, dalam kuliahnya di STT Jakarta tahun 70-an menyatakan agar para pendeta harus lebih banyak mendengar umatnya, jangan hanya berbicara saja, apalagi memotong orang yang sedang bicara hanya karena kita malas mendengar.
Mesti ada ruang dalam hati kita untuk mendengar dan menikmati khazanah spiritualitas bangsa kita tanpa harus menutup telinga dan atau menghakimi. Mari mendengar dengan baik, termasuk suara suara yang tak mampu terucapkan yang meluap dari relung hati paling dalam.
Di zaman kini kita juga harus lebih banyak mendengar : mendengar detak jantung, mendengar embusan napas yang megap-megap karena status asmatikus, mendengar rintih lirih dari ruang isoman, mendengar keluhan nir suara dari ruang IGD, ICCU, HCU, mendengar keluhan para nakes yang berjuang dalam menyelamatkan pasien terpapar Delta atau Omicron, mendengar mereka yang kehilangan pekerjaan, jerit tangis mereka yang kehilangan suami dan anaknya yang dibunuh Omicron walau telah lengkap di vaksin, mendengar ibu-ibu penjual gorengan yang kesulitan minyak goreng, mendengar keluhan pedagang tempe, mendengar para pekerja yang menderita permanen karena aturan yang timpang, mendengar nenek renta yang pingsan saat antri BLT, mendengar KPK mengejar DPO bertahun-tahun, mendengar kisah teroris yang merancang bom dari rumah petak, mendengar suara lirih di Wadas, Pasaman Barat, Papua, Sumba, NTT,,Kalimantan,Sulawesi Tengah, Bali, bahkan Jakarta mendengar kisah pilu mesjid yang dibongkar karena perbedaan aliran teologi yang mendengar suara apapun dimana-mana tanpa kita harus menutup telinga.