Kalau dilihat penampakannya seperti makanan brand yang sangat mahal. Sambil terus mendengarkan tentang sejarah makanan ini (orang Jepang sangat mendetail, apalagi kalau sudah menjelaskan makanan yang mau dikasih ke orang lain)  saya perhatikan juga bentuknya karena saya gak ngerti tulisan kanji apa yang tertulis besar besar di kemasannya yang tertulis dengan warna emas. Di tengah penjelasannya itu, deeggg! tiba-tiba jantung saya mau pecah saat dia bilang kalau penganan cantik yang saya sedang pegang itu adalah KUPING BABI! Pas saya dengar kata itu, saya sudah tidak tertarik dengan kemasan makanaan yang terlihat menarik lagi, berganti dengan saya memandangi wajah cantiknya dengan penuh iba, yang masih semangat 45 menjelaskan tentang kelezatan makanan yang dia ingin berikan ke sahabatnya ini. Gomen ne Rieko san, gomeen! Maaf ya Rieko san!Â
Saat itulah saya mulai panik, aduh help... gimana ini menjelaskan dengan bahasa yang halus. Karena saya iba juga melihat dia yang berapi-api menyuruh saya mencicipi makanan ini padahal saya tidak bisa memakannya! Dengan perasaan yang penuh iba dan sangat kasihan, saya tarik tangannya untuk masuk dulu ke dalam rumah, dan kita ngobrol di ruang tamu sambil saya berikan teh hangat.Â
Setelah saya pelan-pelan jelaskan, gantian dialah yang terkaget-kaget sampai mengucapkan minta maaf beberapa kali! Aduhh makin iba saya.Â
Banyak sekali pertanyaan yang ia ajukan, apakah saya bisa makan ayam, ikan, kambing, sayuran, miso sup, tahu, dan lucunya saat dia tanya apakah tidak apa-apa kalau kita masih temenan dan bicara? Hahahahaha aduhh lugunya ibu iniii... YA TENTU SAJA! Walau tidak seagama kenapa kita tidak boleh saling menyapa dan berteman. Dan sudah hampir 9 tahun kami berteman dan bertetangga, dan sejak saat itu saking takutnya kalau memberi makanan sama saya adalah makanan yang tidak bisa saya makan lagi, akhirnya sekarang Ibu Rieko suka memberi TELOR dan HAND CREAM sebagai oleh-oleh atau sebagai ucapan terima kasih atas sesuatu hahaha!Â
Cerita yang kedua adalah ketika saya mendapat kiriman gyoza dari sahabat China saya.Â
Saya kaget ketika sore-sore pintu rumah dibel dan sahabat saya berkulit putih bersih berambut panjang lebat sambil tersenyum manis kasih lihat nampan besar berisi potongan gyoza yang masih berbalur tepung terigu agar tidak lengket satu sama lain. Ia bercerita kalau setiap tahun baru China, biasanya orang-orang China akan merayakan dengan makan gyoza bersama-sama. Dan teman saya sengaja buat banyak hari itu untuk sebagian diserahkan ke saya dan disantap bersama keluarga saat makan malam nanti.Â
Sambil riang ia serahkan nampan besar yang dipegang dengan dua tangannya kepada saya. "Ini semua saya bikin sendiri, sampai ke kulit gyozanya loh. Daging babinya pun saya pilih yang bagus jadi rasanya enak sekali, saya sudah coba tadi satu biji, Weedy san harus coba ya! Ini saya bikin buat anak-anak kamu juga! Makan ya!" katanya sambil berapi-api menjelaskan.Â
Oh Tuhan, ada lagi deh kejadian seperti si kuping babi lagi, help!Â
Habis saya terima nampan yang penuh dengan potongan gyoza buru-buru saya taruh di dapur. Saya panggil teman saya masuk dan menyuruhnya duduk sebentar. Saya jelaskan dengan bahasa yang saya buat sehalus mungkin dan tidak terkesan kasar untuk menolak makanannya. Dan bisa ditebak sih, ibu itu langsung memohon maaf berkali-kali karena ketidaktahuannya itu. Karena saya iba dan sangat menghargai kerja kerasnya, saya akan simpan gyoza bikinannya itu untuk ditaruh freezer dibekukan, lalu nanti saya akan berikan ke ibu mertua saya esok hari. Namun, temen saya mengatakan kalau gyoza lebih baik makan sekarang rasanya beda kalau sudah dibekukan, jadi akhirnya saya kembalikan nampan itu kepadanya dengan perasaan yang campur aduk, maaf ya Risa san.Â
Syukurnya tidak ada yang marah dan memutuskan tali pertemanan walau tahu saya seorang muslim, justru kami jadi semakin dekat karena sudah tahu sampai hal yang paling sensitif pun.Â
Dua pengalaman itu yang membuat saya nyaman hidup di Jepang. Agama dan kepercayaan bersifat begitu personal sekali. Walaupun pada kenyataannya orang Jepang seperti orang-orang yang tak beragama, tapi mereka saling menghormati satu sama lain. Kalaupun ada yang memeluk suatu agama, bukanlah hal di mana semua orang harus tahu agama dan kepercayaan yang dianutnya itu. Hubungan dengan Sang Maha Pencipta bukanlah hal yang digembor-gemborkan dan dijadikan ajang adu pamer ketaatan antar sesama umatnya. Pemandangan itulah yang membuat saya begitu tenang tanpa merasa saya adalah bagian minoritas di sini. Sepertinya, bagi orang Jepang kalau urusan hati dan ketaatan hanya Tuhan yang berhak menilai.Â