Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebebasan Berpikir Anak-anak Jepang

24 Juni 2015   06:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:46 2998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - Tini Kodrat seusai memperkenalkan tarian di sekolah di Jepang. (Kompas)

 Minggu kemarin saya dan suami menghadiri acara Jugyousankan di sekolahnya si sulung dan si bungsu. Jugyosankan adalah acara kunjungan orangtua murid ke sekolah untuk melihat kegiatan belajar-mengajar yang sedang dilakukan di dalam kelas. Orangtua murid akan berdiri di paling belakang dan pinggir kelas untuk hanya mengamati guru yang sedang mengajar dan anak-anak yang sedang belajar. Kegiatan Jugyousankan ini dilakukan sekali dalam setiap semesternya. Jugyousankan biasanya dilakukan pada hari biasa tapi akhir-akhir ini pihak sekolah mempertimbangkan kalau dalam setahun sekali perlu juga kalau acara Jugyousankan dilaksanakan pada hari libur (sabtu), kenapa? dengan tujuan untuk memberi kesempatan kepada para ayah agar bisa menyaksikan kegiatan putra putrinya di dalam kelas. Dan sebagai pengganti hari libur yang dipakai untuk kegiatan belajar itu, maka hari Senin berikutnya pihak sekolah akan meliburkan anak-anak muridnya.

Saya menghadiri acara ini bersama suami, kami bergantian bagi-bagi tugas untuk saling mengunjungi kelas si sulung dan bungsu, walau agak repot ke sana kemari naik-turun tangga, tapi kami merasa ini kesempatan bagus untuk bisa melihat perkembangan belajar si sulung dan si bungsu di dalam kelas.

Jugyousankan Anak Kelas Tiga

Ada yang menarik saat saya masuk ke kelasnya si sulung. Saat itu anak-anak kelas tiga ini sedang belajar matematika. Suasana belajar terasa sangat nyaman, anak-anak memperhatikan papan tulis di mana ibu gurunya yang berpenampilan sangat santai itu, oh ya mengenai penampilan ibu guru Jepang ada yang unik loh, baju atasan mereka terlihat sangat formal, ada yang memakai blazer atau kemeja dan bawahannya rok span atau celana bahan tapi pas lihat sepatunya.... lah mereka kok kebanyakan memakai sepatu olahraga bertali! Biar luwes kali ya ke sana kemari mengajar anak didiknya.

Ya kembali ke leptop, di dalam kelas si sulung ini saya melihat anak-anak yang sedang konsen memperhatikan ibu guru yang sedang menuliskan pertanyaan matematika di papan tulis. Soalnya cukup mudah, hanya tambah-tambahan. Tertulis di papan soalnya 48+29. Anehnya akhir soal tidak ada simbol sama dengan (=) tapi diganti dengan simbol kanji 考(kangaeru=berfikir) di bawah soal. Sang guru mengajak anak-anak muridnya untuk berpikir bagaimana cara yang paling praktis dan paling mudah menurut anak-anak ini untuk bisa mendapatkan hasil dari soal tambahan di atas. Saat itu saya agak gak mudeng, lah emang ada berapa cara sih? Lagian ribet banget cari cara lain, yang gampang kan tambahin aja itu di urut ke bawah misalnya saja:

48

29+

77

Nah tuh, hasilnya cepet, 77!!

Kira-kira 10 menit kami para orangtua menunggu anak-anak ini berpikir, lalu sang guru berkata bagi yang sudah selesai untuk angkat tangan, dan terlihat beberapa murid mulai mengangkat tangannya. Anak-anak yang mengacungkan tangan dihampiri oleh ibu gurunya dan dicek hasil kerja mereka. Setelah semua anak selesai mengerjakan dan dicek oleh ibu gurunya. Tibalah untuk mereka mempresentasikan hasil kerja mereka ke depan kelas. Beberapa anak cepet-cepetan mengangkat tangannya karena ingin dipilih gurunya untuk maju ke depan kelas. Dan akhirnya ditunjuklah seorang anak perempuan berbadan agak besar untuk maju mempresentasikan hasil pemikirannya. Pada layar proyektor terlihat hasil corat-coret pemikiran anak perempuan ini, melihat hasil kerjanya kepala saya tiba-tiba kliyengan karena penjabaran soal yang `cuma` tambah-tambahan doang kok ya jadi panjang karena berubah bentuk jadi soal cerita! Baru setelah selesai semuanya, ia membuat ringkasannya dan teteup saja saya gak ngerti sama sekali, kaget juga lihat hasil akhirnya kok yao bisa 77 gitu loh! Gimana bisa? Lalu ibu guru meminta semua temen-temen dalam kelas untuk menilai, apakah hasil pemikiran yang dijabarkan barusan itu bisa diterima, dan kompak seluruh anak berkata ii desu! (OK!) walaahhh berarti otak saya ini yang oon hahaha....

Habis anak perempuan selesai tugasnya, kembali ibu guru menyapu pandangan ke seluruh ruangan, anak-anak kembali riuh mengangkat tangannya ingin ditunjuk oleh gurunya untuk maju ke dalam kelas, ndelalahnya si sulung kebagian ditunjuk untuk maju ke depan kelas. Yang ada kok saya yang deg-deg an ya wkwkwkw sambil tangan megang HP siap-siap buka kalkulator hahahaha....

(Anaknya yang maju nerangin emaknya yang dag dig dug  duarrr!)

Si sulung menjelaskan hasil pemikirannya dengan suara lantang yang berupa (lagi-lagi) dalam rangkain cerita lalu terakhirnya ada penjabaran ringkas yang saya juga gak mudeng justru malah berpikir napa ribet banget jalan pemikirannya, meliuk-liuk dulu ke sana-sini baru ke hasilnya, pas lihat hasil akhirnya sih memang tertulis 77, dan cara yang dipakai si sulung itu beda banget sama cara yang dipakai anak perempuan yang maju pertama. Oalah manahh panadool paramex.. pusing saya.

Lanjut ke anak ketiga sampai anak ke lima yang maju ke depan kelas, semuanya mempunyai pemikiran yang berbeda, dan anehnya walau beda cara pemecahan soalnya tapi hasilnya sama!

(Bu guru lagi menjelaskan semua kemungkinan cara yang bisa dipakai oleh anak-anak muridnya)

Terakhirnya, baru lah dibahas oleh gurunya tentang semua cara yang dipakai oleh anak-anak didiknya itu. Cara mereka semua itu dibenarkan oleh gurunya, sepanjang cara itu memang yang paling singkat dan mudah bagi mereka. Yang penting adalah proses, setiap anak mempunyai kemampuan otak yang berbeda. Mudah bagi anak yang ini belum tentu mudah bagi anak yang itu, sulit bagi anak yang itu belum tentu sulit bagi anak yang ini, begitupun cara yang dipakai oleh ibu gurunya, basic-nya ibu guru tentu saja mengajarkan cara yang sesuai dengan kurikulumnya, tapi teknis di lapangannya semua dikembalikan kepada cara masing-masing anak-anak didiknya sepanjang cara itu memang rasional dan bisa untuk mendapatkan hasil yang sama. Cukup menarik melihat sistem belajar-mengajar di dalam kelas ini karena saya lihat:

  1. Kebebasan berpikir anak-anak ini tidak di kekang
  2. Anak-anak belajar untuk berbicara mengeluarkan pemikirannya di depan orang banyak

  3. Anak-anak belajar bertanggung jawab akan hasil pemikirannya dengan menjawab pertanyaan dari teman-temannya

  4. Anak-anak lebih memusatkan dan mencari jalan yang dianggapnya mudah dalam memecahkan suatu masalah

  5. Guru tidak kaku hanya melihat pedoman buku saja tapi bersifat fleksibel untuk menerima hasil pemikiran anak-anak muridnya

Melihat ini semua saya jadi inget beberapa minggu belakangan ini pantesan si sulung suka tanya ke saya kalau ada PR matematika saat SD dulu pake cara yang mana untuk mencari jawaban soal-soal yang dia kerjakan waktu itu, walahh udah lupaa nak, wes jadoel dan kayanya gak serumit kaya pemikirannya dia secara dulu pastilah pengen cepet selesai aja itu kalau ngerjain matematika wkwkwkwk dan semua temen-temen saya waktu itu juga kayanya pakai cara yang sama dengan yang diajarkan guru kok gak ada yang suruh mikir cara lain, halah boro-boro hahahaha

Dan session kedua saya menghadiri kelas si bungsu.

Jugyousankan Anak Kelas Satu

Ramee dan heboh. Begitu kesan pertama saya saat memasuki kelas si bungsu. Gurunya juga enerjik banget. Kegiatan belajar-mengajar di kelas satu ini belum begitu terlihat serius. Diawali dengan mempresentasikan hasil cerita yang dikarangnya tentang hal yang disukai mereka. Satu per satu anak-anak disuruh maju untuk membacakan hasil karangannya, si bungsu semangat sekali menceritakan tentang Mamo chan, si hamster peliharaannya yang sudah diasuhnya selama setengah tahun ini. Dari yang membersihkan kotoran dan pipisnya setiap hari, memberi makan sampai mengajak bermain sehabis pulang sekolah. Dan kesukaannya yang lain yaitu meminjam buku di perpustakaan sekolah. Ada pelajaran membaca buku dengan suara lantang dan orang tua wajib mengeceknya, dan itu juga menjadi pekerjaan rumah setiap hari, selain buku dari sekolah sebagai bahan bacaan, si bungsu keranjingan meminjam buku dari perpustakaan yang katanya bukunya seru-seru, akhir-akhir ini suka sekali dia membaca buku buku yang bercerita tentang hantu-hantu hiyy..

Dulu kami yang suka membacakan buku buat anak-anak tapi sekarang syukurnya justru kami yang suka mengetes si bungsu tentang jalan cerita atau ringkasan buku yang habis dibacanya itu. Perpustakaan sekolah si bungsu dan si sulung ini lumayan update buku-bukunya, karena minggu kemarin saat kami sekelurga ke toko buku, anak-anak saya pada bilang kalau buku-buku horror yang ada di toko buku itu banyak yang sudah dibacanya melalui buku pinjaman dari perpustakaan.

(Anak-anak kelas satu terlihat enjoy mengikuti acara belajar mengajar, saat itu ada selingan bernyanyi bersama)

Melihat semua hal yang ada pada acara Jugyousankan kelas satu ini saya melihat kalau :

  1. Guru membuat suasana nyaman agar anak kelas satu yang masih baru bisa dengan mudah dan cepat beradaptasi dengan lingkungannya.

  2. Anak-anak kelas satu belajar mengutarakan pemikirannya dengan membuat cerita menuliskannya secara runut kisah serta jalan ceritanya.

  3. Anak-anak kelas satu belajar berani berbicara di depan kelas.

  4. Mata pelajaran membaca (Ondoku) terbukti bisa menumbuhkan minat baca anak.

  5. Dukungan pihak sekolah terhadap minat baca murid-muridnya dengan selalu memperhatikan buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah agar selalu update sehingga membuat anak-anak semakin tertarik untuk meminjamnya.

(anak kelas 1 siap-siap untuk pulang, ciri khas anak kelas satu di Jepang adalah mereka semua memakai topi kuning)

Pengalaman saat menghadiri acara Jugyousankan ini bener-bener jadi pengalaman yang sangat berharga bagi kami selaku orang tua murid. Selain bisa melihat perkembangan anak di dalam kelas, dapat melihat juga bagaimana mereka menangkap pelajaran, bagaimana berinteraksi dengan teman-temannya, juga jadi sedikit mengerti sistem cara belajar model apa yang dipakainya oleh para gurunya, dan lain sebagainya. Kami sebagai orang tua merasa kalau acara Jugyosankan ini sangat baik dan bermanfaat karena walau bagaimanapun antara pihak guru, anak dan orangtua adalah satu rangkaian yang saling berhubungan sangat erat tidak bisa terpisahkan, karena pengasuhan anak itu tidaklah boleh saling mengandalkan satu sama lain tapi justru sebaliknya harus saling tunjang menunjang sehingga anak bisa merasakan kalau sekolah dan rumah adalah dua tempat dimana mereka bisa tumbuh dan kembang mendapatkan pengayoman dan pendidikan yang semestinya.

Semoga anak-anak kita menjadi generasi penerus bangsa tidak saja hanya maju dalam berfikir tapi juga baik akan moralnya.

Salam hangat, wk! 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun