Â
Rabu sore (11/Sep), kembali Republik Indonesia ditinggal seorang sosok yang berpengaruh dalam perjalanan negeri ini. Dialah Prof Dr Ing BJ Habibie, mantan presiden ke-3 Republik Indonesia yang juga merupakan sosok jenius dengan karya-karya didunia kedirgantaraan. Kepergiannya tentu meninggalkan rasa duka bukan saja untuk keluarga besarnya tetapi juga masyarakat Indonesia yang mengetahui sepak terjang dan karya beliau.
Mengenangan perjalanan Prof Dr BJ Habibie, penulis mencoba mereview kembali sebuah tulisan lama di Kompasiana yang tayang empat tahun silam. Sebuah tulisan tentang jeritan hati seorang BJ Habibie akan masa depan kedirgantaraan Indonesia dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi kami yang bekerja diperusahaan manufacture yang dituntut dengan schedule yang ketat.
Sebuah kisah tentang perjuangan seorang anak negeri yang ingin berjuang untuk bangsanya dengan mendarma baktikan semua yang dia miliki untuk kejayaan negeri yang begitu dia cintai. Serta kisah perjuangan seorang suami yang begitu mencintai istrinya dan begitu setia menemani hari-hari yang dilaluinya hingga ajal menjemputnya.
Berikut beberapa catatan penting dari catatan  lengkap yang dibuat oleh Capt. Novianto Herupratomo
Tentang penutupan IPTN
Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya.
"Dik tahu................di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan Indonesia............." "Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan Eropa................" "Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua.....................?"
"Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun".
Kunci Sebuah Industri
Kalau saja N2130 diteruskan, kita semua tak perlu tergantung dari Boeing dan Airbus untuk membangun jembatan udara di Indonesia".