Hidup di negara yang mulai krisis akan jumlah penduduknya (Jepang) membuat saya bersyukur kalau Indonesia masih tenang karena orang-orang masih ada keinginan untuk menikah cepat dan segera punya anak. Dan ini membuat kita bisa percaya diri kalau sumber daya manusia di negara kita jauh lebih stabil dibandingkan dengan Negeri Sakura ini.
Saya suka sekali nonton drama Jepang yang ditayangkan malam hari. Tontonan drama Jepang buat saya belajar banyak tentang situasi Jepang yang sedang terjadi sekarang sekarang ini. Drama yang tayang di sini lebih banyak menceritakan kehidupan keseharian masyarakat Jepang pada umumnya, bukan kehidupan yang glamor dan dibuat-buat tapi cerita menceritakan kejadian-kejadian yang kemungkinan ada juga dalam kehidupan nyata. Banyak cerita yang saya ambil hikmahnya, tentang pengabdian hidup seorang istri di Jepang, tentang kehidupan suami dan pernak-pernik kehidupan di kantornya, masalah rumah tangga yang kerap ada dan terjadi serta kehidupan anak-anak dan segala rupa masalahnya.
Sinetron favorit saya sekarang-sekarang ini adalah yang menceritakan alasan orang Jepang baik, itu cewek dan cowok yang lebih menyukai hidup sendiri daripada menikah dan berkeluarga. Baru saja minggu kemarin ini sinetron yang berjudul watashi kekkon dekinai jyanakute shinain desu (saya bukannya tidak bisa menikah, tapi saya tidak mau menikah!) habis tuntas saya tonton sampai akhir episodenya. Sinetron yang ditayangkan oleh channel TBS, setiap Jumat malam pada pukul 10.00 selama satu jam ini bener-bener menceritakan keadaan sesungguhnya wanita-wanita around fourty (arafo) di Jepang yang lebih enjoy untuk menjalani hidup sendiri daripada berpasangan.Â
Apalagi secara kebetulan baru-baru ini juga ada acara di mana para pejalan kaki anak-anak muda yang di-interview secara random oleh stasiun tv swasta yang menanyakan kepada mereka alasan memilih tak punya pacar atau menunda untuk menikah. Waduh serem loh dengernya. Alasan-alasan mereka sangat sepele dan rasional sekali kelihatannya tapi bisa dibayangkan kalau saja sebagian besar anak muda ini sama pemikirannya, wah bisa gawat Jepang! Ya, karena mereka lebih memilih untuk tetap enjoy dengan single life-nya daripada arus repot-repot mencari pacar dan menikah.
Nah, untuk yang interview para pejalan kaki itu alasannya beragam, tapi tetap satu intinya, ya sama, mereka sudah puas dengan apa yang ada sekarang. Tidak perlu pasangan, ada teman yang bisa diajak jalan dan pergi bareng. Ada juga yang alasannya pernah patah hati dan kapok menjalin hubungan asmara, ada yang terlalu sibuk dengan pekerjaan karena itu tidak ada kesempatan untuk mencari pacar bahkan tidak sempat untuk memikirkannya pun, oalah.
Bagi yang sudah memiliki pasangan pun, mereka enggan untuk segera melangsungkan pernikahan, dengan alasan, tidak ingin terbelenggu kebebasannya, takut ada tuntutan agar memiliki keturunan dari pihak keluarga, repot kalau ternyata tidak cocok akhirnya harus cerai. Hmm... sudah bisa ketemu kan ya benang merahnya, kenapa Jepang sudah dalam krisis kalau sudah menyangkut urusan pertambahan penduduk.
Bahkan, bagi yang sudah menikah pun, ada pasangan-pasangan yang menunda untuk membuat anak, yaitu dengan alasan ekonomi masih belum stabil, tidak ingin jadi IRT (budaya Jepang yang harus legowo istri yang bekerja untuk berhenti untuk mengurus rumah tangga karena tidak ada pembantu), tempat penitipan anak (Hoikuen) sedikit sehingga untuk ibu bekerja akan dilema dan bingung ke mana akan dititipkan selama bekerja, kurangnya kebebasan untuk plesiran, dan masih banyak alasan lainnya.
Semuanya itu di sini adalah keputusan pribadi dan hak mereka selaku individu dalam menentukan nasib dan kehidupannya sendiri. Walau kadang ada intervensi dari pihak keluarga, tapi yang lebih dominan adalah si anak itu sendiri, hmm kenapa ya? Apa mereka memang sudah dididik mandiri sejak kecil, jadi untuk urusan pernikahan pun, kadang orang tua apalagi lingkungan masyarakat kok ya tidak begitu turut campur beda sekali dengan keadaan di negeri kita.Â
Hidup di Indonesia saking akrabnya kadang tanpa disadari suka melewati privacy seseorang yang seharusnya tidak dilakukan. Hal yang begitu sensitif jadi perbincangan dan topik yang digemborkan tanpa ada rasa empati gimana kalau mereka ada dalam situasi orang yang dibicarakannya itu.Â
Coba ayo tunjuk tangan siapa yang pernah diuber-uber disuruh cepet cepet kawin oleh orangtua? Bukan hanya oleh keluarga saja loh tapi kadang yang lebih menyebalkan adalah lingkungan sekitar juga ikut memonitoring kehidupan orang per orangnya. Ayok kapan lulus kuliahnya? Sudah lulus kuliah, ayok kapan kerjanya? Sudah kerja, ayok kapan kawinnya? Sudah kawin, ayok kapan punya anaknya? Sudah punya anak, ayok kapan kasih adiknya? Endless, gak ada habis-habisnya. Bagi orang yang dibawa santai mungkin tidak akan jadi masalah besar tapi bagi orang yang berusaha sekuat tenaga agar bisa sampai pada tahap yang diinginkan tapi belum bisa, wah bisa jadi pressure bukan?