[caption id="attachment_325535" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Reuters/The Guardian)"][/caption]
Memutuskan untuk menetap di Jepang, tentu kita harus siap dengan segala konsekuensi yang ada nantinya. Perbedaan budaya? Adat istiadat? Tentu saja kita dituntut untuk segera cepat menyesuaikan diri agar bisa diterima dengan baik di lingkungan kita tinggal. Apalagi kalau kita membawa nama keluarga, bukan hanya memikirkan kenyamanan diri kita sendiri tapi kenyamanan suami dan anak-anak kita, ya mereka lah yang selalu jadi bahan pertimbangan utama dalam setiap tindak tanduk saya sebagai seorang istri, ibu dan sebagai orang asing yang tinggal di Jepang.
Kendala cukup berat yang saya hadapi adalah kalau yang sudah berkaitan dengan prinsip keyakinan. Ya, yang saya ingin bahas adalah satu kekalutan yang hebat ketika anak-anak saya masuk sekolah di Jepang.
Bismillah, semoga pengalaman saya tidak menyakiti dan menyinggung siapapun yang membacanya. Alasan inilah, kenapa saya tidak pernah menulis tentang agama dan keyakinan, karena pada dasarnya hal itu adalah urusan manusia dengan sang Pencipta. Setiap orang mempunya prinsip dan pandangan yang berbeda-beda. Semoga, prinsip yang kami pegang tidak menjadi polemik bagi siapapun yang membaca tulisan dari pengalaman pribadi saya ini.
[caption id="attachment_314768" align="aligncenter" width="300" caption="Dok.pribadi Skejul Menu Kyuushoku TK"]
Sebagai seorang muslim yang tinggal di Jepang, sangat susah untuk menemukan makanan yang halal, daging sapi dan ayam halal? Ada! Tapi kita harus membelinya di toko online dengan memesan terlebih dahulu dan baru 3-4 hari terkirim ke rumah. Karena memang di supermarket biasa tidak terjual daging yang berlabel halal, jangankan yang halal, daging cincang 100% sapi dan sosis sapi/ayam pun jangan harap bisa dijumpai di supermarket biasa. Susah? Banget! Bagai mencari jarum dalam jerami. Solusinya? Biasanya saya minta tolong suami kalau ada tugas ke Indonesia, saya buru-buru masukin cooler box ke dalam kopernya, dan pulang ke Jepang dengan membawa berbagai macam sosis sapi/ayam untuk konsumsi anak-anak saya selama satu tahun! Kena razia di bandara? Ternyata Tuhan tidak tidur dan selalu melihat kegelisahan hambanya, syukurnya sosis sosis itu selalu selamat sampai masuk kulkas saya.
Karena cukup sulit mendapatkan daging halal di Jepang, akhirnya kami memutuskan untuk membeli daging sapi dan ayam di supermarket biasa yang tidak berlabel halal. Saya dan beberapa teman Indonesia yang keadaannya sama seperti saya kerap mendapat teguran keras mengenai hal ini, tapi syukurnya sekarang kami sudah kebal dan hanya tersenyum saja ketika ada yang menghujat tentang kehidupan kami disini,… “Dear lovely friends, you don’t know how hard to live with this situation.”
Kendala mendapatkan daging sapi dan ayam?? Sama sekali tidak ada, ya walaupun itu tidak berlabel halal, bisa kita dapatkan dimana saja, tapi jangan lupa selain itu ada juga loh daging babi atau yang kita sebut disini, adalah butaniku, jadi hati-hati jangan sampai salah beli ya, karena memang letak daging sapi, butaniku dan ayam memang saling bersisian.
Salah satu prinsip kami, saya dan keluarga tidak memakan daging babi. Daging babi? Ya, disini daging babi adalah yang paling banyak di jual daripada daging sapi, bahkan dalam makanan kemasan pun banyak yang mengandung campuran daging babi. Karena itu saya selalu mengecek setiap makan yang dibeli. Walaupun tidak tertutup kemungkinan kami secara tidak sengaja sudah memakannya secara tidak sadar.
Masalah besar muncul ketika si sulung mulai memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak di sini. Bukan metode pelajaran yang saya takuti tapi ada satu kekhawatiran yang muncul ketika saya tidak bisa mengontrol bahan makanan apa yang tercampur dalam makan siang yang disajikan nanti di sekolahnya. Ya, sekolah Jepang biasanya akan menyiapkan makan siang yang dimakan secara bersama-sama di dalam kelas, atau yang kita sebut juga dengan Kyuushoku (給食=school lunch).
Melihat keadan ini, saya dan suami mencari TK yang bersifat fleksibel, dalam arti adanya kelonggaran agar anak saya tidak perlu memakan Kyuushoku, tapi membawa bento (bekal makanan) dari rumah saja. Hasilnya? NIHIL. Tapi syukurnya kami ketemu satu sekolah TK yang cukup pengertian, yaitu membolehkan saya membawa bekal lauk dari rumah ketika pada hari itu lauk yang disajikan disekolah pas ada butaniku-nya. Dispensasi dari pihak sekolah ini kami terima setelah saya dan suami menyatakan kalau keadaan kami (tidak memakan butaniku) itu adalah karena alasan keyakinan agama bukan karena alergi. Memang di Jepang, bagi anak yang menderita alergi terhadap suatu jenis makanan, maka pihak sekolah akan mencoba untuk menyediakan makanan pengganti asalkan ada surat keterangan dari dokter sebagai pernayataan resmi.