Beberapa hari usai Ujian Nasional, tidak satu berita menayangkan adanya siswa-siswi menyontek saat Ujian Nasional. Sewajarnya ini patut di sayangkan, namun berangkat dari pengalaman dan mengamati sendiri UN tersebut membuat Fenomena yang “menakutkan “ tidak hanya bagi Sekolah tersebut terutama siswa dan siswi yang bersangkutan.
Bagaimana tidak menakutkan dari Sekian banyak sekolah negeri dan swasta berjibaku, kerja keras mengusahakan banyak hal guna meluluskan anak didiknya dengan baik dan jika bisa di atas standar. Di sela-sela usaha tersebut masih adanya kebocoran soal juga anak murid yang menyontek, memang ini tidak mutlak menyalahkan murid, mungkin bisa saja ini menjadi ketidakpercayaan diri pada murid tersebut. Akan tetapi murid merasa takut tidak lulus.
Katanya lulus dan tidaknya dalam UN adalah nasib-nasiban, lha memang iya saya dulu menilai teman-teman yang malas-malas itu yang sering bermasalah di sekolah bahkan yang suka duduk di baris belakang sembari tidur, dinyatakan LULUS. Apa gak ngenes? Bukan kebetulan statement nasib-nasiban menjadi paradigma tersendiri, walaupun ini dianggap tidak rasional. Bukan berarti si malas alias “goblok” itu tidak belajar, bisa saja memakai sistem SKS (sistem kebut semalam) yang penting belajar hasilnya tergantung nasib.
Sekarang anak-anak kerja keras ikut bimbel tambahan, baik di sekolah dan di luar sekolah. Ya! Memang bagus tapi terlihat gaya belajar tidak efektif, selain tenaga dan otak “di paksa” untuk menstimulasi pelajaran tambahan, kalau bertemu dengan anak dengan kemampuan daya pikir otak “terbatas”. bagaimana? Apakah terpikir oleh sekolah dan guru? Bisa jadi terpikirkan, akan tetapi mau tidak mau ikuti saja UN-nya kan nasib-nasiban mudah-mudahan kamu lulus, kalau toh kenyataannya tidak lulus UN terus bagaimana? Ikut paket C.
Ini musibah bagi anak murid yang tidak lulus, nangis dan murung sepanjang hari memikirkan nasib diri tidak lulus UN. Apa artinya 3 tahun menimba ilmu? Kalau UN jadi hakim tersendiri menentukan lulus dan tidaknya siswa dan siswi. Mungkin ada hal konspiratif yang di lakukan pihak sekolah meluluskan anak muridnya dengan cara di beri kunci jawaban. Nah loh, kalau terbukti seperti ini berarti Ujian Nasional tidak memberikan efek positif namun sebaliknya efek negatif yang di timbulkan menjadi rasa takut.
Para pembuat kebijakan itu menyelipkan pemikiran tidak ya? Bahwa bisa saja di luar sana banyak para orang tua menginginkan anaknya segera atau bisa lulus setelah UN agar bisa mendapat ijazah dan langsung bekerja, dan sepertinya tidak semua orang akan melanjutkan kuliah, pendidikan di sini menurut penulis sudah MAHAL, masih sangatbanyak keluarga indonesia yang hidup dalam kemiskinan ekonomi. Bisa lulus sampai lulus SMA saja sudah sangat bersyukur sekali. Saya setuju kalau kemiskinan bukan menjadi badai besar untuk survive dalam kehidupan, tetapi berapa orang yang mampu melewati badai kemiskinan? Sedikit bukan. Ada kok sekolah gratis? Oh jelas ada, tapi sama saja tidak merata.
Sebenarnya UN mengukur apa sie? Mutu atau Kecerdasan? Selama kemiskinan dan kebodohan belum atau separuhnya hilang dari Bumi Pertiwi ini, Indonesia masih akan galau terus.
Capres dan Cawapres nanti pilih siapa ya?
Salam damai..,,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI