Kemiskinan yang melanda hampir seluruh umat manusia seringkali dipandang sebagai efek samping pembangunan yang tidak merata. Padahal pembangunan itu sendiri memiliki arti positif yaitu perubahan situasi dan kondisi lama kepada situasi dan kondisi baru. Pembangunan selalu baik dan bermanfaat. Jika hal itu benar, mengapa kemiskinan justeru muncul sebagai sebuah kesenjangan di tengah-tengah pembangunan? Â
Kemiskinan tidak hanya merupakan sebuah fakta sosial tetapi sebuah masalah sosial yang melanda hampir semua negara, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia, khususnya propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Â
Di sisi lain teori fungsionalisme struktural melihat kemiskinan bernilai guna atau memiliki fungsi, misalnya dengan adanya kemiskinan  memacu daya kreatifitas masyarakat untuk menemukan peluang-peluang kerja baru, meningkatkan produksi barang dan jasa. Sebagai sebuah masalah sosial, kemiskinan seringkali diukur dari pendapatan perkapita atau Gros Domestic Product (GDP), padahal menurut Amartya Sen kemiskinan terjadi karena absennya demokrasi yang berdampak pada hilangnya keberfungsian seseorang dalam pembangunan untuk mencapai tujuan utama yaitu eudaimonia.
Konsep kemiskinan yang dimaksudkan ialah merujuk pada kriteria WHO, yaitu hidup di bawah garis kemiskinan dimana seseorang terlalu miskin untuk mendapatkan makanan cukup kalori. Konsep ini  kemudian dikonfrontasikan dengan gagasan Sen tentangÂ
kemsikinan yaitu hilangnya kebebasan untuk mengakses makanan. Kemiskinan merupakan akibat dari ketiadaan kapabilitas (Capability Deprivation).Â
Persoalan kemiskinan di NTT diperparah oleh minimnya akses kepada pendidikan dan orientasi pendidikan yang human capital. Pendidikan yang ada hanya bisa diakses oleh 0rang-orang yang memiliki kebebasan. Pendidikan menjadi utopia bagi mereka yang tidak memiliki kebebasan. Kesejahteraan dan kebahagiaan terjamin dalam dialektika pendidikan dan kebebasan. Pendidikan tanpa kebebasan absurd, kebebasan tanpa pendidikan tidak mungkin. Pendidikan seharusnya membebaskan masyarakat NTT dari lingkaran setan kemiskinan. Akan tetapi tujuan pendidikan itu sendiri masih dipersoalkan: apakah pendidikan di NTT itu bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas atau justeru mencetak manusia berkarakter kapital?. Jika pendidikan memiliki orientasi pada human capital, maka usaha untuk merepresi kemiskinan di NTT nihil, sebab human capital mengejar kekayaan bukan kesejahteraan. Jika orientasi pendidikan ialah human capability, maka usaha untuk mengentaskan kemiskinan mustahil.
Orang miskin dalam pandangan Sen ialah orang-orang yang tidak memiliki ruang kebebasan. Mereka tidak dapat mengakses pendidikan yang merupakan sumber utama kapabilitas. Mereka akan berpasrah pada keadaan yang membelenggu, kecuali ada orang lain yang membebaskannya. Pemerintah propinsi NTT seharusnya membuka ruang kebebasan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Pendidikan diberikan secara gratis dengan satu tujuan utama yaitu meningkatkan kapabilitas masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H