“Pagi ini (jum’at) kami baru menerima surat dari pemerintah Indonesia kepada FIFA yang menyampaikan mereka sudah mencabut pembekuan terhadap federasi Indonesia (PSSI). Itu berarti INDONESIA tak lagi terkena sanksi dan bisa kembali mengikuti semua kegiatan FIFA,”
Itulah ungkapan Presiden FIFA, Gianni Infantion soal sanksi FIFA kepada Indonesia yang akhirnya dicabut saat kongres tahunan FIFA (12-13 Mei) di Meksiko. Keputusan yang langsung disambut hangat hadirin yang mengikuti kongres (termasuk perwakilan PSSI di kongres tentunya) serta pecinta sepakbola nasional yang memang sebagian sudah lelah dengan konflik yang terjadi selama setahun paska pembekuan PSSI oleh Menpora RI yang berujung pada sanksi FIFA tersebut.
Akhirnya Indonesia kembali ke rumah FIFA, kembali ke panggung sepakbola internasional dan bisa mulai kembali merasakan atmosfir persaingan ditingkat internasional baik level klub maupun Timnas semua level. Sesuatu yang hilang dalam setahun terakhir termasuk kesempatan tampil dikualifikasi Piala Asia 2019 dan Piala Dunia 2018 Rusia zona Asia serta kesempatan yang sirna klub Indonesia tampil di Piala AFC musim ini.
Pastinya intervensi pemerintah dengan alasan apapun juga kepada PSSI tetap harus mengacu ke aturan dasar yang dimiliki oleh FIFA sebagai regulator sepakbola dunia dengan anggota mencapai 209 negara (melebihi anggota PBB tentunya).
“Intervensi adalah menjadi salah satu faktor yang membuat FIFA menjatuhkan sanksi kepada sebuah negara. Sehingga penting bagi pemerintah disetiap negara anggota FIFA untuk tidak campur tangan atau melakukan intervensi terhadap federasi sepakbola,” tegas Infantino yang pertama kali memimpin kongres tahunan FIFA paska terpilih menjadi Presiden FIFA yang baru.
Situasi inilah yang membuat Kuwait dan Benin harus kembali merasakan pahitnya sanksi FIFA. Pemerintah Kuwait melalu sang Menpora malah sudah mengobarkan perang dengan FIFA dengan jalur hukum yang ditempuh, sebuah situasi yang akhirnya membuat beberapa klub Kuwait melakukan lobi tingkat tinggi dikongres tahunan FIFA di Meksiko. Namun apa daya sepertinya keputusan FIFA tidak berubah selama pemerintah Kuwait belum mencabut UU olahraga yang telah mereka buat maka sanksi FIFA akan terus dilanjutkan.
“Karena sanksi ini membuat para pemain dan pelatih pergi, olahraga kami sedang sekarat. Federasi sepakbola Kuwait tetap diam dan tidak mendukung kami. Kami berharap FA Kuwait dapat bertindak positif untuk membela sepakbola dinegara kaki dan membantu klub agar sanksi yang tidak adil ini dapat segera berakhir,” ungkap perwakilan klub Kuwait, Saad al Houti.
“Kami menyerukan kepada dunia sepakbola untuk satu suara dan mengakhiri ketidak adilan yang dialami Kuwait. Sekarang adalah saatnya membawa semangat fair play ke FIFA dan mencabut sanksi yang dialami Kuwait. Biarkan pemain kami bermain !” lanjutnya.
Hal yang sama dialami Benin, negara di Afrika Barat yang harus menerima sanksi tak berbatas usai intervensi pemerintah kepada federasi sepakbola Benin (FBF) dan melanggar statuta FIFA art 38 utamanya saat intervensi pengadilan untuk proses pemilihan ketua umum yang baru dari FBF.
“Sesuai dengan statuta FIFA art 38, Asosiasi Sepakbola Benin (FBF) disanksi atas perintah pengadilan lokal yang baru-baru ini dikeluarkan sehingga menghambat proses pemilihan di FBF,” rilis FIFA.
Lalu bagaimana Indonesia utamanya PSSI kedepannya ? Tentu menjadi tantangan bagi stake holder sepakbola Indonesia untuk menjadikan pencabutan sanksi FIFA sebagai berkah untuk menjadikan sepakbola Indonesia lebih baik bukan malah menjadi musibah dengan kembali munculnya konflik antara PSSI dengan Pemerintah jilid ke-2 (karena bukan rahasia umum dimata penulis bahwa KLB PSSI menjadi ‘bom waktu’ yang bisa meledak dalam dua bulan kedepan).