[caption id="attachment_179663" align="alignleft" width="448" caption="Doc. Pribadi"][/caption]
Hari ini saya ke sekolah abanguntuk mengambil raportUTSnya. Saat-saat seperti ini membuat saya bersemangat. Tidak ada yang istimewa sebetulnya. Hanya berbincang dengan wali kelas dan sesama orang tua murid. Memantau hasil belajar anak tercinta sambil tak lupa mengikuti perkembangan situasi sekolah. Mendengar cerita tentang tingkah polah teman-teman abang di sekolah. Semua itu memperkaya pengetahuan saya yang masih tertatih-tatih belajar menjadi orangtua.
Hari ini pun begitu. Tak ada yang istimewa. Sampai saya berbincang dengan seorang bunda temannya abang di kelas dua ini, sebut saja A. Melihat saya tengah memegang sehelai kertas berisi daftar nilai hasil UTS abang, ia sedikit berbisik. Mengeluh. “Aduh pusing saya…nilai anak saya segitu aja…jelek-jelek”Saya mendekat, mencoba menyimak ucapannya. “Jelek-jelek gimana, Bu?” kata saya kurang paham. Menurut saya, murid-murid di sekolah abang ini pintar-pintar. Bisa dilihat dari ketatnya persaingankarena selisih yang tipis antar satu anak dengan anak yang lain dalam perolehan nilai ulangan. Maka saya agak bingung dengan kata-kata ibu tersebut.
“Iya, nilainya cuma 70, 80, 90 aja….seratusnya aja cuma beberapa” katanya masih dengan nada yang sama, mengeluh. “Aduuuh….saya sampai pusing!!” lanjutnya. Glek! Saya melirik nilai UTS yang tertera di kertas abang.Tidak berbeda nilainya. Nilai seratusnya ada tiga, selebihnya bervariasi, Antara 70 sampai 90. Nilai terendah abang ada pada pelajaran bahasa Sunda dan bahasa Arab. Untuk bahasa Sunda, saya akui saya kurang telaten membiasakan abang berbicara bahasa yang termasuk salah satu bahasa ibunya. Sementara untuk bahasa Arab, kalau saya menghayati,memang tidak mudah bagi abang untuk menghafal sejumlah kosa kata yang masih asing baginya itu dalam waktu semalam. (*teringat jaman mahasiswa dulu yang sering SKS alias kebut semalam*).
Tapi saya bangga. Setidaknya, meski masih sering meleset, saya tahu usaha abang untukbelajar dan menepati jadwal belajarnya. Target saya di kelas dua ini memang lebih pada pembiasaan keteraturan jadwal-jadwal rutin setelah masa penyesuaian diri di kelas satu berlalu. Misalnya untuk sholat lima waktu dan belajar. Jadwal belajarnya pun tidak terlalu lama, tentu, saya mempertimbangkan kesanggupannya mempertahankan rentang perhatian untuk fokus. Oleh karena itu saya tidak ingin memaksanya. Prinsip saya, biar sedikit yang penting materi tersebut dapat dipahaminya.Itu pentingnya belajar dengan jadwal yang teratur.
Kembali kepada Ibu tersebut, saya menanggapiucapannya tadi, “ Lho Bu….Bukannya nilai segitu sudah bagus?Anak saya juga nilainya sama. Saya rasa nilainya A sudah bagus koq". Melihat saya cukup “takjub” dengan definisi nilai jelek menurut pengertiannya, Ibu itu hanya mesem-mesem.
Kejadian ini menggelitik saya. Sejauh mana sih kita mengapresiasi hasil pekerjaan anak kita. Entah itu dalam bentuk nilai atau hasil pekerjaan lainnya.Banyak kenyataan yang saya temui, anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan yang sangat tinggi akan tetapi prestasinya tidak optimal di sekolah. Underachievement. Apa penyebabnya? Selain masalah-masalah kesulitan belajar yang sifatnya khusus, kebanyakan adalah masalah motivasi. Ya, motivasi anak dalam belajar.Masalah motivasi ini apabila ditelusuri banyak penyebabnya, antara lain kurangnya kemandirian, kurang penghargaan, dan lain sebagainya yang banyak memiliki kaitan dengan pola asuh orangtua.
Terkait dengan pembicaraan saya dengan ibu tadi, saya jadi ingin membahas tentang masalah apresiasi ini.Terus terang saya tidak mengetahui,bagaimana sikap ibu tersebut kepada anaknya di rumah. Baru saya ingat, ibu ini sudah tiga kali berbincang tentang nilai anaknya yang katanya “jelek” tersebut dengan saya.Dan definisi tentang “jelek”nya ini masih tetap tidak saya sepakati.
Fokus utama saya, adalah pada kenyamanan belajar anak. Masalah nilai, itu adalah hasil, akibat yang menyertainya. Anak nyaman belajar, insya Allah, tidak akan sulit mencerna informasi. Sejauh ia sudah berusaha, saya akan sangat menghargainya. Fokus pada proses belajar, insya Allah hasilnya akan bagus. Tetapi apabila fokus hanya pada hasil, prosesbelajar yang dilalui akan dirasakan sangat memberatkan. Proses belajar bukanlah proses yang singkat. Apalagi pada masa belajar yang masih sangat dini, baru di tahap awal pendidikan dasar. Masih sangat panjang perjalanannya kelak. Bisa dibayangkan, apabila ada anak yang sudah sejak awal dibebani bermacam-macam tuntutan setinggi langit, bagaimana ia bisa nyaman belajar? Bagaimana ia bisa mencintai proses belajar? Demikian pula sebaliknya, kalau tidak dimotivasi dan didampingi, bagaimana anak bisa terarah dalam belajarnya?Di atas semua itu, menurut saya, tugas orangtua bukan semata mendampingi dan memotivasi anak, tapi ada tugas yang jauh lebih berat. Membuat anak mencintai belajar dan proses menimba ilmu.
Untuk anak-anak dengan tingkat kecerdasan yang teramat tinggi atau tergolong anak berbakat (gifted), masalahnya bisa berbeda. Kurangnya tantangan malah bisa membuat ia demotivasi. Disinilah pentingnya peran orangtua untuk sungguh-sungguh “mengenali” anak.
Kembali ke Ibu tadi, saya cuma berharap, mudah-mudahan apa yang ia keluhkan ke saya tidak sama dengan apa yang ia tampilkan ke anaknya.Tak bisa saya bayangkan kepusingannya cuma karena anaknya tidak beroleh nilai seratus untuk semua mata pelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H