Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hal yang Saya Benci Dari Jepang!

15 April 2014   21:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:38 2385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, ada satu hal yang dari dulu sampai sekarang saya benci dari Jepang, yaitu IJIME atau BULLY.

Sebenarnya, masalah Bully ini bukan hanya punya Jepang saja, saya yakin disemua negara pun masalah tindas menindas kaum yang lemah sudah bukan hal yang aneh lagi. Tapi, ketika mendengar kata bully/Ijime ini, saya heran kok ya, pikiran saya langsung tertuju kepada negara Jepang sebagai kasus Ijime tersadis yang sampai bisa menimbulkan korban jiwa.

Kasus Ijime di Jepang sudah bukan rahasia lagi disini, di sekolah, tempat kerja, dimanapun, sering saya lihat berita tentang Ijime yang terkadang bisa membuat seseorang terganggu jiwanya hingga berakhir dengan bunuh diri. Tragis? Ya!

Masalah yang bisa dikatakan tak berujung ini, menurut saya pribadi bisa dikatakan tidak pernah habis untuk dibahas. PR pemerintah yang tidak pernah usai untuk diselesaikan!

Geram. Ya sangat geram. Dimana para kaum tertindas ini membutuhkan pertolongan untuk dilindungi oleh orang tua, guru dan masyarakat sekitar, tapi pada kenyataannya mereka seakan tidak perduli karena masalah Ijime adalah suatu momok yang cukup memalukan bagi keluarga dan sekolah. Maksudnya? Ya, itu berarti ada kepincangan atau ketidakberhasilan sekolah dalam mendidik budi pekerti, atau bahkan lalai dalam pengawasan kalau saja sampai terjadi ada korban jiwa yang jatuh.

Saya yakin sekali, ketika saya membicarakan tentang Ijime dengan teman-teman Jepang saya, pasti akan ada puluhan mata yang menatap penuh tandatanya dan keingin tahuan. Kenapa? Karena saya dan keluarga saya, dalam hal ini anak-anak saya cukup rentan untuk terkena bully/Ijime.

Benar, status saya yang sebagai orang asing, dan anak-anak saya yang berdarah campuran, terkadang hal itu bisa membuat suatu perbedaan kalau kami dan masyarakat sekitar disini `tidak sama`. Hal itu yang terkadang membuat saya sedikit kesal, karena orang Jepang terlalu sensitive dalam hal sesuatu yang berbeda, misalnya saja : anak yang kurus, anak yang gemuk, anak berbadan tinggi, berbadan pendek, orang kulit hitam, orang kulit putih, orang asing, anak yang terlalu pintar dan anak yang kurang pintar. Semua perbedaan itu bisa diajadikan acuan untuk para pembully sebagai celah untuk menindas kaum yang berbeda itu. Heran deh, kadang saya suka berfikir, kok jadi kaya negara komunis? Segala sesuatu harus diatur, harus seragam, sama fikiran, tingkah laku, baju dan sebagainya. Pernah saya lontarkan ke suami saya, dan saya sudah bisa tebak kalau suami akan menjawab, “Ya, apa boleh buat, dulu Jepang adalah negara agraris, semuanya melangsungkan hidup dengan bercocok tani, sudah biasa seragam, gaya hidup yang sama, karena dengan begitu mereka merasa tenang dan aman, tidak ada persaingan, saling menonjolkan diri dalam masyarakat, dan sebagainya.” Jadi ya spirit seperti itu, bablas terbawa sampai sekarang, shouganai ne! (apa boleh buat).

Kalau mendengar alasan itu, sebenrnya saya juga sedikit setuju, baguslah spirit itu, tidak saling sombong, bagi si pihak kaya selalu tidak menonjolkan diri, dan pihak miskin pun merasa tenang karena keadaannya tidak terlihat jauh berbeda dengan orang-orang disekitarnya. Tapi tunggu dulu..!! Untuk keadaan sekarang, kok saya lihat banyak imbas yang tidak enaknya sih, sebagai contoh, saya pernah kepergok teman-teman Jepang saya makan sushi sendiri di sebuah warung sushi, dan tahu nggak jawaban mereka? …”Hee hitori de sushi wo taberuno!” ( haa sendiri aja makan sushinya!) dan saya tidak perlu menanyakan makna yang terkandung dalam sapaan mereka itu, kenapa? karena bagi orang Jepang hal yang memalukan kalau kita seorang diri makan ditempat terbuka! Coba deh baca tulisan sensei Parastuti tentang seseorang yang makan di jamban karena ketahuan takut terlihat tidak punya teman. Jadi bela-belain makan pada bukan tempatnya agar bisa `sembunyi sementara` ketika menyantap makan siangnya seorang diri! Ngenes ya! Kenapa sih sampai hal itu bisa terjadi? Kenapa sampai hal ngenes itu kok jadi suatu budaya di Jepang?? Balik lagi, kesamarataan, keseragaman! Kalau dari dua kata itu ternyata bisa menghasilkan ke-NGENES-an ini, saya menjadi benci. Kenapa? karena dua kata inilah yang membuat masalah IJIME merebak di Jepang.

Ijime masih suatu bahan yang dibahas kasak kusuk diantara teman-teman Jepang saya, kenapa? karena hal yang musti ditutup-tutupi, neraka bagi yang kena, karena bukan saja bathinnya yang tertindas tapi keadaan rumah dan sekolahpun akan bisa terseret seret sehingga menjadi suatu kasus yang sangat berat.

Masalah berat tapi kok gak pernah dibahas terang-terangan? Nah, itu yang sampai saat ini buat saya bingung juga!

Saya jadi ingat ketika pertama bergabung di K, dan saya menulis tentang masalah Ijime/Bully di Jepang yang sudah mewabah tapi tidak kunjung ada solusinya. Syukur alhmadulillah, tulisan itu mendapat apresiasi dari K untuk di cetak di kolom Freez di Koran Kompas. Karena saya baru bergabung di K, bisa terbayang bagaimana senangnya perasaan saat itu, saya meminta adik saya di Jakarta untuk memfotonya dan men-tag ke saya foto artikel itu. Lalu apa yang terjadi?? Heboh! Ya, heboh karena saya mendapat banyak e-mail dan massage dari teman-teman kantor saya dahulu bahkan massage ke suami saya juga! (saya dan suami memang dulunya pernah satu kantor), dan bisa dipastikan bukan ucapan selamat yang tertulis dalam e-mail-nya tapi hampir semuanya bernada kecemasan dan kekhawatiran akan keadaan saya dan anak-anak saya di sini.

Belum lagi ketika keluarga suami saya (mertua) mengirimkan sms dengan pesan singkat “Weedy daijyoubu?? Kodomotachi daijyoubu??” (weedy, kamu tidak apa-apa? anak-anak tidak apa-apa?) Alamaak!! Yang ada saya pun sempat ketar ketir, karena heran kenapa mertua saya tiba-tiba merasa khawatir begitu. Dan ternyata usut punya usut, sahabat suami saya yang bekerja di salah satu Koran Jepang yang terbit di Jakarta, membaca artikel tentang IJIME itu, teman suami saya sebut saja bernama Suzuki san itu merasa khawatir kalau keluarga sahabatnya di Jepang terkena IJIME (dalam hal ini saya dan anak-anak). Lalu Suzuki san mengirimkan e-mail kepada mertua saya, kalau artikel yang saya tulis cukup membuat `geger` dan apabila memang saya terkena bully, maka bisa dikatakan itu suatu kasus yang cukup serius, dan Koran Jepang yang terbit di Jakarta itu kemungkinan akan memberitakannya!! Oh My God! Bukan saja suami saya yang shock karena adanya e-mail dari teman-teman kantor cabang Jakarta, tapi tentu saja saya lebih mau pingsan!! Apalgi keluarga saya di Jakarta pun yang menjadi panik karena tulisan saya seakan akan kalau kami disini `ditindas` dan teraniaya.

Daripada FB, sebenarnya saya lebih aktif untuk mengirim pesan dengan teman-teman di Indonesia dan sesama teman-teman Jepang saya di sini melalui LINE, maka saya iseng untuk mengupload potongan Koran dengan judul -Ijime/Bully di Jepang- itu di profil LINE saya. Dengan sedikit note berbahasa inggris, saya mencantumkan kata-kata kalau saya begitu senang ada tulisan saya yang tercetak di Koran Kompas itu, dan lagi-lagi…..pesan-pesan dari teman Jepang saya pun berdatangan masuk dan menanyakan tentang keadaan saya dan anak-anak saya??

Nah, dari sini sudah bisa terlihat bagaimana dasyatnya kata IJIME kalau kita koar-koarkan secara terang-terangan dan lugas! Momok yang menakutkan, hal yang harus terus ditutupi, hal yang tidak ada solusinyapun itu bukan hal yang aneh lagi, hal yang akan menjadi boomerang bagi kita apabila kita menolong orang yang terkena ijime, gila ya?? Orang yang menolong pun kerap akan terkena ijime, next victim! Karena dibilang sebagai sok hero, sok penolong, nah orang-orang yang `baik` ini pun bisa loh jadi `orang yang berbeda` dimata mereka (para pembully).

Huh, bahasan yang tidak pernah habis! Endless! Kemana pemerintah? Padahal sudah begini bagusnya sistem pengajaran yang diterapkan. Beberapa kali saya tulis bagaimana kagumnya saya pada sistem pendidikan di Jepang, tapi kalau kembali mengingat tentang IJIME ini, seakan semua kekaguman saya  terbang melayang tak berbekas.

Beberapa hari lalu anak sulung saya bercerita kalau ada temen sekelasnya yang `nakal` suka memukul badannya. Dan saya? Geram dan marah! Tapi berusaha untuk terlihat cool didepan si sulung. Kenapa? agar anak saya mau lebih lanjut bercerita dan berterus terang segala sesuatu yang terjadi di sekolah yang tidak bisa saya pantau. Dan agar anak saya juga tidak merasa kalau hal itu bisa membebankan pikiran saya sebagai orang tua, singkat kata anak tidak ingin membuat orangtuanya sedih!

Lalu saya tanya, “terus kamu ngapain kalo temenmu pukul kamu?” Ya, saya balas ma, kata sisulung. Setelah saya mendengar nama sianak yang `nakal ` itu baru saya mengerti mungkin, karena sisulung ikut karate dan anak yang `nakal` itu ikut Judo, kemungkinan anak `iseng` itu ingin cara sparring partner, pikir saya. Tapi ternyata tidak? Banyak anak-anak yag terkena kejahilan sianak `iseng` ini. Akhirnya saya bilang ke sisulung, kalau bandel lagi, adukan ke wali kelas atau kalau kejadiannya di rumah, kamu harus lapor langsung ke ibunya di rumah, pingpong (bel) saja rumahnya, mengerti? Kata saya, sisulung pun mengangguk setuju.

Dan suatu ketika, sisulung pulang sekolahnya sangat telat, biasanya sampai rumah jam 3.30 eh ini sampai jam 4 sore belum masuk rumah. Lumayan panik juga karena khawatir ada apa-apa dijalan, (anak SD di Jepang pulang tidak dikawal orang tua). Ternyata tidak lama ada massage dari teman saya, seorang ibu yang anaknya satu kelas dengan si sulung, dengan berbagai emoticon tangan minta ampun, dan emoticon berlutut, ibu itu meminta maaf kepada saya dan anak saya karena selama ini anaknya itu suka `nakal` dan ganggu teman-teman lainnya. “Untung diberitahu kalau tidak mungkin saya akan malu kalau samapai masalah ini sampai ke sekolah”, kata ibu itu. Dan sepertinya keterlambatan sisulung pulang ke rumah itu, sepertinya habis di interogasi oleh si ibu, kalau anaknya ibu itu suka nakalin siapa saja, pantesan lama banget nih anak pulangnya (pikir saya) ternyata…

Alhamdulillah, si sulung sudah tidak terkena keisengan temannya itu. Kadang sebagai ibu yang gak rela anak sendiri dinakali orang, suka tumbuh dua tanduk dikepala saya dan sekilas berkata, “kalau dinakali lagi yarigaesu ya!” (pukul balik/lakukan yang sama) tapi sisulung suka males apalagi kalau sampai dilihatin oleh teman-temannya seakan sedang tarung/duel, Judo VS Karate, deuh kebayang deh itu. Syukurnya, didikan suami yang cukup keras kalau ada masalah apapun, si pelaku harus tanggung jawab, dalam arti orang tua ada timingnya kapan untuk turun tangan. Nah kalau sudah tidak bisa tertangani barulah orang tua ikut campur, saya rasa cukup membuat si sulung diharuskan berani untuk bertindak. Beraninya si sulung menceritakan keadaan `mencekam` itu kepada orang tua anak yang suka iseng, membuahkan keadaan yang kondusif lagi bagi anak-anak yang lain untuk tidak `umpet-umpetan` pergi sekolah/ pulang sekolah demi menghindari ketemu si anak iseng tadi. Oalah ada-ada saja.

Kasus anak saya dan teman-temannya mungkin kasus yang ringan dan segera terdeteksi, saya tidak bisa membayangkan kalau ini menjadi berlarut-larut dan menimbulkan gangguan psikis anak-anak yang tertindas itu, tentu efek yang sangat terlihat adalah sang anak sudah tidak mau pergi ke sekolah lagi, kenapa? ya, tentu saja takut dijahati/ditindas/diejek dan lain sebagainya.

Semoga saja, banyak kasus-kasus IJIME, BULLY dan penindasan-penindasan entahlah itu sebutan lainnya apa, untuk bisa terus dikorek, dibuka, dikewer-kewer dan diusut tuntas sampai sang korban bisa merasa aman dan terlindungi.

**Lindungilah buah hati kita, apapun yang terjadi bukanlah semata-mata kesalahan yang ada pada dirinya, tapi telusuri dengan bekerja sama dengan wali kelas, kalau merasa tidak ditanggapi coba langsung ke Shiyakusho (city hall) setempat yang khusus menangani masalah gangguan psikis akibat Ijime. Ya, sampai ada loh kartu yang berisis no telp pengaduan yang didapat dari sekolah, untuk melapor apabila kita atau anak-anak kita terkena Ijime. Sayangnya, walau sudah ada tempat konsuling seperti ini, saya yakin dari 1000 kasus hanya hitungan jari saja yang mengadukan dirinya terkena Ijime.

Artikel yang terkait IJIME

http://m.kompasiana.com/post/read/603317/2/ijime-bully-di-jepang.html

Salam Hangat, wk

Image: www.ijime110.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun