PARADOKS PARADOKS TEMPE
dulu bung karno orator ulung
dalam pidato-pidato
memompa nasionalisme
warga bangsa
selalu menyatakan
dengan lantang
kita bukan bangsa tempe
kita bukan bangsa tempe
kita ini bangsa besar!
di zaman tahun limapuluhan
mungkin tempe
adalah makanan rakyat jelata
makanan murahan
makanan pasaran
yang mencitrakan
bangsa ini
sebagai bangsa yang lemah, miskin
bukan bangsa yang kuat dan
powerful
pidato-pidato bung karno seperti itu memang telah mampu menggenjot
rasa nasionalisme yang kuat di zaman itu
di zaman digital sekarang ini
tempe malah
tetap populer sebagai makanan masyarakat
tempe
mendoan
 tempe orek
dan berbagai
makanan berbasis tempe
diakrabi orang banyak
harga tempe yang melangit
karena kedelai yang mahal
membuat para pedagang tempe
memutar otak
agar mereka tidak mengalami kebangkrutan
ada semacam paradoks
antara tempe tahun lima puluhan
dengan tempe
zaman digital
di zaman baheula tempe
seolah menjadi
personifikasi bangsa yang lemah
nir daya
kini tempe mampu menggoyang
ekonomi bangsa
seperti minyak goreng, cabe
atau tahu
kita hidup dalam zaman
paradoks
seperti john naisbitt yang menulis "global paradoks"
tahun 90 an
semakin kuat
peredaran burger
semakin top popularitas tempe
tempe atau burger bisa saja menampilkan paradoks
tapi keberagamaan kita
religiusitas kita
takboleh paradoks
keberagamaan kita harus utuhmenyatu
kita piawai dalam menghapal ayat-ayat kitab suci
kita juga harus hidup kudus suci :
tidak korupsi
tidak merampok uang rakyat
tidak melakukan pelecehan seksual
tidak buron menjadi dpo bertahun-tahun
kita beragama secara kafah dan konsisten
tidak paradoks
status beragama
tapi libido korupsi
makin menjadi-jadi!
Jakarta,18 Februari/pk.11.02
Weinata Sairin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H