Mohon tunggu...
Aldi RamadhanPutra
Aldi RamadhanPutra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muda berjuang, tua mengenang

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia Gagal

10 Oktober 2022   16:08 Diperbarui: 10 Oktober 2022   16:21 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup adalah kumpulan dari beberapa rangkaian peristiwa yang terjadi. Setiap orang pasti memiliki pemaknaan hidup yang berbeda. Ada yang mendefinisikan bahwa hidup adalah kekejaman, kebahagiaan, memalukan bahkan sebagai ancaman. Akan tetapi, sudah selayaknya bahwa hidup yang dijalani setiap orang pasti berbeda-beda, baik itu kondisi lingkungan, peristiwa yang dialami bahkan mental yang dimiliki. Terlepas dari semua itu, Manusia sejauh ini mampu hidup dari generasi ke generasi tentunya ada yang melandasi hal tersebut. Hal paling mendasar yang mampu menyatukan manusia adalah adanya tujuan bersama, walaupun setiap manusia mesti memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai cara untuk mencapainya. Pandangan yang dimiliki setiap manusia inilah yang memiliki kerumitan didalamnya. Dengan kata lain, bisa dibilang sulit untuk memahami hal yang melandasi manusia dalam bertindak. Ketidakpahaman itu seringkali membuat manusia sulit memahami sebesar dan sedalam apa derita yang dialami oleh orang sekitarnya.

Masalah-masalah praktis, duka yang bisa dihilangkan seandainya ada cukup makanan, itu mungkin siksa neraka paling dahsyat, yang cukup mengerikan dan meluluhlantahkan kemalangan manusia, tapi justru itulah yang tak dipahami. Kalau ada manusia lain yang bertahan hidup tanpa frustasi, tanpa bunuh diri, tanpa jadi gila, tetap berminat dalam menjalani hidup, tidak tunduk pada keputusasaan, teguh berjuang demi hidup, bisakah dukanya benar-benar sejati? Apakah salah jika berpikir bahwa manusia pada akhirnya akan menjadi egois yang tulen dan sangat yakin bahwa cara hidupnya benar dan normal saja, sampai mereka tak pernah sekalipun meragukan dirinya? Jika begitu seharusnya penderitaan mereka sangatlah sedikit, itulah pada umumnya nasib manusia dan bisa jadi itulah yang terbaik yang bisa diharapkan.

Manusia terlalu kecil untuk menyombongkan diri dan merasa paling benar. Selagi ia masih berharap dan meminta belas kasih dari yang maha sempurna, karena sejatinya ia tak akan mampu hidup tanpa itu. Jadi sudah selayaknya, manusia tak boleh jadi hakim buat manusia yang lainnya. Manusia seringkali tidak suka untuk dikritik apalagi diteriaki tapi pada wajah manusia lainnya, ia mampu marah seakan ada sesosok binatang buas dalam wujudnya yang sejati. Kebanyakan manusia menutupi sifat aslinya, tapi akan ada saatnya amarah akan menguak sisi asli dari manusia dengan segala kengeriannya dalam sekejap.

Terlalu jelas fakta bahwa sangat sia-sia jika mengeluh dan berharap pada manusia. Jadi di suatu fase waktu ada saatnya seakan-akan lebih baik jika tak mengatakan kebenarannya. Tak ada pilihan lain kecuali bertahan terhadap apapun yang terjadi dan terus berperan dalam kamuflase yang terbaik. Ketakutan kepada manusia selalu beriringan dengan suara denyut nadi, ketika baru saja melonggarkan kewaspadaan dan mulai percaya, akan ada momen manusia menusuk dari belakang, secara tak terduga. Sehingga terkadang momen irasionalitas lebih menenangkan, akan terasa nikmat karena yang menakutkan adalah logika manusia, yang didalamnya ada terdapat pertanda atas sesuatu yang dahsyatnya tak terhingga. Cara kerjanya tak bisa dipahami dan semua terasa terkurung didalam ruangan tanpa jendela yang terasa pahit. Walaupun diluar terbentang banyak hal irasionalitas tapi jauh lebih menyenangkan menyelami air sampai tenggelam.

Seakan-akan bahwa isyarat tersenyum manusia lain adalah tugas kita. Sehingga tak akan ada habisnya menjadi mangsa dari ketegangan hidup dan seolah itu adalah misi wajib yang harus dijalankan oleh setiap manusia. Tersenyum terpaksa akan jadi lebih baik daripada membuat manusia lain tersinggung atau marah, bisa dibilang itu hanyalah mengulur waktu untuk menutupi peristiwa sebenarnya akan terjadi. Manusia sangat pintar dan hebat dalam berkamuflase bahkan dalam keadaan rumit sekalipun hingga akan sulit menebak mana yang sebenarnya teman ataukah lawan? Sungguh rumit dan membingungkan sebenarnya posisi tepat yang harus diambil untuk menjadi selayaknya manusia. Tapi memang lebih baik menjalankan seadanya dan seyakin apa dalam menjalaninya, daripada terpaksa dan menjadikan hal tersebut sebagai hambatan bagi manusia untuk berkembang.

Jangan buang waktu jangan kejar percuma, berbantah dan bergulat tentang ini dan itu, lebih baik suka ria dengan semua yang bermanfaat daripada sedih sebab buah hampa dan pahit. Ada yang susah payah demi kejayaan didunia, percuma acung tangan minta tolong sebab ia bergulung tanpa daya. Apa indikator dan tolak ukur keberhasilan manusia dalam menjalani hidup? Apakah sesuai dengan omongan dan tanggapan orang lain? Ataukah manusia itu sendiri yang menetapkan nya? Yang jelas semuanya hanyalah pergulatan pemikiran akan kerumitan hidup. Semuanya harus kembali ke landasan awal dalam menjalani hidup yaitu agama dan kepercayaan masing-masing dari manusia yang menjalaninya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun