(Hannu Tihinen / sumber : www.mtv.fi)
Salam sepakbola, Sepakbola dengan segala ceritanya kerap menghadirkan berbagai kisah perjuangan nan heroik dilapangan dari para pelakunya, perjuangan untuk meraih gelar atau trophy, perjuangan para pemain untuk tetap mampu bertahan lama dalam persaingan dunia sepakbola utamanya Eropa yang begitu ketat hingga perjuangan mengalahkan rasa sakit yang mendera karena cidera panjang yang dialami sampai tiba tidak mampu bermain lagi. Tidak semua orang kenal dengan pemain ini, termasuk juga dengan ane, tetapi pengalaman dan perjuangannya yang ane baca membuat ane takjub dan salut dengan pemain berusia 37 tahun tersebut. Dialah Hannu Tihinen, pemain Finlandia kelahiran Keminmaa, Finlandia, 1 Juli 1976. Rekam jejak Hannu Tihinen-pun tidaklah begitu mencolok, sebagai pemain yang berposisi sebagai bek atawa pemain belakang dia bermain untuk beberapa klub medioker baik di Finlandia, Swiss, Inggris dan Belgia. Tercatat dua klub besar yang pernah merekrutnya adalah West Ham (Inggris) dan Anderlecht (Belgia). Catatan prestasi-nya pun lumayan karena pernah mengangkat trophy juara di Finlandia, Belgia dan Swiss serta torehan apiknya adalah saat mencetak gol ke gawang AC Milan di Liga Champion Eropa (total di Liga Champion, Hannu Tihinen telah mencetak dua gol untuk Anderlecht, Belgia). Sepakbola bagi pemain belakang memang sebuah kerja keras, takling keras kepada penyerang lawan, duel diudara saat memperebutkan bola dan adu sprint seakan menjadi menu harian para pemain belakang, termasuk Hannu Tihinen yang ternyata memiliki sejarah panjang cidera dikepala yang dialaminya sejak usia 14 tahun (mengalami gegar otak akibat terjatuh ke lantai), tapi itu justru menjadi awal perjuangannya dilapangan sepakbola dengan kondisi cidera yang berkepanjangan dikepalanya. “Saya pertama kali gegar otak diusia 14 tahun. Kepala saya membentur lantai saat bermain sepakbola dalam ruangan. Peristiwa itu ternyata awal dari serial panjang cidera kepala saya. Sakit luar biasa dikepala terus bertahan. Ini yang membuat saya kerap ditandu ke luar lapangan dalam keadaan pingsan. Sebagai bek dengan postur dan gaya permainan seperti saya, Anda tidak akan mudah menghindari cidera kepala. Memang cidera adalah bagian atau bingkisan disepakbola. Pernah dua kali hidung saya patah dan sebanyak itu pula tulang pipi ikut retak. Sikut pemain lawan memang sulit dihindari. Seharusnya siku pemain lawan tidak boleh mengarah kebagian kepala. Meski dalam pertandingan normal, cidera kepala itu sesuatu yang lumrah. Badan berbenturan dengan badan, kepala pun dilawan kepala, FIFA mulai tegas jika terjadi pelanggaran seperti itu. Saya masih ingat salah satu kejadian terparah pada 2007. Ketika itu saya memperkuat FC. Zurich lawan Young Boys di Bern. Saya berusaha menghalau bola memakai kepala. Tidak disangka pemain lawan menghajar bagian belakang kepala. Kejadian itu menyebabkan luka menganga. Darah saya berceceran dilapangan. Saat menuju rumah sakit saya merasakan jari-jari dokter dikepala. Dian mencoba memberikan pertolongan darurat. Setahun kemudian, saya kembali roboh tidak sadarkan diri. Tepatnya saat pertandingan melawan Sturm Graz di Piala UEFA. Saat itu saya berpikir, ini tidak bisa dilanjutkan. Saya punya keluarga! Tapi dokter menawari pelindung kepala supaya tetap bisa bermain. Pikiran pensiun dari lapangan langsung hilang, saya antusia! Pelindung kepala bisa memulihkan trauma cidera. Bertahun-tahun cidera kepala, saya baru pensiun pada 2010. Dalam pertandingan terakhir lawan Aarau saya menghabiskan 75 menit dalam situasi normal. Tidak ada sikutan atau adu fisik berbahaya. Tapi jujur saya mulai sering melihat cahaya terang dengan titik-titik gelap. Sulit membedakan rekan dan lawan. Momen itu membuat saya tambah yakin inilah saatnya pensiun. Ada pelindung kepala atau tidak, saya tidak mau ambil resiko. Sebagai pemain saya menganggap sudah dapat pengalaman luar biasa, bisa mengangkat trofi juara di Finlandia, Belgia dan Seiss. Saya juga pernah mencetak dua gol di Liga Champions. Salah satunya ke gawang AC Milan di Stadion San Siro. Walau sepakbola sering membuat cidera, saya tidak pernah menyesal. Sepakbola telah member saya segalanya,” itulah petikan wawancara Hannu Tihinen dengan Sarah Steiner dari FIFA (sumber : harian top skor). Sebuah perjalanan panjang seorang Hannu Tihinen, 20 tahun sejak dia mengalami gegar otak dan dia tetap melanjutkan karirnya sebagai pemain sepakbola professional. Dengan segala hambatan yang dihadapinya utamany cidera dibagian kepala akibat benturan dan terjangan pemain lawan, tidak membuatnya menyerah dan dia tetap berjuang hingga titik dimana dia sudah tidak mampu lagi untuk tetap berada dilapangan hijau. Keputusan mengundurkan diri dari lapangan hijau menjadi opsi paling akhir dan bijak yang harus diambil oleh pemain yang juga pernah memperkuat timnas Finlandia (1997-2010) dengan mencetak lima gol serta memberikan berbagai gelar domestik untuk beberapa klub yang diperkuatnya. Dan Hannue Tihinen tidak pernah menyesali keputusannya tersebut karena sepakbola memang telah memberika segalanya untuk dirinya. Sekedar flash back, berikut track record perjalanan karir professional Hannu Tihinen : KePS (1993-1996)/ Juara Liga Finlandia (1997) dan Piala Finlandia (1998), HJK Helsinki (1997-2000), Viking (2000-2002)/ Juara Piala Norwegia (2001) , West Ham United (loan /2001), Anderlecht (2002-2006) / juara liga Belgia (2004 dan 2006) dan Piala Super Belgia (2004), FC. Zurich (2006-2010) /juara liga super Swiss (2007 dan 2009). Semoga kisah ini bermanfaat untuk rekan Kompasiana, sekaligus menambah wawasan kita bahwa sepakbola dengan segala cerita didalamnya tetap membuka ruang potensi munculnya cidera berkepanjangan yang bisa menghentikan karir seseorang, dan itu sudah banyak cerita yang tersaji dilapangan bola. Salam sepakbola, Wefi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H